“Agamaku tertera di dalam guratan batang-batang pepohonan raksasa.
Ayat-ayat kehidupan terpatri di dalam kulit mereka.”
Luh Gede Saraswati Putri tentu tak asal-asalan menulis bait puisinya yang bertajuk Kekasih Teluk itu. Sebagai orang Bali, ia kenal betul kampung halamannya. Di Pulau Dewata, pohon-pohon besar berdiri kokoh, tinggi menjulang dengan kain poleng melilit. Warga mendirikan pura di bawah naungannya, tempat mereka menyembah Sang Hyang. Tak seorang pun tahu setua apa pohon-pohon itu. Barangkali mereka sudah hidup di sana sejak awal mula waktu. Maka, begitu mendengar tentang pohon berusia tujuh abad, saya tak bisa menahan diri. Saya harus melihatnya.
Awan hitam bergelayut di langit Denpasar saat saya hendak beranjak. Padahal hari masih baru. Saya mengecek bagasi motor, memastikan jas hujan sudah di situ. Kebasahan di jalan jelas bukan pilihan. Setelah memastikan semuanya aman, saya berangkat. Sesuai dugaan, begitu meninggalkan kawasan kota, hujan turun. Saya menepi, mengenakan mantel lalu kembali melaju sambil mengumpat. Helm keparat ini tak ada kacanya!
Pohon yang Viral
Kayu Putih, begitu kata orang. Ia disebut-sebut sebagai pohon tertua di Bali. Pohon bertuah itu sempat viral usai seorang bule Rusia berfoto telanjang di depannya dua tahun lalu. Warganet mengutuk aksi perempuan itu dan menuntut ia ditertibkan. “Bali tidak perlu turis sampah!” komentar seorang warganet. Pihak desa adat pun harus menggelar upacara pembersihan agar tak kena tulah. Lalu, turis itu dideportasi.
Kayu Putih berlokasi di Tabanan, sekitar satu jam perjalanan dari Denpasar. Udara semakin sejuk seiring jalur yang menanjak. Di tepi jalan, penjual durian menjajakan dagangan. Berkat arahan Google Maps, akhirnya saya tiba di persimpangan pamungkas.
Jalan menurun, memaksa saya menekan tuas rem. Saya harus hati-hati. Setelah diguyur hujan, jalanan pasti licin. Area di sekitar jalur desa itu dikelilingi bambu—saya tak akan melewati tempat ini di malam hari. Lepas dari rumpun bambu, tampak petak-petak kebun yang ditanami pacar air. Sepertinya, warga menanam tumbuhan itu untuk dibuat canang. Bunga pacar air merupakan salah satu elemen sesajen.
Tidak sulit menemukan objek wisata—Kayu Putih digagas menjadi spot turisme pada 2013 silam—ini. Penunjuk jalannya terpampang begitu saya memasuki Desa Tua. Pohon keramat itu bersebelahan dengan pura desa, yakni Pura Babakan. Karena terletak di Banjar Bayan (banjar adalah wilayah administratif setingkat RW), ia dijuluki Bayan ancient tree. Saya bergegas memarkir motor dan melihat pohon itu dari dekat.
Di sebuah pos kecil, seseorang menyambut pengunjung. “Isi dulu,” katanya sambil menunjuk daftar tamu. Lelaki berkaca mata itu adalah I Wayan Bagia, salah satu pengurus Pura Babakan. Saya membubuhkan nama dan merogoh saku celana untuk donasi. Pihak pengelola tidak menarik uang karcis. Para turis cukup memberi derma seikhlasnya untuk desa.
Usai mengucap suksma (terima kasih), saya melangkah ke arah sang pohon. Ia besar sekali. Batangnya bongsor. Mantap dan ajek. Akarnya beralur, membentuk lempeng-lempeng yang menancapkan diri ke bumi. Di lengan putihnya, burung-burung berlompatan. Saya ambil teropong dari ransel. Itu bondol dan perling. Saya merasa kerdil, seperti kurcaci di kaki raksasa. Jadi, ini pohon purba itu.
Jika orang menyebutnya “Kayu Putih”, pastilah karena warna batang pohon ini. Akan tetapi, itu tak menunjukkan spesiesnya. Ia sama sekali bukan kayu putih. Melaleuca leucadendra, kayu putih yang sesungguhnya, bentuknya tidak begini. Dari perawakannya yang megah, saya yakin pohon di hadapan saya berasal dari suku Moraceae, satu kerabat dengan beringin. Ia pasti Ficus. Besar kemungkinan raksasa di depan saya ini adalah Ficus albipila, sang ara ratu. Rupanya memang sudah takdir Moraceae untuk dipuja lantaran keagungannya. Saya teringat pohon ara dan bodi yang juga sakral di kebudayaan lain.
Orang Bali dan Pohon
Ketika tengah sibuk mengambil gambar, seseorang menyapa saya. Ia wisatawan asal Denpasar, namanya Sujarwo. Kami pun berbincang perkara pohon.
“Kata orang Bali, pohon besar itu punya penunggu. Lagipula, kami menghormati tumbuhan sebab berkat mereka kita semua bisa bernapas,” paparnya. Saya teringat hantu Banaspati penghuni pohon kepuh. Sepertinya, kisah demit penghuni pohon masih punya marwah di sini. Selain itu, filosofi tradisional tampaknya turut memupuk rasa sayang warga pada tumbuhan.
Orang Bali mengenal konsep tri hita karana (tiga penyebab kebahagiaan), sebuah falsafah kehidupan yang menganjurkan mereka agar menjaga hubungan dengan Tuhan, sesama insan, dan lingkungan. Hanya jika ketiganya selaras, antara yang sekala dan niskala, manusia bisa mencapai kebahagiaan sejati. Laku takzim masyarakat Bali di hadapan pohon-pohon besar mungkin merupakan implementasi dari ajaran tersebut. Lebih-lebih, pohon punya status penting bagi umat Hindu.
Dalam kosmologi Hindu, beberapa jenis pohon diasosiasikan dengan dewa-dewi tertentu. Lagi pula, pesan untuk bersikap welas asih terhadap pohon tertulis dalam kitab suci Hindu. Berikut kutipan dari Regweda:
“Jangan ganggu pepohonan. Jangan mencabut atau memotongnya. Mereka menyediakan perlindungan bagi binatang, burung, dan makhluk hidup lainnya.”
Tak ada metafora. Pesan itu begitu gamblang. Hanya orang bodoh yang gagal memahaminya.
Meski begitu, pohon-pohon yang dianggap keramat rupanya hanya jenis-jenis tertentu dan biasanya berukuran raksasa. Ketika mengobrol dengan Pak Wayan, ia menegaskan soal itu. “Di Bali, pohon-pohon besar memang disakralkan, seperti beringin, pule, dan kepuh,” kata dia.
Kepuh memang sering saya lihat selama berada di Bali. Selain itu ada juga pokok-pokok besar yang saya tak tahu namanya, entah itu trembesi, pakel, atau apa. Saya tidak yakin. Mereka menaungi pura dan setra (kuburan), atau tumbuh begitu saja di pinggir jalan.
Pohon di Kepala Manusia
Agaknya, pohon punya makna khusus bagi alam ide manusia. Ia terpatri sebagai simbol dalam ketidaksadaran kolektif kita. Jangan-jangan, alih-alih digerakkan kesadaran, kedatangan saya dan wisatawan lainnya kemari malah dituntun ketaksadaran. Begitu pula masyarakat Bali yang mengeramatkan pohon. Mereka ditarik oleh apa yang disebut Carl Jung sebagai arketipe. Tampaknya, pohon bermakna perlindungan, seperti kata Regweda.
Kala nenek moyang masih hidup liar di hutan atau sabana, pohon melindungi mereka dari terik dan hujan. Lain dari itu, pohon juga menyediakan pangan dan obat. Mungkin, nalar tersebut mengendap di alam bawah sadar Homo sapiens. Seperti yang ditulis bule bugil Rusia lewat unggahannya di Instagram sebelum foto syurnya itu mengundang petaka baginya. Ia menulis:
“Bisakah kau dengar itu? Di dalam dirimu, tak hanya ada suaramu. Suara leluhurmu juga ada di sana. Mereka ada dalam darah, jiwa, dan rupamu. Kadang, mereka berpikir dan bicara melaluimu.”
Dalam film Pocahontas, pohon digambarkan sebagai sosok bijaksana. Nenek Dedalu, begitu Pocahontas menyebutnya, merupakan kawan curhat gadis Indian itu sekaligus pemberi petunjuk.
Sebagai objek wingit, Kayu Putih tak lepas dari kisah mistis yang mampu membuat bulu roma meremang. Konon, pada waktu tertentu, terdengar alunan gamelan dari pohon itu. Warga percaya bahwa di bawah pokok besar itu, terkubur satu set gong bersama benda pusaka lainnya yang dipendam leluhur desa mereka sekian abad lampau. Pengunjung diharap menjaga sikap saat memasuki lokus kudus ini. Jangan serampangan. Ingat, manusia didepak dari Taman Eden lantaran sembarangan memetik buah pohon pengetahuan. Namun, apa rasa hormat hanya untuk yang keramat? Saya pikir tidak.
Di bawah bayang-bayang krisis iklim macam sekarang, hidup selaras dengan alam adalah kunci. Maka, konsep tri hita karana saya rasa pas untuk diterapkan semua orang, penganut Hindu Bali atau bukan. Semua pohon layak dihormati, lingkungan hidup patut dijaga. Ini bukan laku antropomorfis, melainkan penghargaan kepada yang hidup. Sebab kebanyakan dari kita adalah John Smith dalam film Pocahontas. Ia memandang alam sebagai benda mati yang bisa diisap sekehendak hati. Ada baiknya mengingat kembali kidung Pocahontas:
Kaupikir kau berhak atas tanah mana pun yang kaupijak
Bumi sekadar benda mati yang bisa kaukuasai
Namun aku tahu, setiap batu, dan pohon, dan makhluk
Punya kehidupan, punya jiwa, punya nama
Langit kian kelam. Kelihatannya sebentar lagi hujan akan kembali turun. Saya melangkah menuju pos tempat Pak Wayan bertugas. Dia sedang mengobrol dengan seorang pria kulit putih. Ini musim liburan, ia pasti sibuk menyambut pengunjung. Saya menyapanya, menangkupkan tangan seraya mengucap suksma, lalu melangkah, menjauh dari naungan sang ara ratu.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Asief Abdi belajar biologi di Universitas Negeri Malang. Aktivitasnya mengamati hewan dan tumbuhan sejak kuliah masih berlanjut hingga saat ini. Belakang juga tertarik mengunjungi situs-situs bersejarah. Kini, ia tinggal dan bergiat sebagai pengajar di Pamekasan.