Dari perbukitan seserpih cerita membangkitkan ingatan pada kisah Siti Nurbaya dan Samsul Bahri.
Jika mengetik ‘Gunung Padang‘ di laman pencarian, kita dibawa pada informasi tentang situs Gunung Padang yang berada di Jawa Barat. Akan berbeda hasilnya kalau menggunakan kata kunci ‘Wisata Gunung Padang di Kota Padang‘, maka sebuah cerita tempat dan informasi menarik dengan sekelumit kisah legendaris Siti Nurbaya yang kita jumpai.
Gunung Padang merupakan sebuah bukit yang terletak di Kota Padang, Sumatera Barat; menjadi perpaduan antara keindahan alam, jejak sejarah, dan kisah roman.
Saya tidak tahu apakah kisah novel Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai mengenai Siti Nurbaya dan Samsul Bahri karya Marah Rusli benar-benar ada. Namun, sementara ini mari abaikan persoalan kebenaran kisah legendaris tersebut. Ada yang lebih menyenangkan kala menjadikan perbukitan ini sebagai destinasi ketika mampir ke Padang Kota Tercinta, Kujaga dan Kubela.
Memulai pagi di Bukit Gunung Padang
Pagi atau sore menjadi waktu terbaik untuk menelusuri kawasan wisata Gunung Padang, yang juga terkenal dengan sebutan Bukit Siti Nurbaya. Alasannya sederhana, yakni untuk menghindari cuaca panasnya Kota Padang yang akan membuat cepat lelah dan banjir keringat.
Gunung Padang merupakan sebuah bukit kecil dengan ketinggian sekitar 80 meter di atas permukaan laut (mdpl). Letaknya di seberang selatan dari muara Batang Arau—salah satu sungai di Padang. Warga lokal kerap menyebutnya Gunung Padang, karena bisa dibilang tempat tertinggi yang ada di pusat kota.
Gunung Padang merupakan salah satu spot populer bagi warga lokal untuk melakukan kegiatan jogging di akhir pekan. Selain panorama alam yang menyenangkan, Gunung Padang menyimpan cerita legenda cinta Siti Nurbaya dan jejak sejarah masa penjajahan Jepang.
Untuk bisa memasuki kawasan ini, kita membayar biaya tiket masuk sebesar Rp5.000 per orang. Butuh sekitar 20 hingga 30 menit melakukan perjalanan ke puncak bukit. Ada Taman Siti Nurbaya di sana. Jika kamu pernah membaca novel Marah Rusli, tempat ini terasa tidak asing lagi. Novel tersebut mendeskripsikan gambaran Taman Siti Nurbaya dengan baik.
Sebagai warga lokal saya akan memberikan saran. Mulailah berjalan santai dari jembatan Siti Nurbaya menuju arah Gunung Padang. Kamu akan menemui suasana Kota Padang yang tenang, serta pelabuhan dan rumah penduduk yang terkesan humanis dan damai.
Selepas pintu gerbang, kita akan menjumpai beberapa rumah nelayan. Kemudian terdapat jalan setapak dengan pemandangan laut. Kita bisa melihat asyiknya beberapa orang yang sibuk memancing.
Jejak peninggalan era penjajahan Jepang
Di tengah perjalanan ke puncak Gunung Padang terdapat peninggalan era penjajahan Jepang. Kita akan menemui beberapa bunker yang bisa membuat penasaran.
Sayangnya tak ada informasi lebih lanjut soal jejak sejarah tersebut. Bungker pertama berdekatan dengan rumah penduduk. Bungker kedua tak jauh dari bungker pertama yang berfungsi sebagai gudang.
Dari literasi yang saya baca di Wikipedia, bunker yang berdekatan dengan permukiman penduduk disebut dengan Pilboks. Memiliki ruangan cukup luas dan terdapat meriam besi besar yang kira-kira dibangun sekitar tahun 1942—1945. Sementara yang kedua memiliki bentuk seperti rumah, bertuliskan “BOW” dan memiliki dua ruangan tak beratap.
Trek menuju ke atas tidak terlalu terjal, meski kadang cukup melelahkan. Terdapat anak tangga yang memudahkan berjalan kaki. Beberapa kali saya melipir ke tempat ini. Sekadar merasakan suasana alam yang sejuk dan melepaskan kelelahan dari hiruk pikuk Kota Padang. Saya juga kerap menjumpai rombongan keluarga yang membawa anak kecil hingga ke puncak.
“Capek,“ begitu suara keluhan terdengar dari mulut bocah berusia sekitar tujuh tahun. Dan, memang benar adanya orang dewasa paling jago berbohong. Seperti yang dilakukan oleh ibu sang bocah.
“Seentar lagi nyampai kok,” jawab sang ibu. Dia tetap menyuruh anaknya mendaki. Padahal masih ada puluhan anak tangga yang mesti dilalui.
Makam Siti Nurbaya
Sebelum mencapai puncak, terdapat sebuah celah batu dengan tangga menurun. Di situ ada keterangan bahwa lorong di bawahnya merupakan makam Siti Nurbaya. Sulit untuk memastikan ada atau tidaknya sosok Siti Nurbaya, mengingat karakter tersebut berasal dari karya sastra novel.
Seperti banyak orang tahu, Siti Nurbaya adalah karakter dalam roman klasik Marah Rusli berjudul Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai. Di kisah ini, ia dipaksa menikah dengan Datuk Maringgih, yang usianya jauh di atasnya untuk melunasi utang ayahnya. Di sisi lain, Siti Nurbaya sedang menjalin kasih dengan Samsul Bahri.
Meskipun Samsul Bahri pergi meninggalkan Siti Nurbaya demi melanjutkan pendidikan, tetapi Siti—yang sudah menikah dengan Datuk Maringgih—tetap mengirim surat ke Samsul. Siti ketahuan oleh suaminya. Ia pun diracuni dan meninggal dunia.
Hancur hati Samsul Bahri mendengar berita pujaan hatinya tersebut. Untuk membalas dendam, Samsul Bahri pun bergabung menjadi pasukan Belanda dan terjadilah peperangan yang berujung saling membunuh. Begitulah sekilas kisah roman legendaris Siti Nurbaya.
Sebagai warga lokal yang senang jalan-jalan, saya tidak terlalu tertarik turun ke lorong tersebut untuk sekadar menengok makam Siti Nurbaya.
Kaki saya selalu tidak sabar menapaki anak tangga menuju puncak. Di tempat itulah saya bisa melepas lelah. Menikmati lanskap Kota Padang seraya menyeruput sebotol air mineral.
Taman Siti Nurbaya
Dari puncak Gunung Padang, terhampar Taman Siti Nurbaya seluas kira-kira 180 meter persegi. Menyambut kedatangan saya yang kelelahan usai menapaki anak tangga. Napas saya cukup ngos-ngosan menyadari kenyataan betapa lemahnya tubuh ini.
Kesejukan taman dengan naungan pepohonan yang rindang dan asri, membuat suasana nyaman untuk melepaskan lelah. Taman ini menawarkan pemandangan indah dan menyejukkan saat bersantai. Di sebelah utara dan timur, kita dapat menikmati pemandangan Kota Padang. Ke arah selatan panorama Pantai Air Manis dan Pulau Pisang. Sementara di sisi barat, hamparan laut lepas Samudra Hindia melambai-lambai.
Di perbukitan inilah, terpampang sebuah slogan. “PADANG KOTA TERCINTA,” sebuah identitas ibu kota Provinsi Sumatra Barat dan sering terlihat ketika menelusuri Pantai Padang.
Puas menjelajah Gunung Padang, menyeruput secangkir es kopi di sebuah kedai kopi kekinian di kawasan Sungai Batang Arau adalah pilihan baik untuk menutup lelah usai naik-turun anak tangga. Batang Arau cocok jadi tempat singgah sembari memandang lepas kapal-kapal yang berlabuh di sepanjang muara sungai.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.