Nama Kampung Adat Ciptagelar tentu sudah tidak asing di telinga. Kampung yang berlokasi di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat ini masih menjaga tradisinya walau semakin dihimpit kehidupan yang serba cepat. Lokasinya ada di lembah sebelah Selatan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Jadi pemandangan yang ada di kampung ini tentu sangat indah.
Saya berencana ke kampung ini bersama teman saya bernama Asep. Kami memulai perjalanan dari Bogor pukul 3 dini hari. Asep dulu pernah sekali ke Kasepuhan Ciptagelar waktu tahun 2018 silam. Jadi kami kira tidak perlu menggunakan pemandu lokal karena kebetulan Asep juga masih sering berhubungan dengan salah satu warga di sana.
Memulai perjalanan ke Kampung Adat Ciptagelar
Medan yang dilalui sebetulnya masih aman-aman saja sampai akhirnya memasuki perbukitan Kawasan Nasional Gunung Halimun Salak, medan jalan berubah total. Jalan menanjak dan berkelok-kelok menghiasi selama perjalanan, bahkan beberapa kali terdapat ruas jalan yang masih berbatu. Jadi harus ekstra hati-hati untuk sampai di lokasi tujuan. Selama perjalanan, pemandangan indah memang terlihat jelas apalagi saat ini adalah musim kemarau, jadi pemandangan perbukitan hijau tidak terhalang oleh awan.
Akses jalan terbilang ekstrem karena di sisi kanan dan kirinya terdapat jurang yang cukup dalam. Namun begitu, mobil atau truk masih bisa melalui jalan ini sampai ke Kampung Ciptagelar. Tak terbayang jika berkunjung ke kampung ini ketika musim hujan tiba, tentu banyak hambatan selama perjalanan.
Akhirnya kami tiba di Kampung Ciptagelar pukul 8 pagi. Pemandangan sekitar yang masih asri ditambah rumah-rumah adat yang tertata rapi menghiasi kampung ini. Sebagai informasi, rumah-rumah adat ini memiliki bentuk panggung pendek dengan atap dari ijuk dan daun kelapa. Pada dinding rumahnya masih menggunakan anyaman bambu dan kayu.
Sebagian bangunan lain dindingnya terbuat dari batu dan batako seperti musala atau kamar mandi umum. Seperti gambaran di website-website referensi yang saya gunakan sebelumnya, Kampung Ciptagelar memiliki suasana yang damai dan tenang.
Suara aktivitas masyarakatnya, burung-burung yang bersahutan, sampai suara ternak sayup-sayup juga ikut menghiasi kampung ini. Asep mengajak saya untuk bertemu dengan pemimpin adat kampung yaitu Abah Ugi Sugriana Rakasiwi atau yang dikenal dengan nama Abah Anom. Beliau sangat ramah dan sangat menyambut kami ketika datang untuk singgah sejenak di Kampung Adat Ciptagelar. Beliau sedikit bercerita bahwa kampung ini memang masih menjaga adat istiadat tradisi namun tidak menutup diri untuk menerima perkembangan teknologi dari luar.
Tidak semua teknologi yang berkembang sekarang diterima langsung oleh mereka. Hanya beberapa teknologi saja yang dipakai dan digunakan untuk kepentingan masyarakatnya. Abah Anom juga bercerita bahwa di kampung ini memiliki sumber daya listrik yang disuplai dari turbin air untuk kebutuhan masyarakatnya. Uniknya, di sini mereka tidak memperjual-belikan beras hasil panen. Hanya buah-buahan, sayur, dan ternak saja yang mereka jual untuk kebutuhan tambahan.
Beras dianggap sebagai sumber kehidupan sehingga jika seseorang menjual berasnya maka berarti menjual kehidupannya sendiri. Masyarakat Kampung Adat Ciptagelar memegang teguh prinsip ini secara turun temurun. Hasil padi yang mereka panen, 10 persennya akan disimpan di dalam leuit atau lumbung padi sebagai hasil simpanan. Tak heran jika di lumbun ini ada beras yang usianya bahkan sudah puluhan tahun. Abah Anom bahkan memperkirakan hasil tabungan beras mereka cukup untuk menghidupi masyakaratnya 5 tahun ke depan jika tidak ada hasil pertanian lagi. Walaupun mereka menanam sendiri padinya dan banyak pengunjung yang datang, nyatanya hasil berasnya selalu lebih. Masyarakatnya percaya bahwa rezeki memang tidak akan tertukar.
Abah Anom mempersilakan kami untuk beraktivitas sesuka hati di kampungnya, jika ada pertanyaan atau penasaran pada suatu hal di kampung ini bisa langsung bertanya pada masyarakatnya atau ke Abah Anom langsung. Sambutan baik ini seakan tidak ada hentinya, bahkan kami ditawari untuk sarapan mencicipi hasil bumi yang dipetik langsung dari kebun sekitar. Setelah berpamitan dengan Abah Anom, Asep mengajak saya untuk berkeliling menikmati keindahan alam yang ada di Kampung Adat Ciptagelar.
Seringkali melihat anak-anak bermain dan tertawa lepas, masyarakatnya yang santun dan ceria sungguh sangat menyenangkan untuk dilihat. Udara sejuk, gemericik air di sawahnya, serta suara serangga khas hutan turut mengisi kedamaian di kampung ini.
Memasuki rumah Pak Omon, salah satu warga Kampung Ciptagelar yang akan kami singgahi selama satu malam ini. Di rumah Pak Omon terasa begitu sejuk, mungkin karena rumahnya yang memiliki tembok dari anyaman bambu, jadi angin bisa masuk melalui celahnya. Kami dipersilakan juga untuk berkeliling ke dalam rumahnya jika ingin tahu kehidupan sehari-hari masyarakat Ciptagelar. Saat di dapur, terlihat tungku kayu lengkap dengan peralatan masak tradisional untuk tetap mempertahankan tradisi mereka.
Saya sempat berkeliling untuk mengetahui lebih banyak tentang masyarakatnya. Salah satu bangunan yang unik adalah Imah Gede yang menjadi sentral di Kampung Ciptagelar. Rumah yang berukuran sangat besar ini biasa digunakan untuk menyambut tamu atau pusat kegiatan kampungnya. Tak heran jika di dalamnya terdapat dapur yang berukuran sangat besar juga.
Di Kampung Adat Ciptagelar biasanya mengadakan upacara adat tahunan seperti Ngaseuk, Mipit, Nganyaran, Ponggokan, dan Serentaun. Padi dianggap sebagai sumber kehidupan, jadi dari awal sampai panen pun diadakan upacara adat untuk menjunjung tinggi nilainya. Diawali oleh upacara adat Ngaseuk atau menanam padi di lahan kering menggunakan aseuk (tongkat lancip), lalu dilanjutkan dengan Mipit atau memetik / mengambil apa yang ditanam sebelumnya.
Sedangkan pada upacara adat Nganyaran merupakan prosesi untuk mencicipi hasil panen padi yang ditanam sebelumnya. Nantinya juga ada upacara Ponggokan yang berupa sensus data dari jumlah laki-laki dan perempuan, jumlah leuit (lumbung), jumlah rumah, jumlah kendaraan, sampai jumlah hasil iuran warga untuk pesta panen Serentaun.
Sebagai puncaknya akan ada Upacara Adat Serentaun atau pesta panen. Kemeriahan pesta adat untuk mensyukuri apa yang mereka dapat serta menyerahkan siklus hidup tahun berikutnya serta kehidupan masyarakat. Berbagai ritual, pertunjukan, dan syukuran turut memeriahkan upacara adat ini. Namun sayangnya, saya tidak datang saat upacara adat ini.
Kami bercengkrama dengan masyarakat lokalnya, saling bertanya dan berbagi pikiran, juga kami terjun untuk ikut membantu aktivitas yang mereka lakukan sehari-hari. Rasanya sangat damai dan tenang, tidak ada tuntutan untuk mengejar masa depan atau berkutat dengan deadline yang menggila. Di sini adalah tempatnya untuk kembali, merasakan kedamaian kehidupan dengan keramah-tamahan masyarakat yang tinggal.
Walau alat-alat dan teknologi serba sederhana, namun tidak membuat masyarakat untuk takut menghadapi masa depan yang kian serba cepat. Banyak hal yang membuat saya betah dan berjanji untuk menyempatkan diri bernaung sejenak di Kampung Adat Ciptagelar setidaknya setahun sekali.
Ada banyak pelajaran dan nilai-nilai kehidupan yang bisa ditemukan hanya di kampung ini. Masyarakatnya yang ramah, pemandangan alam yang memikat, serta suasana yang bikin betah akan saya kenang selamanya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.