Di Desa Banyudono, Boyolali, kisah Kerajaan Pengging menjadi epos yang sangat epik dan dibanggakan. Mitos Bandung Bondowoso—cerita rakyat tentang pembangunan seribu candi dalam semalam—yang diceritakan berasal dari Kerajaan Pengging acap diturunkan ke anak-anak di Banyudono.
Tak jarang saya mengunjungi jejak peninggalannya yang masih bisa dijumpai hingga sekarang. Kerajaan yang berdiri kurang lebih pada tahun 979 Masehi—masih menjadi perdebatan—ini meninggalkan pemandian, arca, masjid, hingga makam orang-orang penting, seperti R. Ng Yosodipuro.
Umbul Sungsang adalah salah satunya. Tempat ini populer bagi masyarakat untuk kungkum atau ciblon. Sebelah barat Umbul Sungsang terdapat Masjid Cipto Mulyo. Usianya telah menginjak 120 tahun, tapi masih sangat terawat dengan arsitektur Jawa kunonya. Jalan lurus ke arah selatan sekitar 200 meter, kita dapat menemui Umbul Pengging, salah satu jejak peninggalan Pakubuwono X. Meski dibangun pada masa yang tidak berbarengan, bangunan ini menjadi saksi bisu peradaban Pengging.
Di era sekarang, tempat-tempat tadi seakan mulai luntur nilainya. Mereka “kalah bersaing” dengan hal-hal modern yang lebih menarik perhatian masyarakat. Peninggalan bersejarah ini hanya dimaknai selayaknya fungsi pragmatisnya saja. Meninggalkan nilai, juga mengubah pemaknaannya terhadap tempat tersebut.
Dalam beberapa kunjungan saya ke Umbul Sungsang, misalnya, tempat ini digunakan sebagai tempat meminum minuman keras, bahkan asusila. Tak jarang saya melihat coretan dinding yang tak berhubungan sama sekali dengan tempat ini. Merusak pemandangan dan nilai prestisiusnya.
Kerajaan Pengging, atau bahkan peradaban sebelumnya meninggalkan nilai tak terkira bagi masyarakat sekitar bahkan sejarah nasional. Secara pragmatis, tempat tersebut dapat dimonetisasi sebagai objek wisata. Namun, lebih jauh lagi, peninggalan pengetahuan akan identitas pendahulu kita menjadi nilai yang tak dapat diukur, bahkan dapat menjadi “ruang” mengembangkan arah kebudayaan.
Jika ditelisik, banyak peninggalan Kerajaan Pengging yang masih berada di tempat yang tak terduga. Dulu sempat ada yang menemukan sebuah arca di makam saat menggali kubur, ada juga yang menemukannya saat hendak ke petirtaan. Keduanya diduga menjadi peninggalan Kerajaan Pengging.
Pencarian menjadi kata paling dekat dengan kebenaran. Kebenaran mesti terus dicari. Salah satunya lewat kepingan-kepingan warisan sejarah.

Berawal dari Dongeng
Ngomong-ngomong soal sejarah, beberapa waktu lalu saya memikirkan “mitos” sebuah arca di sebelah barat bekas pabrik rokok di Banyudono. Kabarnya, Kraton Pengging memiliki banyak arca yang tersebar di desa-desa sekitarnya, salah satunya bernama Ketaon. Saya ingat mitos dan sejarah sering kali dicampuradukkan, “Kenapa tidak saya cari saja kebenarannya?” pikir saya.
Mulanya, cerita tentang arca itu sampai pada saya semasa kecil; kira-kira sekolah dasar (SD). Tak sedikit orang tua yang bercerita bahwa dulunya di sebelah barat pabrik rokok ini terdapat sebuah arca. Orang sekitar biasa menyebut reca (dibaca dalam bahasa Jawa: reco).
Masih menurut cerita masyarakat sekitar, reca ini terbuat dari batu yang dipahat. Bentuknya serupa manusia yang bersila. Ada yang mengatakan jika hanya sebagian orang yang beruntung yang dapat bertemu dengan reca. Jika pertemuan itu terjadi, maka apa yang diinginkan (mungkin) akan tercapai. Begitu kurang lebih ceritanya.
Ingatan ini sangat akrab bagi saya dan masyarakat sekitar. Tak dijelaskan siapa pembuat reca tersebut, dan tahun berapa reca tersebut dikisahkan ada di sana. Juga, entah siapa yang pertama kali memulai cerita ini.
Pertanyaan itu selalu timbul di benak saya yang belum pernah melihat bentuk dari reca itu sejak lahir, hingga usia saya sudah menginjak kepala dua. Bagi kami warga sekitar yang belum melihat langsung, kami hanya menganggap cerita itu sebagai dongeng belaka.
Saya bersekolah tak jauh dari lokasi pabrik rokok yang tak beroperasi itu. Sekitar 200 meter ke arah timur, dari perempatan jalan penghubung Dukuh Gatak dengan Dukuh Ketaon. Waktu pelajaran Pendidikan Jasmani dan Olahraga, kami sekelas diminta jogging untuk mengelilingi areal persawahan, termasuk mengelilingi pabrik mati itu. Tak pernah sekalipun kami menemui reca di sana.
Tentu kami sudah tahu tentang cerita reca, tapi tak satu pun dari kami yang pernah menemuinya. Malah sering kali, karena saking tak pernah menemukannya, kami percaya dengan dongeng yang diciptakan masyarakat sekitar.

Menjadi Realitas
Kini, setelah sekian lama saya percaya terhadap dongeng reca tersebut, besar keinginan saya untuk melihat benda itu secara langsung. Berangkat dari pertanyaan sederhana, “Apakah benda itu benar ada?”
Seolah pertanyaan tersebut ingin memberikan tantangan, bahwa “dongeng” tentang keberadaan reca yang telah lama dikonsumsi ini, dapat dipatahkan menjadi kebenaran setelah reca ditemukan. Pertanyaan tadi membawa rasa optimis akan menemukannya.
Sebelum terjun ke lapangan, saya mencoba mencari data tentang areal pabrik tersebut. Sayang, informasi tentang jejak peninggalan Hindu-Buddha tak ketemu. Saya mencoba menyusuri sebuah jalan penghubung antara Desa Danyangan dengan Gatak yang terletak di area persawahan. Hasilnya nihil.
Beberapa bulan kemudian, kembali saya menyusuri areal tersebut. Di sepanjang jalan pabrik mati terdapat pertigaan jalan. Pada ekspedisi kedua ini saya mengambil jalan ke arah barat. Saya menggunakan sepeda motor, berjibaku dengan tanah yang basah bekas hujan. Kadang kala, ban motor saya yang tidak diatur untuk area lumpur tergelincir.
Saya mencoba mencari jalan yang belum pernah saya lalui sebelumnya. Harapannya, saat melewatinya ada sesuatu yang dapat ditemukan. Sekitar 200 meter terdapat jembatan kecil yang menghubungkan antarparit. Terdapat sebuah bangunan yang menonjol di parit tersebut, masyarakat Jawa biasa menyebutnya buk (tembok rendah). Dari situ saya ambil jalan ke arah kanan masuk di kebun sengon sekitar 20 meter, kemudian belok kanan.
Dari jauh samar terlihat seonggok batu yang berada di tengah jalan. Lambat laun, batu itu terlihat semakin besar ketika didekati. Ternyata ia tertanam di tanah. Setelah diperhatikan lebih lama, ternyata terdapat tangan menyerupai bentuk tangan manusia di batu tersebut. “Perjalanan berbuah manis,” kata saya dalam hati.
Batu itu tak berbentuk bulat, melainkan seperti badan manusia yang menancap di tanah. Bahkan jika dibandingkan, lebih besar dari badan saya—tinggi saya 166 cm dan berat badan hampir 60 kg. “Tak dapat diragukan lagi, itu dia,” saya melanjutkan penelusuran.


Ia duduk bersila, tangannya menengadah di pangkuannya. Sepertinya tak berbaju hingga dadanya terlihat seperti laki-laki telanjang. Sebagian kakinya masih ada di dalam tanah. Belum dapat diketahui seberapa besar reca ini. Yang pasti kondisinya miris. sebagian tangan kanannya sudah patah dan hilang, serta sudah tak punya kepala.
Di bagian punggungnya sudah terdapat tanda. Kurang jelas bertuliskan apa, tapi sepertinya “60”. Karena saya bukan seorang sejarawan atau arkeolog, pertanyaan tentang reca ini—dari mana asalnya, siapa pembuatnya, dari agama apa, bagaimana sejarahnya—tak bisa saya jawab, malah hanya berputar di kepala saya.
Yang sangat disayangkan lagi, saya tak bisa langsung mengetahui bagaimana wajah dari reca ini karena kerusakannya. Minimnya informasi valid mengenai keberadaannya menjadi kendala buat saya menerangkannya.
Beberapa bulan sebelumnya, saya sempat singgah di Rumah Arca Boyolali. Kata penjaga tempat wisata tersebut, memang banyak arca atau reca yang ditemukan di daerah Ketaon, Banyudono. Bahkan sebagian besar koleksi di tempat itu bisa dibilang ditemukan di wilayah tersebut.
Namun, kadang terdapat sebuah kepercayaan untuk tidak memindahkan arca dari lokasi penemuannya karena masih dipercaya sebagai barang yang sakral oleh masyarakat. Atas dasar itu, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah memindahkannya. Sayang sekali sangat sedikit bahan bacaan yang bisa dibagikan kepada pengunjung tentang benda-benda bersejarah di sana.
Sulitnya informasi mungkin membuat masyarakat tidak mengetahui seberapa berharga pusaka, reca, bangunan cagar budaya, atau peninggalan bersejarah lainnya. Sehingga perusakan seperti yang ada di Umbul Sungsang menjadi wajar bagi para oknum.
Banyudono menjadi potensial untuk menggali epos-epos tentang kerajaan, agama, identitas masyarakat lokal—setidaknya bagi wilayah sekitarnya. Pencarian yang saya lakukan hanyalah hal kecil. Sangat disayangkan sekali pertemuan dengan reca yang sudah dicari dua puluhan tahun ini berujung pada pertemuan dalam kondisi mengenaskan. Seolah kehilangan kegagahan masa lalunya.
Tapi, mau tak mau, reca ini tetap menjadi benda penting. Penting dalam melengkapi kepingan-kepingan sejarah Banyudono yang belum terangkai secara utuh. Penting sebagai pengetahuan untuk mempertahankan identitas tempat ini. Bahkan, penting dalam merekonstruksi pemikiran tanah kelahiran banyak orang.
Di sisi lain, secara pribadi, perasan puas telah menemukan reca ini menjawab kegelisahan saya selama puluhan tahun. Akhirnya dongeng itu tak hanya menjadi dongeng belaka, tetapi menjelma menjadi realitas dalam sebuah usaha membentuk narasi kebenaran sejarah yang utuh.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.