Buku yang dikemas dengan segar dan melecut patriotisme bangsa akan kekayaan rempah Indonesia. Masih ada ruang lebih untuk eksplorasi sejarah dan potensi pengembangan terkini lebih mendalam.
Bicara sejarah perdagangan dunia, tidak dapat terpisahkan oleh jalur sutra. Jalur yang menyibak hubungan dunia timur dan barat. Banyak elemen terlibat, di antaranya pedagang, pengelana, biarawan, prajurit, hingga nomaden melalui daratan maupun lautan.
Jalur sutra memang benar-benar membelah dunia, dimulai dari pusat perdagangan Cina Utara dan Cina Selatan. Rute utara berkembang ke arah barat hingga melewati Bulgar—Kipchak (kini Bulgaria) ke Eropa Timur dan Semenanjung Krimea, kemudian menuju Laut Hitam, Laut Marmara, Semenanjung Balkan, dan Venezia. Adapun rute selatan akan melintasi wilayah Turkestan (kini Kazakhstan) dan Khorasan (wilayah Iran) menuju Mesopotamia dan Anatolia, dan kemudian ke Antiokhia (wilayah Antakya, Turki); Di selatan Anatolia selanjutnya ke Laut Tengah atau melalui regional Levant untuk masuk benua Afrika via Mesir dan Afrika Utara.
Penamaan “jalur sutra” pertama kali disampaikan oleh Ferdinand von Richthofen, ahli geografi Jerman, pada abad ke-19. Pada masa itu sutra memang menjadi komoditas perdagangan terbesar dari Cina. Jalur ini tak hanya membawa misi perdagangan, tetapi juga bagian dari pengembangan kebudayaan, termasuk Cina, India, imperium Roma.
Di sisi lain, terhampar sebuah rute yang memiliki posisi dan kiprah tak kalah krusial dengan jalur sutra, yaitu jalur sutra. Jalur yang masih terselubung kabut, begitu kata John Keay dalam The Spice Route: A History (2007), serta dianggap misterius dan penuh anomali. Padahal lebih karena bangsa-bangsa penjelajah dan pedagang belum mengetahui dari mana rempah itu berasal, yaitu Maluku dan pulau-pulau di dalamnya, ibu kandung rempah-rempah dunia. Sumber daya alam yang memikat bangsa-bangsa luar, yang kemudian melancarkan pelbagai misi—perdagangan hingga penjajahan—untuk menjelajahi Nusantara.
Bagaimana jejak sejarah dan sebaran rempah-rempah itu mewarnai sekaligus memengaruhi perkembangan peradaban Nusantara? Empat penulis, satu desainer grafis, dan dua editor yang tergabung dalam tim penyusun dari Yayasan Negeri Rempah mencoba menjawab itu dalam Kisah Negeri-Negeri di Bawah Angin, Jejak Kemaritiman Nusantara dalam Sejarah Perniagaan Rempah. Melalui karya setebal 242 halaman tersebut, pembaca akan dimanjakan foto, grafis, dan ilustrasi-ilustrasi memukau yang melengkapi narasi setiap babnya.
Kiranya Kisah Negeri-Negeri di Bawah Angin memang ditulis dan diluncurkan untuk menjemput rencana Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Dengan dukungan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia, buku ini berusaha menghadirkan perhatian negara pada sejarah keberadaan rempah Nusantara di era lampau serta peran pentingnya untuk saat ini dan masa mendatang. Baik itu upaya meningkatkan perekonomian atau bahkan pengembangan literasi.
“Maka, tak berlebihan jika disebut bahwa jalur rempah adalah warisan tak benda dari bangsa Indonesia yang dalam konteks perdagangan dan transmisi pengetahuan sangat penting untuk dikembangkan bagi bangsa kita.” (hlm. 17).
Kebinekaan rempah dari Sumatra sampai Papua
Terlepas dari kata-kata sambutan para pejabat negara yang membuka buku ini, Yanuardi Syukur dkk dan editor telah melakukan langkah yang tepat dengan menempatkan jejak diaspora penutur Austronesia pada bagian Prolog.
Tim penyusun seperti memberi pengingat tentang rekam jejak nenek moyang kita terdahulu, yang menurut sejumlah ahli menyebut mereka adalah bangsa bahari—selain juga mewariskan tradisi kerajinan menenun dan menganyam hasil hutan, membuat gerabah, hingga merajah tubuh. Mereka melanglang lautan, menjelajah belantara, hingga mengisi relung-relung gua. Mereka memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan di pulau-pulau yang disinggahi, hingga menyeberangi selat-selat antarpulau. Salah satu warisan pada masanya yang menjadi penjenamaan paling khas adalah teknologi perahu bercadik.
“Melalui rekonstruksi yang komparatif, para ahli menyimpulkan bahwa penutur Austronesia telah mengembangkan teknologi maritim setidaknya sejak dua milenium Sebelum Masehi. Mereka telah menguasai teknik pembuatan perahu, mulai dari bentuk yang sederhana seperti kano, sampai teknik pembuatan perahu dengan lambung yang dibuat berongga menggunakan tambahan papan. Untuk menjaga keseimbangan perahu, mereka menambahkan cadik dan layar berbentuk segitiga.” (hlm. 28).
Zaman berkembang begitu pesat hingga dunia mengetahui “harta karun” besar lainnya, yaitu rempah-rempah. Sampai berlalu sekian ribu tahun lamanya, garis keturunan penutur-penutur Austronesia pun bersua dengan orang-orang asing dari negeri nan jauh. Beberapa komoditas rempah yang paling banyak dicari antara lain cengkih, lada, kayu manis, kapur (kamper), kemenyan, dan pala.
Menurut dokumen pemberangkatan kapal dagang Spanyol yang disusun Martín Fernández de Navarrete pada abad XVI, hanya dengan muatan kecil cengkih saja mampu membiayai sekali pelayaran mengelilingi dunia. Tak heran kongsi-kongsi dagang maupun pengelana dari negara-negara dunia terbuai dan berbondong-bondong menyerbu Asia Tenggara, khususnya Nusantara.
“Daya tarik cengkih, pala, dan bunga pala menjadi dorongan utama perkembangan perdagangan antar bangsa di Asia Tenggara. Pohon cengkih (Eugenia aromatica, Kuntze) terdapat di Ternate, Tidore, Moki, Makian, dan Bacan. Pala dan bunga merahnya diperoleh dari pohon pala (Myristica fragraris, Linn) terdapat di Pulau Banda. Setelah tahun 1550, pohon-pohon ditanam di kawasan lain di Nusantara. Dengan kemajuan teknologi budidaya tanaman, pada akhirnya dapat ditanam di beberapa tempat di dunia.” (hlm. 39).
Buku ini turut menguak bahwa Maluku bukan satu-satunya daerah yang kaya rempah di Nusantara. Ibarat ibu kandung, ia kemudian menyebar dan melahirkan benih-benih rempah di pulau-pulau lainnya. Melintasi peradaban kerajaan-kerajaan yang pernah jaya di masanya, mulai dari Tarumanegara, Samudra Pasai, Sriwijaya, Majapahit, hingga Mataram.
Bahkan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai di bumi Serambi Mekah (kini Aceh) serta Sriwijaya menandai era baru kemaritiman di Nusantara—yang disebut negeri-negeri di bawah angin. Terutama Samudera Pasai, tempat persinggahan Ibnu Battutah, ahli geografi dan pengelana Muslim asal Maroko yang saat itu melakukan perjalanan keliling dunia. Kedatangan dan kesaksiannya menegaskan bahwa Samudera Pasai bukan hanya kerajaan administratif Islam semata, melainkan juga kesultanan maritim dan terlibat dalam perdagangan di sekitar wilayah kekuasaannya.
“Seperti dialami oleh Ibnu Battutah, ia mendengar pengakuan dari penguasa Melayu bahwa menjadi muslim adalah suatu keuntungan. Kala itu, tengah terjadi peralihan kekuasaan di beberapa penjuru Asia dan Afrika berkaitan dengan meluasnya kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam. Samudera Pasai hadir dalam momen sejarah itu. Penguasa Melayu dapat terhubung dengan jaringan dagang Dar Al-Islam, negeri penguasa Muslim di Asia Selatan, Asia Barat, Afrika Timur dan Utara, sekaligus terhubung dengan pusat perdagangan negeri Tiongkok.” (hlm. 114).
Yanuardi Syukur dkk juga melanjutkan, jika Maluku adalah ibu kandung rempah-rempah dunia, maka sebenarnya Papua adalah bagian simpul perdagangan rempah tersebut. Buku ini menyebutnya sebagai bandar rempah yang terlupakan, karena di benak para saudagar dan pemburu rempah, kepulauan Maluku-lah perhentian terakhir.
Berdasarkan keterangan dari Macassan History and Heritage: Journeys, Encounters and Influences karya Marshall Clark dan Sally May (2013)—seperti dikutip dalam buku ini—sibuknya kegiatan di jalur perniagaan di daerah Barat Laut Australia (Zona Arafura) disebabkan oleh interaksi antara masyarakat Papua dengan kepulauan Maluku dan Sulawesi, yang juga bermula karena migrasi Austronesia pada 5.000 tahun lalu. Kesultanan Tidore pada masa itu menjadi penghubung jalur tersebut dengan daratan Papua. Mulai dari Kepulauan Aru, Kei, Tanimbar, lalu merambah pesisir barat Papua.
“Jalur perniagaan prasejarah itu semakin meningkat setelah Kesultanan Tidore berkuasa di abad ke-16. Kesultanan Tidore mengamankan daerah pesisir barat Papua, sekaligus menghubungkannya dengan jalur perdagangan Eurasia yang menyebabkan rempah Nusantara mendunia. Perluasan kekuasaan Tidore disebabkan oleh upayanya untuk memenuhi permintaan pasar atas hasil laut dan budak.
Perlu ada publikasi buku-buku jejak rempah lanjutan
Rwâneka dhâtu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
(Kakawin Sutasoma, pupuh 139, bait 5)
Tentu saja Indonesia adalah negara kesatuan. Negara republik. Segala perbedaan, entah itu suku, agama, ras, warna kulit, bahkan pandangan politik sekalipun, luruh di balik selimut merah putih. Kutipan Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma yang ditulis pada akhir abad ke-14 telah menggariskan itu, yang kemudian menjadi bingkai keutuhan pelbagai kemajemukan di Indonesia. Tak terkecuali rempah-rempah yang tersebar di hampir segala penjuru negeri ini.
Keragaman rempah Nusantara memang memberikan dampak pada dua sisi. Selain meningkatkan pamor “negeri-negeri di bawah angin” penghasil rempah, tetapi juga pernah menempatkan bangsa kita di titik terjajah dan tertindas. Terutama tatkala monopoli dagang dipegang oleh Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Persatuan Perusahaan Hindia Timur Belanda. Sejak saat itulah muncul perlawanan-perlawanan rakyat, baik itu perang maupun diplomasi, hingga proklamasi kemerdekaan Indonesia kita raih pada 17 Agustus 1945. Buku ini turut mengulas sejarah perlawanan Nusantara pada “Bagian 3” (hlm. 187—208).
Setidaknya, Kisah Negeri-Negeri di Bawah Angin mengetuk kesadaran kita. Kesadaran tentang samudra, laut, selat, dan teluk yang luasnya melebihi luas daratan. Rupanya kita memang bangsa maritim, bangsa yang berbudaya bahari. Tanpa bermaksud menafikan yang lain; keberanian, ketangguhan, dan kemampuan para pelaut kita—nelayan, nakhoda, maupun orang-orang yang hidup dari gejolak ombak, terjangan badai, dan gelegar halilintar—sungguh telah melampaui batas-batas normal dan tak tertandingi.
“Hal ini memperkuat pemikiran Adrian Bernard Lapian seorang pakar sejarah maritim, untuk memandang kenyataan historis bagi masyarakat yang hidup di kepulauan dengan mempelajari sejarah Indonesia dari geladak kapal pribumi dan bandar pelabuhan, sehingga kita dapat melukiskan kondisi geografis negara kita dengan menyebut bahwa Indonesia bukan ‘negara kepulauan yang dikelilingi laut’, namun sebuah ‘negara kelautan yang ditaburi pulau-pulau’.” (hlm. 216).
Jika tidak membuka sudut pandang lebih luas, pulau-pulau dan daratan luas yang kita tinggali memang tampak seolah tak berujung. Seakan-akan bukan perairan asin yang menjadi pembatas. Padahal, faktanya kitalah yang memang sekecil itu. Dan kita tak akan pernah bisa memungkiri bahwa sudah saatnya menatap dan membelai lautan Nusantara kembali, setelah lama memunggunginya.
Namun, buku ini memang jelas tak akan cukup merangkum jejak rempah Nusantara yang pernah berjaya bahkan memabukkan dunia. Tebal yang “hanya” 242 halaman sangat terbatas untuk membenamkan paradigma-paradigma kebudayaan maritim pada pembaca.
Di satu sisi, terutama berkaitan dengan kemasan, satu-satunya kelemahan teknis buku ini adalah bentuknya yang bongsor (sekitar 25×25 cm). Meski kesannya menjadi tampak eksklusif dan elegan, beban perekat di punggung buku menjadi berat. Jika sering dibawa dan dibuka-buka untuk dibaca, rawan menyebabkan punggung buku terlepas dari hard cover-nya. Perlu dibuka wacana untuk memudahkan akses bacaan dalam bentuk yang lebih compact dan simpel, baik secara daring maupun luring.
Ke depan, semoga tim penulis juga mempertimbangkan membedah kisah negeri-negeri di bawah angin lebih fokus dan mendalam dari sebatas “jatah” 5—20 halaman yang tersedia per daerah. Tentu akan lebih sulit mengingat literatur yang bisa jadi tak banyak, tetapi bukan sesuatu yang mustahil. Karena, meminjam semboyan TNI Angkatan Laut, Jalesveva Jayamahe! Di lautan kita jaya!
Judul Buku: Kisah Negeri-Negeri di Bawah Angin, Jejak Kemaritiman Nusantara dalam Sejarah Perniagaan Rempah
Penulis: Yanuardi Syukur, Dewi Kumoratih, Irfan Nugraha, Bram Kushardjanto, dan Prisinta Wanastri
Editor: Retno Hermawati dan Muthia Zulfa
Desain Grafis: Dian Parmantia
Penerbit: Yayasan Negeri Rempah bersama Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal Buku: 242 Halaman
ISBN: 978-602-53712-0-2
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.