Orang mungkin akan lebih mengenal Pabrik Texin, ketimbang nama panjangnya: PT Industri Sandang Nusantara Unit Pabriteks Tegal. Selama 16 tahun saya bertetangga dengan kompleks bangunan tersebut, saya baru tahu bahwa ada sejarah menarik di baliknya. Konon pada masanya, Pabrik Texin pernah menjadi salah satu pabrik tekstil terbesar dan tersohor se-Asia Tenggara.
Menurut penuturan orang zaman dulu yang pernah bekerja di Pabrik Texin, hanya pribumi terpandang yang beruntung menjadi karyawan di pabrik peninggalan Belanda itu. Para karyawan pribumi digaji dengan bayaran yang cukup besar untuk ukuran pada masanya. Belum lagi pemberian tunjangan hari raya yang banyak dan lengkap, seperti sejumlah uang dan sembako. Bahkan karyawan pria, jika ingin memilih pasangannya hanya tinggal menunjuk perempuan mana saja yang ingin ia nikahi, karena jarang ada perempuan yang menolak.
Foto-foto lawas koleksi Tropenmuseum Amsterdam yang menggambarkan para pekerja di antara mesin-mesin tenun di pabrik Java Textiel Maatscappij Tegal atau Pabrik Texin Tegal (kiri) dan pemrosesan kapas yang dipres menjadi bal lalu dikemas oleh pekerja pabrik (kanan).
Sejarah Singkat Pabrik Texin
Pabrik Texin memiliki luas lahan sekitar 50 hektare dan terletak di Jalan Pala Raya, yang menghubungkan Kelurahan Dampyak dan Desa Mejasem Barat, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Persis di depan area pabrik, terdapat puluhan perumahan dinas khas arsitektur Belanda.
Pabrik ini didirikan pada tahun 1935 dan diresmikan tanggal 25 Mei 1936 dengan nama Java Textil Maatschappij atau JTM, yang berbentuk badan hukum “NV” dengan modal yang terbagi dalam beberapa saham. Hanya berselang setahun kemudian, pabrik mulai produksi dan berlanjut hingga pihak Jepang menguasai Indonesia. Jepang merebut pabrik tersebut dari pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1942.
Kemudian, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1964 tentang pendaerahan perusahaan industri negara, serta Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 21 tahun 1965 tanggal 3 Juli 1965, terbentuklah perusahaan industri daerah “Sandang” Jawa Tengah dengan sebutan Pinda “Sandang” Jateng Pabrik Textil Indonesia (TEXIN) Tegal. Di kemudian hari dikenal dengan sebutan Perusda “Sandang” Jawa Tengah Pabrik Textil Indonesia (TEXIN) Tegal.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pabrik tersebut diambil alih oleh pemerintah Indonesia dan ditempatkan di bawah pengawasan Badan Pertekstilan Negara. Kemudian dalam perkembangannya, beralih ditempatkan di bawah Badan Pimpinan Perusahaan-perusahaan Industri dan Tambang atau disebut BAPPIT PUSAT TEXIN.
Pada tanggal 27 April 1983, ada pergantian nama pabrik dari Pabrik TEXIN Tegal menjadi Pabrik Tekstil (Pabriteks) Tegal. Lalu pada November 2015, untuk yang terakhir kalinya berubah nama menjadi PT Sandang Tegal Intijaya (tahun 2000 sempat bernama PT Industri Sandang Nusantara). PT Sandang Tegal Intijaya saat ini beroperasi dengan memproduksi benang dan kain, benang TR 20/2, benang katun 20/2, kain katun, dan kain TR (tetron rayon).
Rumah-rumah Belanda yang Tidak Terurus dan Mitosnya
Kalau Anda berkunjung ke Kota Tegal, kemudian berkendara atau berjalan melewati Jl. Pala Raya, Anda pasti akan menemukan jejeran puluhan rumah khas arsitektur negeri kincir angin yang sudah lapuk termakan waktu. Posisinya persis di sebelah selatan RS Mitra Siaga Tegal dan dekat rel kereta api. Konon, bangunan-bangunan tersebut tersebut adalah perumahan bagi para penggede Hindia Belanda yang dulu bekerja di Pabrik Texin. Seperti yang dituturkan oleh nenek saya, Maslicha (72), “Awal tahun 1960-an itu saat Mbah [sekolah] TK, masih sering terlihat anak-anak keturunan Londo di sekitar lingkungan pabrik dan perumahan.”
Bangunan rumah yang mencolok dan tidak terawat menambah unsur angker dan mistis. Dari depan pagar, banyak terlihat rumah dinas yang telah terkelupas catnya dan ditumbuhi dengan tanaman liar yang merambat lebat hingga ke atap. Belum lagi kondisi rumah yang sudah jebol di sana-sini. Banyaknya semak belukar di sekitar halaman kompleks perumahan menjadi sarang binatang, seperti ular dan kalajengking. Dari puluhan bekas rumah dinas Belanda tersebut, terdapat satu sekolah (sepertinya sekolah dasar) yang masih terlihat catnya yang bergambar kartun Bobo.
Meski lingkungan sudah tak keruan, fisik rumah-rumah yang terlihat kokoh menjelaskan bahwa bahan bangunan yang digunakan adalah material dengan kualitas terbaik. Bingkai jendela dan pintu menggunakan kayu jati sebagai bahan bakunya. Keramik-keramik yang digunakan sejak masa kolonial masih terlihat utuh. Hanya ada satu-dua rumah saja yang roboh, itu pun akibat angin besar dan hujan lebat yang mengguyur akhir-akhir ini.
Selain perumahan dinas, di kompleks tersebut juga terdapat wisma tamu yang letaknya bersebelahan. Area wisma tamu kurang lebih seluas 70 meter persegi. Tidak banyak yang saya tahu dari wisma tamu. Namun, yang jelas di area wisma tamu terdapat kolam renang anak dan dewasa yang masih utuh bentuknya, serta ruangan karaoke, ruang dansa, dan bar yang luas. Kolam renang tersebut juga dibuka untuk umum pada saat itu. Tepat di belakang ruangan karaoke terdapat lapangan tenis, yang lantainya masih menggunakan keramik putih lama masa kolonial.
Perumahan dinas di sekitar Pabrik Texin juga pernah dan sering dijadikan sebagai tempat pengajian sebelum tahun 2000-an. Di depan jalan sepanjang perumahan dinas dan pabrik, setiap bulan puasa selalu ramai oleh hiasan lampu dan ornamen-ornamen khas Ramadan. “Biasanya setiap pengajian ibu-ibu Jumat sore, kita meminjam tempat di salah satu rumah. Nanti janjian di rumah nomor berapa,” ungkap nenek saya.
Terdapat mitos yang berkembang di tengah sebagian masyarakat. Di belakang ruang karaoke, terdapat siluman buaya putih penghuni kolam renang. “Di kolam renang yang airnya warna hijau itu ada penunggunya (buaya putih),” kata Lita, salah satu warga setempat.
Ada satu misteri lagi, yakni sering terdengar bunyi sirine pada pukul 12 hingga 3 siang dari arah kompleks perumahan dan pabrik, serta penampakan sesosok pria Belanda di area pabrik. “Biasanya kalau siang itu ada bunyi ‘nguuung’ dari situ,” tambah Wawan, warga desa lainnya.
Kurang Perhatian Pemerintah dan Terpinggirkan
Sejak berakhirnya masa kolonial Belanda, perumahan dinas Pabrik Texin sudah tidak dipakai lagi. Akan tetapi, aktivitas di sekitar pabrik masih tetap berjalan. Memasuki akhir tahun 2000, kejayaan pabrik mulai memudar karena mengalami kebangkrutan. Bangunan perumahan dibiarkan terbengkalai. Entah karena biaya perawatannya yang besar atau bukan termasuk dalam bangunan cagar budaya yang dilindungi. Bagaimanapun, pabrik dan kompleks perumahan Belanda tersebut adalah bangunan bersejarah. Di baliknya banyak jejak sejarah yang bahkan oleh masyarakat sekitar sendiri tidak mengenali.
Lantas, mengapa bangunan tersebut tidak dihancurkan saja? Sesuai peraturan perundang-undangan, bangunan itu termasuk tipe A yang tidak boleh dibongkar baik luar maupun dalam. Tanggapan dan tindakan pemerintah daerah dalam mengelola Pabrik Texin adalah sebatas melakukan inventarisasi. Adapun pengurusan bangunan tersebut merupakan kewenangan dari Kementerian BUMN. Saya jadi bertanya-tanya, apakah jejak sejarah di dekat rumah saya akan tergerus oleh zaman sehingga dilupakan oleh generasi muda?
Berdasarkan beberapa referensi yang saya baca dan observasi langsung, banyak aset pabrik yang dijual dan beberapa bangunan peninggalan Belanda dihancurkan untuk membayar karyawan yang terkena PHK (pemutusan hubungan kerja). Misalnya, ruangan pemintalan dan pengecoran yang dirobohkan pertama kali pada 2014, diganti dengan kompleks perumahan baru. Pelelangan dilakukan oleh pemerintah, seperti bangunan untuk pertenunan, persiapan, ketel uap, finishing, bahkan perumahan pejabat dengan arsitektur khas Belanda. Saat ini yang masih tersisa adalah bangunan masjid Baitul Amanah yang berada di bagian paling barat area pabrik.
Selain itu, bangunan pabrik sepertinya juga tidak direnovasi besar-besaran. Menurut informasi beberapa karyawan yang bekerja di pabrik tersebut, kondisi kumuh dan fasilitas pabrik di dalamnya juga masih kurang memadai untuk standar pabrik tekstil modern. Aktivitas pabrik saat ini pun sudah berkurang dibanding saat masih berjaya di bawah pengelolaan Belanda. Hanya beberapa kegiatan saja yang tetap berjalan, seperti pemintalan dan penenunan.
Foto sampul:
Foto hitam putih pabrik Java Textiel Maatschappij Tegal atau Pabrik Texin tahun 1938/koleksi Nationaal Museum van Wereldculturen
Daftar Pustaka
Mulyadi, A. (2015, 12 Maret). Pabrik Texin Tegal Riwayatmu Kini. Lensa Pantura. Diakses pada 31 Maret 2024, dari http://lensaseputarpantura.blogspot.com/2015/03/pabrik-texin-tegal-riwayatmu-kini.html.
Mulyadi, A. (2023, 23 Juli). Kilas Sejarah Pabrik Texin Tegal, Perusahaan Tekstil Tersohor Pada Masanya. Radar Tegal. Diakses pada 1 April 2024, dari https://radartegal.disway.id/read/659375/kilas-sejarah-pabrik-texin-tegal-perusahaan-tekstil-tersohor-pada-masanya.
Saprudin. (2001). Analisis Sebab Pemborosan Dalam Rangka Meningkatkan Efektivitas Peralatan Pada Pasar Yang Kompetitif (Kasus PT (Persero) Industri Sandang Nusantara Unit Pabriteks Tegal). Tesis S-2. Program Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/9396/.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.