Kokok bekisar terdengar sayup di antara samar sinar mentari yang menembus kaca jendela. Tunggu, apa itu bunyi ayam sungguhan? Atau saya masih berada di alam mimpi?
Tidak, suara itu nyata. Tentu saja, ini Kangean, si Pulau Cukir.
Alun-alun Arjasa
Kebetulan, hotel tempat kami menginap tak jauh dari alun-alun Arjasa. Jadi, di pagi hari kami menyempatkan diri untuk mengunjungi pusat keramaian pulau itu. Meski cuma sepetak alun-alun kecamatan, masyarakat sekitar menyebut kawasan itu sebagai “kota”. “Kota” ini bukan hanya episentrum perekonomian lokal, melainkan juga telah lama menjadi jantung pemerintahan Kangean sejak zaman kolonial. Kantor kecamatan di utara, puskesmas di selatan, bangunan tua milik Perhutani di timur, dan masjid agung di barat.
Begitu melintas di lapangan, banyak mata memerhatikan kami. Jelas mereka tahu kami bukan penduduk sekitar. Kami lurus saja berjalan ke arah bocah-bocah yang tengah asyik bermain di bawah patung bekisar kebanggaan penduduk Kangean. Saat kami mendekat untuk sekadar memotret dan merekam, anak-anak itu malah mengerubungi kami.
“Nanti masuk YouTube, Kak?” kata seorang anak.
“Itu iPhone asli, Kak?” timpal lainnya.
Saya mengangguk dan meminta mereka tetap bermain.
Arjasa bukan kawasan susah sinyal. Sejak tiba lusa lalu, saya bisa internetan sesuka hati, bahkan di Mamburit sekalipun. Walau begitu, bocah-bocah di depan kami tidak berkumpul untuk mabar (main bareng) dengan ponsel masing-masing di genggaman. Alih-alih, mereka memainkan permainan tradisional.
Rambu, begitu mereka menyebutnya. Permainan itu sederhana saja. Sandal atau sebatang kayu diikat tali, ditautkan, lalu diadu. Pemain yang talinya putus berarti kalah. Tentu tali yang dipakai bukan benang biasa, melainkan senar layangan yang sudah dilabur serbuk kaca. Setelah bosan, mereka beralih ke permainan lain. Sayang sekali kami tak bisa menonton lebih lama. Sebentar lagi Firman akan menjemput dan mengajak kami menyusuri jalan utama Kangean hingga ujung timur pulau.
Dari Kota ke Rimba
Mobil kami melaju kencang di jalanan Arjasa. Jalur yang kami lintasi merupakan satu-satunya jalan protokol, terbentang sekitar 47 kilometer dari ujung barat ke ujung timur. Toko-toko grosir berjejer di pinggir jalan. Rupanya, Kangean tak seterpencil kelihatannya. Ia memang nun jauh di timur, tetapi fasilitas di sini sudah cukup komplet meski pasti tak selengkap di Madura daratan. Bank, swalayan, apotek, rumah sakit, bengkel mobil, semua ada. Bahkan, jasa pengiriman barang pun sudah beroperasi dan siap menggenapi hasrat belanja masyarakat.
Sepanjang jalan, kami melewati banyak masjid. Wajar, masyarakat pulau ini mayoritas muslim—bahkan mungkin semuanya Islam. Meski begitu, kira-kira pada 1915, pernah ada seorang pendakwah kristen yang hendak menyebarkan ajaran Yesus di Kangean. Diceritakan, orang Belanda itu sudah berlaku amat baik bagi warga sekitar. Ia memberikan pendidikan, beras, obat-obatan, sampai hiburan bagi penduduk dengan harap bisa merekrut pengikut. Namun, apa daya, rupanya ajaran Kristus tak meresap ke benak warga Kangean. Setelah seperempat abad mencoba, menjelang Perang Dunia kedua, dia hengkang dari pulau. Kini, kawasan tempat ia dahulu tinggal dikenal sebagai Kampung Pandita.
Dari pesisir barat, kami bertolak ke pantai utara pulau. Di situ terdapat sebuah sumber air tawar yang langsung bermuara ke laut. Celghung, begitu warga sekitar menyebutnya. Telaga itu menjadi semacam tempat wisata bagi masyarakat setempat. Sayang sekali, ia tampak terbengkalai sehingga saya tak bernafsu menceburkan diri.
Kami melesat terus ke timur. Aspal kian pudar, berganti jalur makadam yang memaksa kami melaju bak kura-kura. Rupanya, jalur utama pulau ini belum sepenuhnya mulus. Alhasil, butuh waktu lebih lama untuk jarak yang tak seberapa. Pantas saja banyak motor jenis trail berseliweran. Dengan kondisi begini, paling-paling kami hanya bisa melaju sekitar 30 km/jam. Lagi-lagi ada saja yang membuat saya mual. Usai dibuat pening di laut, kini saya dibikin pusing di darat. Saya membuka kaca jendela dan melempar pandang ke luar, ke arah hutan yang dibelah jalan rusak ini.
Sesekali kami berpapasan dengan sapi-sapi milik warga yang dilepas begitu saja. Hewan-hewan itu tampak berbeda dengan lazimnya sapi Madura. Lembu di sini warnanya lebih pucat, tak secokelat saudara-saudara mereka di Madura. Masyarakat Kangean rupanya telah lama beternak sapi dengan cara seperti ini. Dulu, metode semacam itu sempat dilarang lantaran kerap memicu konflik antarwarga perihal kepemilikan sapi. Apalagi kalau binatang itu beranak pinak di hutan dan membingungkan si empunya.
Akan tetapi, agaknya di daerah pelosok, cara seperti ini masih lestari. Teknik serupa juga dilakukan masyarakat Pulau Gili Genting di sebelah selatan Sumenep. Mungkin, kini para pemilik ternak sudah lebih lihai dalam mengontrol ternaknya. Walau demikian, bukan berarti pencuri ternak tak beraksi di sini sehingga binatang memamah biak itu bebas dilepas. Kadang, ternak warga lenyap di malam hari.
“Maling sapi biasanya memotong langsung sapi curiannya. Kalau bawa hewan hidup, kelamaan. Keburu kepergok. Mau gendong sapinya juga enggak mungkin,” jelas Firman. Benar juga, di tengah rimba seperti ini, maling bisa menjagal sapi tanpa membangunkan seorang pun di tengah gulita.
Hutan yang kami lalui cukup luas. Kata Firman, jika beruntung, kami bisa melihat ayam hutan di antara pokok-pokok jati. “Dulu sering nongol, tapi belakangan sudah jarang,” jelasnya. Unggas itu merupakan indukan bekisar. Orang Kangean yakin bahwa merekalah penemu sang bekisar. Lantaran dianggap autentik, bekisar Kangean bisa dihargai sampai puluhan juta.
Hingga kini, para penangkar masih menangkap ayam hutan dari belantara untuk dikawinkan dengan ayam kampung mereka. Barangkali, satwa liar itu kini masuk lebih dalam ke rimbun belukar, kian waspada dan waswas akan bau manusia. Di tengah perjalanan, kami menyempatkan diri mampir ke rumah seorang penangkar bekisar. Sayang sekali, ia hanya punya ayam hutan induk dan belum menghasilkan bekisar barang seekor.
Bagaimanapun, rimba Kangean merupakan hutan terakhir di kawasan Madura. Tak hanya dihuni ayam hutan (mano’ tarata), belantara Kangean juga rumah bagi berbagai spesies burung. Kepodang dan betet yang langka masih beterbangan di kanopi hutan Kangean. Bahkan, dahulu, sebelum para bandit beraksi, konon ternak warga yang dilepas ke jenggala acap menjadi incaran harimau.
Berhenti di Sendang
Mobil kami menepi. Di tepi jalan, sekelompok pekerja beristirahat. Mereka sedang mengerjakan proyek pembangunan tempat wisata. Rupanya, di situ terdapat sumber air tawar, Olbha’ namanya. Seperti Celghung, sendang tersebut juga langsung mengalir ke laut. Kami turun lalu berjalan mengikuti suara gemericik air.
Pohon-pohon besar macam pule, kepuh, dan keben, menaungi langkah kami. Raksasa-raksasa itu mengadang sinar matahari serta menguarkan nuansa wingit bagi siapa pun yang melintas di bawah naungannya. Tentu kondisinya sangat berbeda di masa silam. Sebelum manusia menjamah jauh ke dalam rimba, vegetasi hutan ini lebih rapat. Wajar jika dulu belantara Kangean membuat manusia gentar.
Ketika belum ada dokter di pulau ini, penduduk lokal percaya bahwa penyakit yang mereka derita ialah ulah demit penunggu alas. Kini, saat orang tak lagi takut, belantara perlahan koyak moyak, tebing-tebing digerogoti, pohon pule raksasa kerap dicuri seenaknya, dan burung-burung ditangkapi untuk dijual ke luar pulau. Seperti biasa, tampaknya belum ada tindakan berarti dari pihak berwenang.
Gemercik air kian nyaring. Kami tiba juga di sendang. Sebuah mata air memancar dari celah bebatuan, tepat di dekat pohon keben. Alirannya membentuk rawa-rawa yang berbatasan langsung dengan hutan bakau. Saya menadahi air dengan kedua telapak tangan dan membasuhkannya ke muka.
Di Ujung Timur
Usai melibas jalanan selama lebih kurang dua jam, akhirnya kami tiba juga di ujung timur. Patapan, begitu nama daerah itu. Kata tersebut berarti “pertapaan”. Konon, dahulu kala, Arya Jasa, seorang tokoh dalam legenda lokal, bersemadi di kawasan tersebut untuk menemukan keris yang mampu mengangkat wabah di negeri asalnya.
Jalur di depan kami buntung. Ini benar-benar akhir perjalanan. Di depan sana, laut membentang, memisahkan daratan yang kami pijak dengan sebuah pulau, tidak jauh di seberangnya, yaitu Paliat. Rimbun hutan Paliat terlihat dari tempat kami berdiri. Dari pulau kecil itu pula orang-orang bertolak ke Sapeken.
Kangean, Paliat, dan Sapeken hanyalah sebagian kecil dari pulau-pulau yang bertebaran di perairan timur Madura. Kawasan kepulauan Sumenep, selain jarang terekspos media, juga masih tertinggal. Pendidikan di pulau-pulau kecil itu jelas tak sebaik di Madura daratan. Lebih-lebih, orang Madura daratan biasanya enggan jika mendapat tugas mengajar di wilayah kepulauan. Saya pikir, ada baiknya pemerintah setempat memberikan beasiswa khusus kepada warga asli area kepulauan agar kelak mereka dapat kembali dan memajukan pendidikan di daerahnya.
Mungkin sarana pendidikan yang minim berkorelasi dengan kecenderungan orang Kangean untuk merantau ke Malaysia. Begitulah para istri di sini seringkali harus menjalin hubungan jarak jauh dengan suaminya. Saya teringat film berjudul Istri Orang yang saya tonton empat tahun lalu, tentang seorang perempuan Kangean yang ditinggal suaminya hijrah ke negeri jiran.
Di pantai Patapan, kami membuka bekal. Istri Firman sudah memasak banyak untuk kami bertiga. Teman saya itu dan istrinya pernah menempuh pendidikan tinggi di universitas top. Mereka tentu sadar kemudahan yang ditawarkan daerah-daerah di luar sana. Kendati begitu, sepertinya mereka tak tergoda dan lebih memilih pulang ke kampung halaman.
Kami makan di atas pasir dengan deru ombak dan desau angin. Di kejauhan, sebuah kapal merayap lambat ke timur, menuju Sapeken. Sebagai warga Sumenep, baru kali ini saya menyadari betapa luas wilayah kabupaten tempat saya tinggal. Namun, Kangean benar-benar jagat yang lain. Ia adalah Madura sekaligus bukan. Entah ada berapa daratan lagi di sekitarnya. Rasanya mustahil untuk saya menjejaki semua pulau mungil itu.
Saya memandang lepas ke samudra. Kapal yang saya lihat tadi sudah makin jauh ke timur dan terus melaju hingga menjelma titik hitam di horizon.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Asief Abdi belajar biologi di Universitas Negeri Malang. Aktivitasnya mengamati hewan dan tumbuhan sejak kuliah masih berlanjut hingga saat ini. Belakang juga tertarik mengunjungi situs-situs bersejarah. Kini, ia tinggal dan bergiat sebagai pengajar di Pamekasan.