Ingatan tentang Perjalanan ke Malang bersama Kawan-kawan

by Anggardha Paramita

Jalan-jalan mungkin adalah salah satu hal paling menyenangan untuk dilakukan. Namun, sejak kasus COVID-19 pertama di Indonesia diumumkan bulan Maret lalu, perjalanan mesti ditunda dulu. Orang-orang disarankan untuk di rumah saja. Ini tentu menjadi cobaan tersendiri bagi para pejalan.

Masa-masa di rumah saja memberiku banyak waktu untuk mengenang perjalanan lewat foto. Aku punya sebuah folder bernama “Tiket Liburan.” Suatu hari, folder itu membawaktu ke dalam sebuah kenangan perjalanan pada awal tahun 2020.

Pada 12 Januari lalu, KA Matarmaja membawaku dan tiga kawanku—Ana, Elen, dan Sita—beranjak dari Stasiun Tawang menuju Stasiun Malang. Kami duduk dalam kereta sejak pukul 6 petang hingga pukul 3 pagi. Sembari menunggu sang fajar menampakkan diri, kami beristirahat sekaligus menumpang salat Subuh di musala yang terletak di ujung stasiun.

Sekitar pukul 6 kami keluar dari stasiun menuju penginapan dengan ojek daring. Kami menyewa sebuah kamar homestay di Rumah Jl Jaksa Agung. Tempatnya cukup nyaman untuk penginapan seharga Rp480.000/dua malam. Lokasinya juga masih dekat dengan stasiun, hanya terpaut sepuluh menit perjalanan. Karena check in baru bisa dilakukan jam 1 siang nanti, kami menitipkan barang bawaan di sana, menumpang mandi, beristirahat di ruang depan, lalu jalan-jalan.

Kami mampir ke tempat wisata yang cukup terkenal yaitu Kampung Warna-warni Jodipan. Bapak jurumudi ojek daring menurunkan kami di depan gang perkampungan. Kami berjalan menuruni anak tangga di gang tersebut dan bertemu dengan dua wanita, sepertinya mereka penduduk setempat. Untuk memasuki Kampung Jodipan, kami dikenai biaya Rp3.000/orang. Banyak titik foto menarik dan instagenik di segala sisi. Menurutku yang paling ikonis dari tempat ini adalah jembatan kacanya. Dari jembatan kaca kita bisa melihat kedua kampung cantik yang terpisahkan oleh sungai itu.

Lorong Kampung Warna-warni Jodipan/Anggardha Paramita

Kemudian kami menyeberangi jembatan kaca dan tiba di Kampung Tridi (3D). Di sini kami dikenai biaya lagi sebesar Rp3.000/orang untuk keluar dari area perkampungan. Uniknya, di Kampung Tridi uang kita ditukar dengan tiket berupa gantungan kunci lucu dari kain flanel. Usai menjelajahi Kampung Jodipan dan Kampung Tridi, kami menuju ke Malang Town Square untuk mencari makan siang sembari menunggu waktu lapor-masuk penginapan.

Kampung Tridi (3D)/Anggardha Paramita

Jam 1 siang aku dan ketiga kawanku sudah kembali ke penginapan. Kami hendak istirahat saja di kamar karena tengah malam nanti akan dijemput untuk pergi ke Bromo.

Tiba-tiba sebuah pesan muncul di Line-ku. Seorang kawan yang merantau tahun lalu melihat di Instagram bahwa aku sedang di Malang. Namanya Mas Aldi. Dulu Mas Aldi bekerja di Malang, namun sekarang sudah dipindahkan ke Pasuruan. Sepulang kerja dia menempuh perjalanan sekitar 1 jam menuju penginapanku. Kawan-kawanku merespons baik kedatangannya. Kami berbincang cukup lama kemudian memutuskan untuk keluar mencari makan malam. Karena hanya ada satu motor, aku pergi bersama Mas Aldi lalu kembali ke penginapan mengantar makan untuk kawan-kawan.

Sebelum pulang, Mas Aldi mengajakku keliling Malang. Karena tidak ada tempat yang dituju, dia membawaku ke Bukit Paralayang di Batu. Perjalanan ke sana tidak memakan banyak waktu karena kami berdua menaiki motor dan jalanan yang kami lewati tidak terlalu ramai. Suasana di sana lumayan dingin karena berada di ketinggian, apalagi saat itu sudah cukup malam. Dari atas bukit, aku bisa melihat lampu kota Malang yang gemerlapan. Di tempat itu ada warung yang menjual makanan dan minuman. Walau sudah malam, masih banyak orang yang berdatangan. Sebagian besar bersama pasangan.

Mas Aldi segera mengantarku kembali ke penginapan, sebab aku sudah membuat janji dengan pihak tur untuk dijemput tengah malam. Setelah mengantarku, Mas Aldi langsung bertolak ke Pasuruan karena keesokan harinya harus kembali bekerja.

Melihat Bromo

Di penginapan, kami berempat dijemput perwakilan tur dan dibawa dengan Mobilio menuju Tumpang. Sampai di Tumpang barulah kami melanjutkan perjalanan ke Bromo menggunakan jip. Sepanjang perjalanan aku tertidur karena sejak tiba di Malang aku belum memejamkan mata sama sekali.

Setiba di kawasan Bromo, kami menikmati matahari terbit ditemani suasana dingin yang menusuk tulang. Beruntung sekali kami mendapat cuaca cerah hari itu. Kata Kang Doni, pemandu sekaligus sopir jip kami, beberapa hari terakir di Bromo sering turun hujan mengingat saat itu masih bulan Januari.

Berfoto dengan latar belakang matahari terbit di Bromo/Anggardha Paramita

Dari sana, Kang Doni mengantar kami ke Lautan Pasir. Di sana tidak ada apa-apa selain hamparan pasir luas dibatasi bukit-bukit berumput. Walau begitu, ternyata tempat itu cukup indah untuk diabadikan. Berfoto di hamparan pasir itu seperti sedang berada di dalam lukisan berhiaskan langit biru cerah.

Tempat selanjutnya yang akan kami tuju adalah Pura Luhur Poten dan Kawah Bromo. Karena jaraknya dari tempat parkir jip cukup jauh, kami tidak naik sampai ke kawah, hanya berfoto di depan Gunung Batok yang terlihat gagah. Banyak kuda yang berlalu-lalang bersama jokinya serta penjual bakso yang menjajakan dagangannya naik motor.

Tempat terakhir adalah dua titik yang paling aku suka, yaitu Bukit Teletubbies dan sabana. Kedua lokasinya cukup berdekatan dan suasananya bisa dibilang mirip. Jip yang kami naiki melewati sebuah jalur di antara bukit-bukit berwana hijau. Kang Doni sempat meminggirkan jip lalu mengambil foto kami di depan bukit sebagai kenang-kenangan perjalanan ke Bromo.

Sabana Bromo/Anggardha Paramita

Usai mengitari kawasan Bromo, kami kembali ke Tumpang. Dari sana, dengan mobil yang mengantar kami tadi malam, kami kembali ke penginapan. Setiba di penginapan, sebelum beristirahat, kami mengisi perut dengan makanan yang sudah disiapkan.

Selepas beristirahat dan mengisi tenaga, kami menyewa dua motor untuk mencari oleh-oleh dan mengunjungi Kota Batu. Aku berboncengan dengan Sita, sedangkan Ana berboncengan dengan Elen. Kami sangat menikmati sisa waktu yang sedikit itu sebelum kembali ke Kota Lumpia keesokan harinya.

Begitulah kiranya ingatanku tentang perjalanan bersama kawan-kawan dan Kota Malang.

Aku pernah membaca sebuah kutipan:“A photograph is a return ticket to a moment.” Kini aku mengerti maksudnya. Mengambil gambar dalam suatu perjalanan sebenarnya lebih dari sekadar mengumpulkan konten untuk Instagram. Bagiku, gambar-gambar itu adalah “tiket liburan.”

Mahasiswa Farmasi semester 3 Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Semarang.

You may also like

Leave a Comment