“Kalau diberi kesempatan, dengan siapa kamu ingin ngobrol? Dan tentang apa?”
Dua pertanyaan itu tertoreh dengan tinta hitam pada latar berupa dinding putih. Dalam ruangan tak begitu besar, deretan huruf yang membentuk makna itu diposisikan berhadap-hadapan dengan ratusan jajan sarad khas Bali.
Ini bukan ruang kelas, bukan pula toko kelontong. Ini adalah pameran tunggal seniman I Made Agus Darmika “Solar,” “I Wish to Have This Conversation with You,” yang diadakan di Kedai Kebun Forum (KKF), Jalan Tirtodipuran No. 3, Yogyakarta.
Sesaat setelah saya tiba di ruang seni alternatif yang sudah eksis sejak 1997 itu, sang seniman, Solar, masuk ke ruang eksebisi. Usai memperkenalkan diri, ia bercerita banyak soal karya-karyanya yang kultural namun juga sangat personal itu.
Sesajen khas Bali
Jajan sarad punya posisi lumayan penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Ini adalah salah satu sesajen yang dipersembahkan dalam berbagai upacara di Pulau Dewata. Bahan dasarnya adalah tepung beras yang kemudian dibentuk dan digoreng layaknya kue. Warna-warnanya yang mentereng—hijau, biru, jambon, dan kuning—merepresentasikan betapa warna-warninya alam semesta.
Instalasi jajan sarad Solar digantung dan dibagi dalam tiga kelompok. Pembagian itu terinspirasi dari tiga venue kehidupan Bali, yakni gunung, darat, dan laut. Di bagian gunung, jajan sarad yang digantung berbentuk gunung, juga berbagai macam hewan. Kelompok daratan adalah tempat bagi jajan sarad berbentuk manusia aneka rupa. Bagian laut diisi dengan jajan sarad serupa biota laut.
Menariknya, dalam “kehidupan nyata,” proses pembuatan unsur sesajen ini melibatkan kerja kolektif banyak orang, dari mulai ibu-ibu sampai anak muda. Komunikasi tentu jadi bagian tak terpisahkan dari proses pembuatan jajan sarad. Dalam rilis pameran dijelaskan bahwa orang-orang bisa bicara apa saja sembari mengolah tepung beras, mulai dari kisah personal sampai nilai-nilai dalam budaya Bali.
Lalu, apa yang membuat jajan sarad begitu personal bagi Solar?
Tentang ibu
Wafatnya sang ibu membuat Solar segera meninggalkan Yogyakarta dan kembali ke Bali selepas belajar di Institut Seni Indonesia (ISI). Lama di perantauan, Solar akhirnya kembali pada akarnya, budaya dan tradisinya.
Solar bercerita bahwa kegiatan sang ibu di masa tuanya adalah membuat jajan sarad. Itulah yang membuat Solar kemudian mulai mengulik jajan sarad dan memaknai proses pembuatannya.
Bagi seniman kelahiran 1991 ini, proses kreatifnya dalam mengulik jajan sarad adalah upaya untuk berkomunikasi dengan sang ibu, juga dengan dirinya sendiri. Selain itu, ini adalah usaha untuk memeriksa ulang hal-hal yang tercecer di belakang sembari terus melangkah ke depan.
Setelah mendengar cerita Solar, cara saya memandang instalasi seni warna-warni di tengah cahaya remang-remang itu pun jadi berbeda. Bukan, “I Wish to Have This Conversation with You” bukan sekadar tentang keindahan, namun sebuah ekspresi tentang bagaimana seharusnya memaknai “kemarin,” “besok,” dan “kemudian.”
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Menggemari perjalanan, musik, dan cerita.