Layaknya Dafne yang berubah menjadi pohon dalam mitologi Yunani, menurut cerita rakyat Rejang, pohon aren juga merupakan perwujudan seorang perempuan. Bedanya, ini bukan kisah kasih tak sampai seperti Dafne dan Apollo. 

Aren di Tanah Rejang
Kabun aren dilihat dari ketinggian/Asief Abdi

Alkisah, dahulu kala hiduplah tujuh orang bersaudara, enam laki-laki, dan seorang perempuan bernama Putri Sedaro Putih. Mereka yatim piatu dan hidup sebagai petani di sebuah desa terpencil. Sebagai anak bungsu, si gadis sangat disayang oleh saudara-saudaranya. Hari-hari mereka damai hingga malam itu tiba.

Sedaro Putih terjaga dari tidurnya. Tubuhnya gemetar, napasnya terengah, detak jantungnya mengencang. Sebuah mimpi memaksanya membuka mata, memastikan yang dilihatnya tidaklah nyata. Esok dan beberapa hari setelahnya, ia tampak murung dan tak bersemangat. Sinar matanya redup, seakan kehilangan daya hidup. Tubuhnya pun mengurus tak terurus. Perubahan sikap sang adik tak luput dari perhatian kakak sulungnya.

Suatu hari, kakaknya menghampiri Sedaro Putih dan bertanya perihal apa yang terjadi. “Ada apa gerangan, Adikku? Apakah engkau sakit?” tanyanya. “Tempo hari aku bermimpi. Entah mengapa, aku menjadi resah,” jawab sang adik pilu. Tak sanggup menanggungnya sendiri, gadis itu pun menceritakan mimpinya.

Dalam mimpi, Sedaro Putih didatangi seorang lelaki tua yang mengaku sebagai kakeknya. Ia diberi tahu bahwa hidupnya tak akan lama lagi. “Ajalmu akan segera tiba. Kelak, setelah engkau mati, akan tumbuh sebuah pohon dari kuburanmu. Pohon itu akan memberi manfaat dan kehidupan bagi orang-orang,” kata pak tua itu.

Aren di Tanah Rejang
Buah aren alias kolang-kaling/Asief Abdi

Mendengar cerita itu, sang kakak pun mengerti musabab saudaranya bersedih. “Namun, jika memang benar dari tubuhku akan muncul pohon yang berguna bagi manusia, aku rela mati,” kata gadis itu terisak. Si sulung meyakinkannya bahwa itu cuma mimpi. “Bukankah mimpi hanya hiasan tidur?” hiburnya. Perlahan, Sedaro Putih mulai lupa, menganggapnya tanpa makna belaka. Sinar matanya kembali menyala dan hidup seperti sediakala. Akan tetapi, sayang sekali, mereka salah. 

Rupanya, takdir tidak main-main. Suatu malam, Sedaro Putih meninggal secara mendadak, tanpa sakit atau penyebab lazim lainnya—barangkali jika saat itu ada dokter, ia sudah divonis terkena serangan jantung. Saudara-saudaranya menangis, menyesal telah mengabaikan firasat yang dirasakan adiknya. Jasad si bungsu pun dikubur. Benar saja, tumbuh pohon tak dikenal dari pusaranya. Karena tumbuhan itu tak bernama, mereka menyebutnya pohon sedaro putih, seperti sang adik. Dan mereka merawatnya seakan pohon itu adalah reinkarnasi si gadis. Pohon itu pun tumbuh besar. Di sampingnya, hidup pula pohon kapung—diduga adalah Leucaena leucocephala—yang dianggap sebagai pelindung.

Suatu hari, seorang saudara Sedaro Putih berziarah dan beristirahat di bawah pohon jelmaan adiknya. Angin bertiup, diikuti desau dedaunan. Reranting pohon kapung memukul-mukul tangkai perbungaan pohon sedaro putih. Seekor tupai menggigit tangkai itu hingga putus lalu meminum cairan yang menetes. Ia mengamati binatang yang kehausan itu. Setelah hewan itu pergi, ia mendekat dan menadahi air yang menetes, lalu mencicipinya. Dia terkejut karena rasanya manis. Dengan muka berseri, ia pulang dan memberi tahu saudara-saudaranya. 

Mereka meniru apa yang dilakukan angin, ranting, dan tupai. Tangkai perbungaan digoyang-goyangkan, dipukul-pukul, lalu dipotong untuk disadap. Sebuah tabung bambu (tikoa) diletakkan guna menampung air manis itu. Makin hari, hasil sadapan bertambah. Mereka kewalahan menyimpannya sehingga rasanya pun menjadi asam karena fermentasi. Mereka mencari cara mengawetkan hasil sadapan. Cairan itu direbus hingga menggumpal dan mengeras, menghasilkan bongkahan-bongkahan yang kelak dikenal sebagai gulo aren.

Sang penggubah mengakhiri kisah itu dengan indah. Sebuah legenda dengan pesan mendalam tentang kegunaan pohon aren. Sayang sekali, cerita itu tampaknya kini tak banyak diketahui pemuda Rejang. Setelah mendengarnya sekilas, saya bertanya ke beberapa teman tentang detail kisah itu dan mereka tidak tahu—akhirnya saya harus mencarinya di buku cerita rakyat Bengkulu. Boleh jadi, suatu saat cerita itu benar-benar akan hilang dari ingatan orang. 

Kini, kita mengetahui bahwa aren adalah pohon yang baik. Tak hanya nira, bagian lain tumbuhan ini juga dapat dimanfaatkan manusia. Batang dan daun enau menghasilkan ijuk, yaitu serat ramah lingkungan. Buahnya, kolang-kaling,—yang sebenarnya adalah bagian biji—sangat laku dijual, lebih-lebih saat bulan puasa. Tulang daunnya digunakan untuk sapu lidi. Batang mudanya menghasilkan tepung. Daun enau juga bisa digunakan sebagai bahan atap rumah. Bahkan, dulu orang merokok menggunakan daun enau sebagai pembungkus tembakau. Nira yang difermentasi akan menjadi tuak, minuman keras tradisional. 

Aren di Tanah Rejang
Pak Asmawi memukul-mukul tangkai perbungaan aren/Asief Abdi

Begitu berguna pohon aren hingga wajar rasanya jika cerita rakyat tentangnya muncul di beberapa daerah Sumatra—Dewi Areni dan Beru Sibou di Sumatra Utara. Menariknya, kisah-kisah itu mengusung tema serupa, yaitu perwujudan seorang perempuan. Di sini, kita bisa melihat korelasi antara perempuan dan kesuburan. Perempuan, sang pemberi kehidupan, sang Dewi Agung.

Dewi Agung dikenal dengan berbagai nama—Isis, Ishtar, Inanna, Nut, Auset, Hathor—dan merupakan arketipe—gambaran lampau yang muncul dari ketidaksadaran kolektif—yang umum. Dialah simbol daya hidup feminin yang sangat terkait dengan alam dan kesuburan, sebagai pencipta kehidupan sekaligus sebaliknya. 

Pohon adalah salah satu lambang sakral sang dewi. Carl Gustav Jung dalam bukunya yang berjudul Empat Arketipe mengasosiasikan aspek kesuburan dan pohon sebagai manifestasi arketipe ibu. Mite dan dongeng merupakan ekspresi arketipe, sehingga pola-pola arketipal umum yang ada pada semua manusia menghasilkan kemiripan mitologi kebudayaan yang berbeda-beda. 

Dalam Goddesses in Everywoman, Jean Shinoda Bolen menulis bahwa Dewi Agung masih eksis sebagai arketipe dalam ketidaksadaran bersama manusia. Tampaknya, sang dewi juga hadir di alam pikiran masyarakat Rejang dan daerah-daerah lain di Sumatra, tentunya dalam aspeknya yang positif—yakni pemberi kehidupan—sehingga lahirlah legenda-legenda tentang pohon aren yang subur sebagai perwujudan dari seorang perempuan. Lagipula, bukankah kita semua mengenal Hawa, perempuan pertama dalam kitab suci agama abrahamik? Dalam bahasa Ibrani, “hawwāh” artinya “kehidupan”. Aren, dengan segala kegunaannya, barangkali memang layak dijuluki pohon kehidupan. Tumbuhan ini tak hanya penting bagi manusia, tapi juga untuk lingkungan.

Beberapa hewan menjadikan aren sebagai habitat dan sumber makanan, seperti monyet jambul (Macaca tonkeana), babi rusa (Babyrousa babyrussa), lebah (Apis cerana), musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus), dan orangutan Sumatra (Pongo abelii). Hubungan ini tidak berlaku searah, melainkan resiprokal. Artinya, aren juga membutuhkan hewan-hewan itu untuk menyebarkan bijinya secara alami. Bahkan, di banyak tempat, para petani percaya bahwa penanam aren terbaik adalah musang luwak. Meskipun demikian, propagasi oleh manusia berperan paling besar dalam distribusinya.

Selain menjadi habitat bagi penghuni hutan, akar-akar aren yang menancap ke dalam bumi memberikan kekuatan bagi tanah, melindunginya dari erosi. Tumbuhan ini juga bukan “anak manja” yang butuh banyak air, pupuk, dan pestisida. Aren adalah tumbuhan yang tangguh. Keberadaannya di hutan justru menyokong kondisi tanah. Kebaikan aren membuat seorang ilmuwan yakin bahwa tumbuhan ini bisa menyelamatkan hutan tropis Indonesia yang luasnya kian susut oleh sistem pertanian monokultur gila-gilaan.

Aren di Tanah Rejang
Mengobrol di warung/Asief Abdi

Willie Smits, seorang ilmuwan sekaligus konservasionis asal Belanda meyakini bahwa aren memang pohon kehidupan. Dia melihat aren sebagai komoditas yang tak hanya bernilai ekonomis, tapi juga ekologis. Saat ia dimintai mas kawin berupa enam pohon aren ketika menikahi seorang perempuan Sulawesi, tempatnya melakukan penelitian, ia pun makin yakin pada potensi aren. “Hal itu membuat saya tertarik mempelajari aren lebih dalam,” tulis dia.

Menurutnya, kita bisa menyadap energi dari tubuh tumbuhan itu dan mengolahnya menjadi etanol sebagai bahan bakar. “Nira tersusun utamanya dari air dan gula—terbuat dari hujan, cahaya matahari, karbon dioksida, dan itu saja. Pada dasarnya, kamu hanya memanen cahaya matahari,” jelasnya dalam sebuah artikel di situs National Geographic. Sekilas, memang terkesan tidak ada bedanya dengan kelapa sawit, tapi lelaki itu yakin aren lebih ramah lingkungan

Budi daya aren tidak bisa dilakukan secara monokultur. Tumbuhan ini justru tumbuh baik di lahan hutan yang masih sehat dan heterogen. Aren tak hanya memberikan dukungan ekonomis bagi masyarakat, tapi juga sokongan ekologis bagi lingkungan. Sangat antitesis dengan kelapa sawit yang destruktif. Dengan konsep energi terbarukan yang ia gagas, Smits percaya bahwa aren adalah spesies kunci bagi upayanya menyembuhkan rimba Indonesia yang sudah compang-camping.

Hujan turun mendadak. Rintik-rintik air memukuli atap. Beberapa pemotor berhenti untuk berteduh. Sesekali kami mengobrol sambil menunggu hujan reda, mencoba membuat suasana tetap hangat di tengah udara dingin. Tak lama, guyuran air dari langit berhenti. Kami berpamitan kepada pasangan pemilik warung. Sebelum beranjak, saya meminta Pak Asmawi untuk memotret saya di depan warungnya. Saya serahkan ponsel. “Bisa, kan, Pak?” tanya saya. Ia mengiyakan lalu berdiri beberapa meter di hadapan saya sambil menghitung. “Satu, dua, tiga,” serunya.  Kami berpisah. Di dalam mobil saya membuka ponsel dan melihat foto tadi. Ah, sayang sekali. Fotonya nge-blur.


Daftar Bacaan

Azhari, Muhammad Qosyim. 2017. Etnobotani dan Potensi Aren (Arenga pinnata merr.) pada Masyarakat Suku Rejang Desa Air Merah, Rejang Lebong Bengkulu. Repositoryipb.ac.id

Bolen, Jean Shinoda. 2021. Goddesses in Everywoman. Yogyakarta: IRCiSoD

Jung, Carl Gustav. 2020. Empat Arketipe. Yogyakarta: IRCiSoD

Lavelle, Marianne. 2011. A Rain Forest Advocate Taps the Energy of the Sugar Palm. National Geographic.com

Martini, Endri, dkk. 2011. Sugar palm (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) for livelihoods and biodiversity conservation in the orangutan habitat of Batang Toru, North Sumatra, Indonesia: mixed prospects for domestication. Agroforestry Systems November 2011.

Orwa, dkk. 2009. Arenga pinnata. Agroforestry Database 4.0

Syamsuddin, Z. A. (1993). Cerita Rakyat dari Bengkulu, Volume 1. Jakarta: Grasindo


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar