Bulan-bulan terakhir dalam setahun merupakan agenda rutin musim hujan. Angin muson barat bertiup dan menumpahkan titik-titik air yang dibawanya, membasahi tanah di bawahnya yang dahaga sepanjang kemarau. Berharap sehari tanpa hujan pada Desember rasanya sulit, apalagi di dataran tinggi seperti Curup—sebuah kota kecil di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.
Udara dingin berembus, menembus jaket yang saya kenakan. Pagi itu langit mendung. Kabut pun merendah. Matahari tak menampakkan sosoknya, bersembunyi di balik gulungan awan. Angin membuat udara Curup semakin dingin. Meski hari murung, saya beruntung hujan tidak turun. Mobil kami melaju menjauhi keramaian kota. Jalanan mengecil. Hiruk pikuk kendaraan menghilang, permukiman pun kian jarang. Sisi kanan dan kiri jalan dipenuhi pohon aren yang berderet-deret. Kami berada di Desa Air Meles Atas.
Mobil berhenti di sebuah warung bertuliskan Kampung Aren. Asap mengepul dari atap, tampaknya sang penghuni sedang memasak sesuatu. Di belakang bangunan sederhana itu, terbentang kebun tempat pemiliknya menggantungkan hidup.
Cuaca tak juga membaik—barangkali beginilah kondisi normal di sini. Mendung tak juga habis, bahkan sesekali gerimis. Kebun itu kian redup oleh dedaunan yang silang sengkarut, menghalangi cahaya dari atas. Saya berjalan memasuki kebun. Semoga tak terlalu buruk untuk menengok pembuatan gula aren.
Pohon itu menjulang di hadapan saya. Batangnya yang gelap ditumbuhi paku-pakuan. Sekilas, wujudnya menyerupai kelapa sawit, tapi lebih jangkung. Aren (Arenga pinnata) merupakan kerabat kelapa, siwalan, dan pinang, yang tergolong dalam suku palem-paleman, Arecaceae. Pohon ini bisa tumbuh hingga 20 meter dengan diameter batang sekitar 30-40 sentimeter. Diyakini, tumbuhan ini berasal dari hutan-hutan tropis Asia Tenggara dengan tingkat keragaman tertinggi di Sumatra, semenanjung Malaysia, dan Kalimantan. Masyarakat sekitar juga menyebutnya enau—ada sekitar 150 nama lokal aren di Indonesia.
Lama saya mengamati pohon aren di depan saya dari atas sampai bawah. Batangnya kokoh, tajuknya rimbun, sesekali aroma harum tercium. Itu pasti nira! Saya menebak. Saya tahu bahwa gula aren dibuat dari nira tumbuhan ini. Akan tetapi saya penasaran dari mana dan bagaimana sari pati bisa mengucur keluar dari tubuhnya. Batang pohon itu mulus belaka, tidak ada luka bekas torehan pisau layaknya pohon karet yang disadap. Bagaimana para petani mengumpulkan cairan itu?
“Tok, tok, tok…” Terdengar suara pukulan berulang-ulang. Seperti ada yang sedang menggebuki sesuatu. Saya ikuti bunyi yang bertalu itu. Rupanya seseorang sedang berada di atas pohon aren. Di tengah rimbunnya tajuk, lelaki itu memukuli tangkai perbungaan dengan sebuah pemukul—belakangan saya mengetahui bahwa proses ini bertujuan memperlancar keluarnya cairan sadapan. Kawan saya menyapanya dengan bahasa Rejang yang tidak saya mengerti. Ia menjawab, lalu mengambil ancang-ancang turun.
Namanya Pak Asmawi. Dialah pemilik tempat ini. Kepadanya saya bertanya tentang proses penyadapan. Setelah menjelaskan sedikit, ia mengajak kami mendekati pohon lain yang sedang dideresnya. Dengan cekatan, kakinya memijak tangga bambu yang cuma sebatang, tangannya merengkuh erat setiap pegangan. Perlahan, tubuh lelaki itu menjauh dari permukaan tanah dan sudah berada di kanopi. Diambilnya wadah yang terikat pada tangkai perbungaan jantan—aren merupakan tumbuhan berumah satu dengan bunga jantan dan betina terpisah dalam satu pohon. Tangkai perbungaan yang disadap adalah yang jantan. Diturunkannya tabung penampung nira menggunakan tali. Kami menangkapnya dengan hati-hati, tak mau setetes pun nira terbuang sia-sia. “Coba cicipi saja,” seru Pak Asmawi. Kami menyesapnya. Rasanya encer dan manis. Lebih manis daripada legen—nira siwalan—di kampung saya. Ia pun turun dan mengajak kami ke warung.
Warung itu sederhana saja. Sebuah bangunan berbahan kayu dan bambu yang bersahaja. Sambil minum nira, Pak Asmawi mengajak kami mengobrol, menceritakan tentang kebunnya. Sesekali saya bertanya tentang teknik penyadapan dan pembuatan gula. Selagi kami bercengkerama, Bu Asmawi—sebut saja demikian—sibuk di dapur. Bisa saya rasakan hawa panas menguar dari dapur, diikuti aroma wangi yang menguap di tengah pengap asap. Rupanya, ia sedang menggodok nira. Pak Asmawi mempersilakan kami masuk ke dapur, menengok proses final dari produksi komoditas unggulan Rejang Lebong itu.
Sebuah tungku besar memuntahkan api. Dengan rakus, lidah-lidah api menjilati kuali besar di atasnya. Di dalam wadah itu, mendidih nira yang sudah mengental dan berubah warna—kini warnanya coklat gelap. Rupanya, sejak tadi istri Pak Asmawi sibuk mengaduk nira, memastikannya tidak meluap atau gagal mengental. Bunyi gemeretak kayu yang dimakan api terdengar dari dalam tungku. Proses seperti ini bisa memakan waktu enam sampai tujuh jam.
“Sehari bisa produksi berapa, Pak?” tanya saya usai mengambil beberapa foto.
“Maksimal bisa 25 kilogram, tapi ya bergantung cuaca dan musim. Kondisi angin juga sangat memengaruhi hasil sadapan,” jawab pria itu sambil mengamati cairan gula yang mendidih. Ia juga kesulitan saat persediaan kayu bakar habis. Biasanya, ia menderes dua kali sehari, yakni pagi dan sore. Selebihnya, proses dilakukan di dapur seperti ini. Gula aren buatannya dijual ke Bengkulu, Jambi, dan Palembang. Kini ia tergabung dalam kelompok tani Sari Aren yang menjadi salah satu produsen utama gula aren di Rejang Lebong.
Pak Asmawi mengaku sudah mengelola kebunnya sejak berusia 35 tahun dan sudah lebih dua puluh tahun dirinya berkutat dengan aren. Kebun itu milik keluarganya, luasnya lebih kurang satu hektar. “Dulu ado kopi, tapi karena kurang menghasilkan, akhirnya ganti aren semua,” kenangnya. Lahan yang dulu sekadar kebun itu kini ia kembangkan. Selain produksi, tempat itu sekarang juga memiliki fungsi edukasi.
Konsepnya sederhana, tidak norak seperti kampung-kampung kekinian yang malah menjadi destinasi wisata populer dan kehilangan orisinalitasnya. Kampung Aren milik pasangan ini unik karena autentik. Pengunjung yang datang bisa melihat dan belajar proses produksi gula aren mulai dari kebun hingga menjadi bongkahan-bongkahan.
Pak Asmawi dan istrinya juga tak memungut biaya kepada pengunjung. Misi mesianis keduanya, tampaknya, yaitu melestarikan pembuatan gula aren secara tradisional agar tak hilang dimakan zaman. Tujuan luhur itu saya pikir sudah tercapai dengan seringnya pasangan ini menerima pengunjung—baru saya sadari bahwa kita bisa melihat Pak Asmawi di beberapa video tentang gula aren di YouTube.
Dengan cekatan, pasangan itu mengangkat kuali dari atas tungku. Rupanya, nira sudah cukup matang. Cairan yang tadinya encer itu kini kental seperti karamel—saya baru tahu prosesnya disebut karamelisasi. Tinggal didinginkan sambil terus diaduk. Setelah itu, sang suami menuangkan gula kental itu ke cetakan-cetakan dari batok kelapa, sementara istrinya menatanya di atas petak-petak bambu untuk didiamkan sampai mengeras dan siap dijual.
Ada juga yang akan diolah menjadi gula semut yang berbentuk serbuk. Dengan produksi rumahan seperti ini, mereka kerap tak bisa memenuhi setiap pesanan konsumen. Memang, gula aren merupakan komoditas andalan Rejang Lebong. Reputasinya soal kualitas dan rasa tak diragukan lagi. Di tengah tren gula aren, hal itu tentunya baik bagi petani lokal.
Sebenarnya, masyarakat Indonesia telah lebih dulu akrab dengan gula aren sebagai pemanis hingga Belanda menyingkirkannya, menggantinya dengan gula tebu. Dalam bukunya, The Malay Archipelago, Alfred Russel Wallace mencatat perjumpaannya dengan pohon aren saat mengunjungi Makassar pada 1857.
”Hutan yang mengelilingiku terbuka dan bebas dari semak-semak berkayu, terdiri dari pokok-pokok besar, pohon-pohon aren tersebar dalam jumlah banyak, dari mana wine aren—tuak—dan gula dibuat… dan gula yang dibuat darinya merupakan pemanis yang bagus.”
Belakangan gula aren menjadi pemanis alternatif yang populer karena cita rasanya yang khas. Jika kita nongkrong di kedai kopi, hampir dapat dipastikan ada menu kopi gula aren. Saking terkenalnya, seringkali orang kebingungan membedakan gula aren, gula kelapa, gula siwalan, dan brown sugar yang kerap dikira sama, padahal berbeda—teman saya meyakini gula siwalan di desanya sebagai gula aren, padahal aren dan siwalan adalah spesies yang berbeda.
Perlu diingat juga bahwa gula aren merupakan bahan baku utama cuko pempek yang lumrah dijumpai di Sumatra—teman saya yang berjualan pempek enggan mengganti gula aren dengan gula kelapa yang lebih mudah didapat. Karena diproduksi secara konvensional dengan proses minimal, gula aren dianggap lebih baik daripada gula pasir pabrikan. Meskipun kalorinya tidak jauh berbeda, gula aren dinilai lebih bernutrisi daripada gula pasir.
Dengan demikian, peran aren sangat vital dalam menopang perekonomian lokal. Bukan hanya nira, hampir semua bagian pohon ini dapat digunakan manusia. Demikian status aren amat penting secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat Rejang. Tak berlebihan rasanya jika rasa hormat kepadanya mewujud dalam sebuah cerita rakyat tentang muasal tumbuhan ini. Kisah tentang seorang gadis yang beralih rupa menjadi sebuah pohon.
Daftar Bacaan
Haryoso, Anggit, dkk. 2020. Ethnobotany of Sugar Palm (Arenga pinnata) in the Sasak Community, Kekait Village, West Nusa Tenggara, Indonesia. Biodiversitas Volume 21, number 1, January 2020, pages: 117-128
Heryani, Hesty. 2016. Keutamaan Gula Aren dan Strategi Pengembangan Produk. Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press
Lingawan, Angelita, dkk. 2019. Gula Aren: Si Hitam Pembawa Keuntungan dengan Sugudang Potensi. Jurnal Pemberdayaan Masyarakat (JPM) Vol.1.No.1
Wallace, Alfred Russel. 1890. The Malay Archipelago. London, MacMillan and Co.Yulihartika, Rika Dwi. 2019. Analisis Usaha Pengolahan Gula Merah Aren dengan Metode Profitability Rasio di Desa Air Meles Atas Kecamatan Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA), Volume 3, Nomor 1 (2019): 162-169
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.