Mendengar Gunung Lawu, yang terlintas dipikiran mungkin adalah pendakian, lanskap perkebunan teh, atau lanskap perbukitannya yang hijau. Baru-baru ini saya tahu, bahwa Lawu ternyata merupakan salah satu gunung purba di Indonesia. Selain keindahan alam, Lawu juga menyimpan harmonisasi kehidupan dari lingkungan dan masyarakat yang ada didalamnya. Sebutlah, Dusun Demping, Desa Anggrasmanis, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Di sana, masyarakat masih memegang teguh adat istiadat, tradisi kuno, serta bersinergi dengan alam dalam kesehariannya.

Dusun Demping berdekatan dengan serangkaian candi yang menurut catatan sejarah merupakan bukti peninggalan kerajaan Majapahit—yang juga menjadi kompleks peribadatan umat hindu pada masanya. Dari jejak peninggalan yang dibangun sekitar abad ke–15 tersebut, terdapat mitos bahwasannya Desa Anggrasmanis merupakan tempat persinggahan terakhir Prabu Brawijaya V sebelum melakukan ‘moksa’ ke Gunung Lawu.

Mitos tentang persinggahan terakhir sebelum moksa Prabu Brawijaya V tersebut masih menjadi sebuah pertanyaan karena belum ditemukan bukti fisik sebagai simbol yang tercatat dalam catatan sejarah. Pun, hingga saat ini ada beragam versi cerita tentang moksa Prabu Brawijaya V di Gunung Lawu.

Mangku Jito, pemangku agama di Dusun Demping, Anggrasmanis menyerahkan kepercayaan terkait mitos tersebut kepada masyarakat untuk bagaimana menyikapinya.

  • Kampung Thintir Majapahit
  • Kampung Thintir Majapahit
  • Kampung Thintir Majapahit
  • Kampung Thintir Majapahit
  • Kampung Thintir Majapahit
  • Kampung Thintir Majapahit
  • Kampung Thintir Majapahit
  • Kampung Thintir Majapahit
  • Kampung Thintir Majapahit
  • Kampung Thintir Majapahit

Di tengah kawasan yang masih asri dengan udara sejuk dan kontur tanah yang tidak rata, beberapa meter setelah memasuki desa terlihat sebuah pura. Saat perjalanan menuju ke sana suasana magis begitu terasa, apalagi aroma dupa yang menyatu dengan aroma bunga tiba-tiba menyeruak hingga ke pangkal hidung. Ya, di sini terdapat beberapa situs sakral untuk sembahyang warga desa yang beragama Hindu maupun melakukan proses perjalanan spiritual bagi masyarakat setempat.

Meskipun pemangku agama menganggap moksa-nya Prabu Brawijaya V sebagai rahasia semesta, namun situs–situs yang berada di desa tersebut dipercayai sebagai tempat yang menjadi alur dari proses sebelum melakukan moksa pada zaman dahulu.

Keseharian masyarakat lokal yang kontras dengan modernisasi masyarakat perkotaan dan saat ini berkembang menjadi Kampung Thintir Majapahit dengan mayoritas penduduk beragama Hindu. Kehidupan yang sederhana serta kesadaran tinggi tentang pentingnya keberadaan alam, membuat masyarakat desa ini selalu bersinergi dengan alam dalam melakukan segala aktivitasnya, seperti halnya Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar.  

Seringkali desa tersebut menjadi tujuan para turis spiritual baik lokal maupun mancanegara. Mereka datang berkunjung dengan tujuan wisata spiritual.

Konsep wisata spiritual di desa ini menggunakan pendekatan agama Hindu yang juga tak lepas dari hubungan manusia tentang budaya dan alam. Pendekatan ini diterapkan masyarakat setempat serta berlaku untuk pengunjung yang disakralkan di tempat tersebut. Dalam wisata spiritual yang disebut dengan “Tirta Yatra” ini, pengunjung mempelajari dan terlibat langsung dalam proses spiritual yang dilakukan.

Sebelum dimulainya Tirta Yatra, masyarakat setempat menyiapkan sesaji yang berfungsi sebagai perantara dalam menghantarkan doa pada setiap prosesi yang akan dilaksanakan Sesaji tersebut kemudian dibawa dan diletakkan pada situs akan dikunjungi.

Perjalanan spiritual di desa ini dipimpin oleh Mangku Jito sebagai pemuka agama. Ia mengawali prosesi dengan perjalanan menuju ke Sendang Dasamala, situs pertama yang menjadi tujuan dalam tur spiritual tersebut, sembari membawa sesaji yang sudah dipersiapkan. Hal tersebut juga dikarenakan sebagai simbol pembersihan diri manusia. Kemudian menuju Sendang Cempaka, sedang ini punya makna sebagai simbol “Sang Hyang” pemberi kehidupan. 

Kampung Thintir Majapahit
Peserta tour spiritual “Tirta Yatra” melakukan prosesi doa di Sendang Cempaka/M. Ihsan Mulya Pratama

Terlepas dari wisata spiritual yang menambah ciri khas desa ini, masyarakat juga menjadi faktor penting dalam dalam menghidupkan desa tersebut. Kerukunan antar warga yang menjadi keselarasan sebuah kehidupan, gotong–royong menjadi gambaran keharmonisan masyarakat. Hal tersebut terlihat terutama pada saat masyarakat mengadakan acara yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan dan spiritual seperti pada saat Hari Raya Nyepi, Piodalan (ulang tahun pura), Upacara Tawur Agung, dan sebagainya. Tak hanya di tempat tersebut, terkadang  upacara keagamaan dilaksaksanakan di tempat lain. Misalnya saja, Upacara Melasti yang digelar di Telaga Madirda. Selain itu menjaga kelestarian dan hidup yang selalu berdampingan dengan alam membuat desa ini terasa harmoni.

Pemangku agama desa ini percaya bahwa ketiga unsur (agama, budaya, dan alam) tersebut saling bersinergi dan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan. Unsur–unsur  ini juga mengingatkan bahwa sebagai manusia kita sebaiknya belajar tentang hidup dalam kesemestaan dan lebih menghormati kehidupan.Sebuah lanskap kecil harmonisasi kehidupan yang seolah dapat menjadi gambaran ulang kerajaan Majapahit yang terbentuk dari keberadaan kelompok masyarakat di dalamnya—mereka diketahui masih menjunjung nilai adat istiadat dan tradisi kuno hingga saat ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar