Jika beberapa gunung di Sumatra Barat memiliki puncak yang menurut pandangan saya memiliki panorama indah, Gunung Singgalang justru memberikan nilai dan sensasi seminatural khusus dari sejumlah elemen; hutan pimpingan, lumut, telaga, dan adanya sutet pemancar—alias tidak memiliki puncak yang menawarkan pemandangan.
Sedikit dari kebanyakan pendaki ketika naik gunung punya motivasi untuk menapaki puncaknya. Meski ada sanggahan dari pendaki bijak yang mengatakan, “puncak hanyalah bonus” atau ungkapan lain, “sampai mana batas kemampuan kita dalam mendaki, keselamatan nomor satu, puncak nomor dua”.
Dua contoh ungkapan di atas menurut saya tidak sepenuhnya salah, dan tidak sepenuhnya benar. Sebab pendaki yang telah memutuskan untuk mendaki, pasti memiliki konsep, motif maupun motivasi, dan paling utama keselamatan. Sementara perihal siap-siaga dalam pencegahan terjadinya trouble tak luput dari perhatian utama. Oleh sebab itu, puncak secara otomatis menjadi parameter dari misi pendakian.
Namun hal ini tidak akan berlaku jika teman-teman mendaki Gunung Singgalang yang sebelah-menyebelah dengan Tandikek dan Marapi. Singgalang secara geografis berada di Desa Tanjuang, Kenagarian Pandai Sikek, Kabupaten Agam yang langsung berbatasan dengan Bukittinggi dan Padangpanjang.
Singgalang memiliki ketinggian 2877 mdpl. Dengan ketinggian tersebut, motivasi kebanyakan pendaki ke sini adalah menyambangi hutan lumut dan Telaga Dewi—telaga yang menurut perspektif geologi terbentuk dari letusan gunung api ribuan tahun silam, lalu kemudian membentuk kaldera. Kaldera itulah yang kini menjadi telaga lantaran sudah tidak aktif lagi. Sementara menurut cerita oral yang beredar di lingkungan masyarakat setempat, Telaga Dewi berasal dari legenda seorang anak manusia yang dikaitkan dengan adanya pula telaga lain bernama Telaga Sikumbang.
Keberadaan telaga inilah yang kemudian menjadi destinasi dari sejumlah pendaki yang hendak berkunjung ke Singgalang. Soal jalur, Singgalang adalah gunung dengan daya tarik dan keunikan yang dimilikinya. Hal ini terlihat dengan adanya hutan pimpingan atau alang-alang yang melintang di awal jalur pendakian. Jadi teman-teman akan dibuat menunduk terlebih dahulu sebelum memasuki jalur selanjutnya.
Singgalang dan Lain-lainnya
Kaitan jalur pimpingan di awal pendakian Gunung Singgalang sama halnya konsep rumah adat yang ada di Desa Sade, Lombok Tengah. Di Sade, pintu rumah dibuat lebih rendah dengan filosofi, setiap orang yang akan masuk ke dalam rumah itu mesti merunduk sebagai bukti penghormatan terhadap tuan rumah.
Singgalang pun begitu juga. Dengan beban tas ransel yang berat dan aneka barang bawaan lainnya, saat itu saya dipaksa merunduk oleh pimpingan yang entah faktor kesengajaan demi mempertahankan alamiah jalur pendakian atau ada indikator lainnya. Sehingga seolah-olah di sana saya kembali dibuat refleksi—menerapkan konsep penghargaan diri terhadap alam.
Berbicara rute, teman-teman yang berasal dari luar Sumatra Barat yang hendak menyambangi Gunung Singgalang bisa lewat jalur udara dan jalur darat. Jalur udara melalui Bandara Internasional Minangkabau, Padang Pariaman yang berlanjut dengan perjalanan darat sekitar 2,5 jam ke Koto Baru, Kabupaten Agam melewati Padang Pariaman, Kayu Tanam, Padangpanjang hingga tiba di lokasi.
Begitu pula jika menempuh perjalanan melalui jalur lainnya, bisa lewat Kota Solok atau Kab. Solok, lintas Singkarak. Ada pula langsung melewati jalur Batusangkar tembus Batipuah atau Ombilin. Dan ada pula yang akan terlebih dahulu singgah ke Bukittinggi, jika dari arah Pasaman atau Payakumbuh, yang diteruskan perjalanan ke lokasi hanya 30-45 menit lagi.
Sementara untuk teman-teman pendaki yang menggunakan kendaraan pribadi, bisa langsung menuju ke basecamp. Jika pun ada yang naik kendaraan umum, pendaki biasanya akan transit di Pasar Koto Baru baik itu untuk berbelanja perlengkapan logistik dan pendakian. Dari sana, tersedia mobil angkot juga ojek yang akan membawa pendaki langsung ke basecamp melalui jalur Pandai Sikek.
Bercerita sedikit mengenai Pandai Sikek, daerah ini terkenal dengan buah karya hasil kerajinan masyarakat sekitar, yang dikenal sebagai kain songket. Hampir sama dengan yang ada di Silungkang, Sawahlunto. Hanya saja berdasarkan penelusuran singkat, bahwa songket Pandai Sikek dan Silungkang memiliki segi perbedaan dari corak dan historis.
Kembali ke soal pendakian, saya bersama teman-teman mengawali Singgalang dari titik Kota Sawahlunto. Kami menempuh perjalanan yang memakan waktu tiga jam lewat Kota Solok, Kab. Solok, Singkarak, Ombilin, Batipuah, Padangpanjang, Pandai Sikek, dan mendekati basecamp yang ditandai oleh pos pemancar. Saat itu kami tiba pada malam hari sehingga harus beristirahat dahulu untuk memulai pendakian esok pagi. Tentu, karena pendaki tidak diperkenankan mendaki Gunung Singgalang pada malam hari.
Simaksi Singgalang cukup terjangkau, Rp10.000–Rp20.000 untuk setiap orang. Saat mengurus simaksi di basecamp pendakian, biasanya para pendaki akan mendapatkan pertanyaan seputar kelengkapan alat termasuk P3K dan kondisi kesiapan kelompok. Oleh sebab di basecamp Singgalang belum tersedia tempat istirahat pendaki, maka kami mendirikan tenda di lahan terbuka tak jauh dari pintu rimba. Lebih tepatnya 10 menit naik motor ke arah atas, dekat sutet pemancar sinyal salah satu stasiun televisi swasta. Di sana juga tersedia warung warga yang terkenal dengan minuman teh telur ayam kampung.
Kenangan Pendakian Singgalang
Dua kali sudah saya sambangi Singgalang. Pendakian pertama cukup berkesan karena mendapati hari yang cerah, dan bisa mendirikan kemah tak jauh dari bibir Telaga Dewi. Pendakian kedua kali ini, saya tak seberuntung sebelumnya sebab saat itu cuaca sedang tidak bersahabat, kondisi yang kurang stabil membuat saya hanya bisa berkemah di Cadas. Tepatnya di bawah hutan lumut.
Ketika keesokan hari hendak menuju Telaga Dewi, kabut tebal datang beserta gerimis dan angin. Keadaan ini berlangsung cukup lama hingga kami tiba di telaga, membuat saya yang saat itu mengantar rombongan beberapa teman Taman Baca dan Nusantara Sehat di Telaga Dewi tidak mendapatkan pemandangan apa-apa. Atau bahasa anak pendaki, “hanya dapat tembok”. Namun kami cukup beruntung ketika berada di hutan lumut kondisi tersebut menjadikan perjalanan makin asyik.
Kali pertama ke sini, saya bersepuluh orang yang kebanyakan dari teman-teman satu kenagarian. Sementara kali ini, saya membersamai Kak Rahma dan Kak Nadia dari Nusantara Sehat. Mereka berdua adalah orang Bima, NTB dan orang Aceh Barat yang tengah mengabdi di sebuah Puskesmas yang lokasinya cukup terpelosok. Juga ada teman-teman Taman Baca Rimba, Dharmasraya yang terdiri dari Alam, Saiful, dan Zukhni. Perjalanan kali ini memang tidak sesempurna yang kami harapkan. Namun, ada hal lain yang dapat kami lakukan seperti berdiskusi dan memproduksi ide-ide segar mengenai konsep literasi.
Meski proses pendakian dinilai sebagai selingan, mencoba menepi dari hiruk pikuk dan kesibukan yang monoton, namun kelak ketika kembali, kami pun mesti siap dengan segala realitas yang akan dihadapi.
Kali ini, saya tidak menceritakan estimasi waktu pendakian guna memantik rasa penasaran teman-teman pendaki agar menikmati setiap etape pos-pos yang disuguhkan Singgalang. Pun, selain Telaga Dewi yang sudah tersohor, pendaki bisa menemukan narasi dan pengetahuan baru tentang legenda dari Singgalang itu sendiri. Jadi, kapan kamu akan singgah ke sini?
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Biasa disapa Raja, kini ia berdomisili di Jogja sebagai mahasiswa. Kadang suka jalan-jalan, kadang menulis cerita perjalanan. Di sela-sela kesibukan, Raja menekuni dunia kepenulisan di ruang kreatif Jejak Imaji dan tengah mengembangkan Komunitas Kolam Baca di kampung halaman.