Kali ini, saya kembali menelusuri Bali. Tepatnya di bagian utara yaitu di Kintamani, Kabupaten Bangli. Di sini, terdapat sebuah gunung yang menjadi daya tarik wisatawan domestik dan mancanegara. Gunung Batur namanya. Gunung dengan ketinggian 1.717 mdpl, berstatus masih aktif, dan terakhir meletus adalah di tahun 2000 ini menjadi salah satu alasan orang untuk rela menempuh perjalanan selama kurang lebih 100 menit dari pusat Kota Denpasar.
Di wilayah Kintamani, tepatnya di Kawasan Pura Batur banyak dijumpai restoran atau tempat nongkrong dengan suguhan andalannya: kopi. Saat upacara besar keagamaan Hindu, para umat yang akan bersembahyang di Pura Batur—salah satu pura besar di Bali—akan memadati jalan. Selain itu, pengunjung akan menjumpai pedagang-pedagang “sementara” di sekitaran jalan tersebut.
Sebenarnya hanya dengan melintasi jalan tersebut, kita sudah bisa melihat pemandangan Gunung Batur. Namun, saya dan keluarga memilih untuk masuk ke salah satu tempat makan dan menghabiskan waktu selama di Kintamani di sana.
Baru menginjakkan kaki saja, udara dingin langsung menerpa badan. Wajar dingin, karena Kintamani memang daerah dataran tinggi. Jaket yang saya kenakan sepertinya kurang mempan untuk menangkal dingin yang berhembus bersama angin. Sesekali seperti menusuk tulang.
Beberapa mobil berjajar, menandakan bahwa tempat makan yang kami pilih sudah ramai dengan pengunjung. Orang-orang memenuhi tempat duduk yang ada. Suasana cukup ramai. Kebanyakan dari mereka bercengkrama bersama teman sambil menyantap hidangan pilihan. Sesekali, mencuri-curi pandang menikmati suasana di luar ruangan. Ada pula yang datang bersama keluarga.
Kebetulan, saya tidak menemukan orang yang datang sendirian ke sini. Memang sepertinya tempat ini cocok untuk mereka yang tidak ingin sendiri. Berbincang dengan kawan perjalanan. Saya sendiri datang bersama suami dan anak-anak.
Setelah memilih tempat duduk dan memesan makanan pada pramusaji, saya berkeliling dan mengabadikan beberapa lanskap dalam kamera. Saya beberapa kali memotret, sesekali swafoto. Sayangnya hasilnya tak begitu memuaskan. Seorang pramusaji kemudian menawarkan diri untuk membantu. Ia lalu memotret saya sembari berbagi tips bagaimana mengambil foto bagus di sini.
Sore itu, langit tampak bersih. Awan-awan putih melayang di beberapa sisi. Setelah menghabiskan waktu sekitar 20 menit berdiri memandangi panorama alam, akhirnya saya kembali ke meja untuk menyantap makanan.
Gelas minuman yang saya pesan mengeluarkan kepulan asap, tipis. Minuman hangat rasa-rasanya lebih cocok untuk hidangan. Lumayan, menghangatkan badan. Saya juga memesan pizza, makanan yang menurut saya bisa disantap secara santai sambil bercengkrama. Lain dengan anak-anak, nasi goreng selalu menjadi menu favorit mereka. Restoran ini menyajikan beragam menu makanan, harganya juga cukup terjangkau.
10 tahun lalu, saya pernah ke sini. Suasananya jauh berbeda. Kala itu, belum banyak restoran dan juga tempat nongkrong. Menu-menu makanan juga tak semenarik sekarang.
Tidak terasa hampir tiga jam sudah saya menghabiskan waktu di sini. Saatnya kembali ke Denpasar. Saat hendak masuk mobil, seorang ibu penjual jeruk menghampiri saya. Ia bercerita, bahwa jeruk-jeruk tersebut merupakan hasil dari kebun sendiri. Kintamani memang terkenal sebagai penghasil jeruk. Di sepanjang jalan Kintamani, kebun-kebun jeruk mudah kita jumpai. Jeruk Kintamani, dikenal sebagai jeruk lokal Bali dengan rasa manis dan bercampur asam. Punya predikat jeruk unggulan Bali.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.