Penjelajahan saya kali ini cukup mendadak tanpa direncanakan sebelumnya. Awalnya, kedua orang tua saya dan kakak mengajak mencari sarapan pagi di sebuah warung soto di Kecamatan Tulung, Klaten. Hingga soto dihidangkan dan kami mencari lauk tempe, kedua orang tua saya tampak biasa-biasa saja. Tidak lama, ketika ibu akan membayar, tiba-tiba bapak merencanakan pergi ke lereng timur Gunung Merapi.
“Ayo jalan-jalan, ke Merapi sisi Klaten,” begitu ajakan bapak menggunakan bahasa Jawa. Kakak awalnya bingung, mau ke mana tepatnya. Ternyata bapak berinisiatif menikmati pemandangan alam Gunung Merapi dari Dukuh Girpasang, Desa Tegalmulyo, Kemalang, Klaten. Setelah selesai membayar dan membungkus teh panas untuk perjalanan, kami pun segera beranjak ke Girpasang.
Perjalanan kami tempuh sekitar sejam perjalanan dengan mobil. Menyusuri jalan provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta, keluar di perempatan Pasar Ngupit ke arah barat melalui Jalan Jatinom –Boyolali menuju Dukuh Deles. Letak Girpasang di sisi utara Deles. Jalan ini juga yang menjadi jalan utama menuju Girpasang.
Hanya saja, kami harus ekstra waspada karena berpapasan dengan truk pasir dari pertambangan pasir Kali Woro. Sepanjang jalan desa yang kami lalui, naungan pohon di tepi perkebunan setia menyambut dan menyegarkan mata. Meski begitu, sinyal internet yang kami gunakan membaca peta sering terputus saking lebatnya pepohonan. Kami pantang mundur dengan bertanya warga, jalan mana yang harus ditempuh hingga akhirnya kami tiba di Girpasang.

Jembatan Merah, Pintu Masuk Dukuh Girpasang
Sesampainya di gapura Dukuh Girpasang, tampak dua orang warga dengan ramah memberikan izin masuk dukuh dan menunjukkan jalan yang harus kami lalui. Geliat warung warga menjajakan sayur dan buah hasil panen dan lalu-lalang warganya sendiri turut memberikan estetika kehidupan Girpasang. Awalnya kami bingung letak dukuh ini, karena melalui peta digital ada di tengah aliran pertemuan dua sungai.
Ternyata benar, Girpasang ada di atas bukit dan di tengah aliran pertemuan dua sungai: Woro dan Gendol. Saat sedang asyik mengabadikan panorama sekitar, tiba-tiba mata lensa membidik sesuatu dari kejauhan yang tampak seperti anak tangga menuju ke bawah bukit di sisi timur Girpasang.
Dugaan saya, itulah jalan setapak asli penghubung Dukuh Girpasang dan Desa Tegalmulyo, yang dibenarkan salah satu warga yang kebetulan melintas dari perkebunan. Sejauh pengalaman hidupnya sebagai anak kampung setempat, ia sudah khatam melalui jalan tersebut. Ia menambahkan, jauh sebelum jembatan merah Girpasang dibangun, warga harus melalui ratusan anak tangga tanpa pengaman, naik turun bukit dan sungai jika akan keluar dukuh.
Tidak ada jalan lain selain itu, ungkapnya. Jika mereka pulangnya terlalu malam, sudah biasa mereka bermalam di kediaman salah satu warga Tegalmulyo. Keduanya sudah saling mengenal dan memaklumi keadaan yang ada. Beberapa warga memiliki kendaraan bermotor kala itu, yang dititipkan di warga Tegalmulyo, lalu lanjut jalan kaki untuk kembali ke rumah. Begitu seterusnya.


Kiri: Gerbang masuk Dukuh Girpasang dan jalan beton sebagai akses satu-satunya di kampung. Kanan: Bentang alam di sekitar Girpasang dan tampak garis jalan setapak asli yang dulunya jadi jalan satu-satunya untuk mobilitas masyarakat Girpasang/Ibnu Rustamadji
Ia mengisahkan, ketika Gunung Merapi erupsi besar tahun 2010, kondisi Desa Tegalmulyo cukup mencekam. Tanpa aliran listrik, semalam warga menyaksikan erupsi besar dengan lahar pijar keluar dari kawah. Sebagian besar warga diungsikan ke pusat Kabupaten Klaten. Pemuda desa banyak yang menetap, menjaga lingkungan dan mengevakuasi warga Girpasang yang terisolasi.
Mencekam, panik, harus naik turun bukit Girpasang dibarengi lahar pijar yang tidak mereda, sudah ia alami. Apabila tidak memungkinkan evakuasi seluruh warga, maka hanya bisa menunggu waktu dan keadaan. Mereka harus susah payah melalui anak tangga sempit tanpa penerangan dan pengaman, menuruni sungai dan mendaki bukit.
Meski begitu, warga tidak menyalahkan alam dan aktivitas Gunung Merapi. Malahan mereka sampai saat ini lebih memilih menetap di Girpasang, hidup berdampingan dengan gunung berapi yang setiap saat bisa kembali erupsi. Mereka berprinsip jogo titahing leluhur nengendi sangkan paranning dumadi, yang artinya menjaga amanat leluhur turun-temurun, di manapun berada, suatu saat akan berhasil. Tak ayal, hanya beberapa warga yang masih setia hidup di Girpasang hingga saat ini.
Begitu jembatan selesai dibangun, warga tidak lagi harus melalui anak tangga curam. Puas mengobrol, kami segera menyeberangi jembatan menuju Dukuh Girpasang. Sisi kanan sepanjang jembatan merupakan aliran sungai dan lembah, sisi kiri perbukitan puncak Gunung Merapi.

Menjaga Amanat Leluhur, Hidup Berdampingan dengan Alam
Sugeng Rawuh ing Kampung Girpasang, begitu isi inskripsi gapura masuk Dukuh Girpasang. Uniknya, dukuh ini hanya memiliki satu jalan setapak yang terhubung dengan masing-masing rumah. Jika dihitung, jumlah rumah dari gapura hingga ujung barat dukuh tidak lebih dari 10 rumah. Saat asyik memotret, tiba-tiba muncul pria paruh baya dengan ramah menyilakan saya mengabadikan semuanya.
Ia bernama Mbah Padmo, sesepuh dukuh, yang dengan senang hati bercerita pengalaman hidupnya tinggal di Girpasang. Menurutnya, munculnya Dukuh Girpasang tidak bisa dilepaskan dari jejak leluhur mereka, yakni Ki Trunosono, yang membuka alas (hutan) Girpasang pertama kali. Kediaman awal Ki Trunosono ada di dekat Goa Jepang di lembah kapuhan (hutan), di barat dukuh.
Mbah Padmo menambahkan, kala itu terjadi hujan deras yang menyebabkan tanah di sekitar kediaman Ki Trunosono longsor. Akibatnya, tanaman talas terbawa aliran hingga berhenti di Dukuh Girpasang saat ini, sedangkan longsoran tanah lain terbawa hingga Sungai Bengawan Solo. Sunan Pakubuwana IX, raja Keraton Surakarta selaku pemegang wilayah Klaten kala itu, lantas memberikan titah Ki Trunosono untuk tinggal dan membuka alas di lereng timur Merapi yang di sekitarnya ada temuan tanaman talas.

Kondisi tanaman talas yang ditemukan masih utuh, begitu pun tanah di sekitarnya, meski lainnya hancur akibat longsor. Begitu hujan dan longsor mereda, Ki Trunosono dan istri memutuskan untuk tinggal di sekitarnya yang tidak terdampak longsor. Sayangnya, sampai sekarang tidak ada catatan resmi kapan Ki Trunosono mulai menetap di Girpasang. Girpasang berasal dari kata “gligir” dan “sepasang”. Gligir artinya bukit yang diimpit dua aliran sungai, sedangkan sepasang merujuk keberadaan dua aliran sungai di bawah dukuh.
Mbah Padmo mengungkapkan keinginannya menetap di Girpasang hingga akhir hayat untuk memenuhi titah leluhur. Alasannya, menjaga amanat leluhurnya, omahe pinggire jurang, papane sempit suk bakale rejo. Artinya, rumah di tepi sungai, wilayahnya sempit, suatu saat akan ramai. Ia menambahkan, mayoritas warga yang tinggal di sini adalah anak turun Ki Trunosono, sehingga mereka bersaudara satu sama lain.
Keputusan unik bersama mereka adalah apabila salah seorang anak menikah, mereka harus hidup di luar Girpasang. Mereka kembali pada waktu-waktu tertentu, seperti upacara adat, atau hari raya untuk bersilaturahmi dengan orang tua. Selain itu, mereka juga melarang orang luar yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan salah satu warga, untuk mendirikan hunian di wilayah Dukuh Girpasang.
Tak ayal, populasi Dukuh Girpasang hanya ada 30 orang di sekitar 10 rumah. Pekerjaan mayoritas warga adalah petani dan peternak. Sebab, kondisi geografis sejak dahulu adalah perkebunan, sehingga warga menggantungkan nasib atas hasil panen. Setiap tahun mereka juga menggelar upacara sedekah bumi yang telah beregenerasi.
Warga Girpasang layaknya warga desa umumnya. Hanya saja, mereka memiliki adat istiadat yang sedikit berbeda. Meski begitu, mereka tidak sungkan dengan kedatangan orang luar wilayah. Malah mereka mempersilakan berkunjung dan menikmati kehidupan sederhana mereka sebagai warga lereng tertinggi Gunung Merapi.

Pulang Menapaki Ratusan Anak Tangga
Sejam berlalu, kami lantas berpamitan dan beranjak turun menuju Desa Tegalmulyo. Namun, kami memilih jalan setapak asli Dukuh Girpasang yang harus naik turun bukit dan sungai. Butuh waktu sekitar 1,5 jam perjalanan.
Sudah bisa saya bayangkan betapa susahnya setiap hari melalui jalan setapak ini. Sepanjang perjalanan kami berhenti sepuluh kali, salah satunya di sumur sumber mata air yang ada di bawah sungai. Sampai di sumur, rasa lelah terbayar dengan sunyinya suasana dan segarnya air langsung dari sumbernya.
Namun, kami tidak terlalu lama di sana dan segera kembali menaiki anak tangga. Sepanjang jalan, hanya kesunyian dan tanaman bambu setia menemani kami. Seraya berjalan, saya sempat memberikan kode dengan tepukan tangan dari bawah sungai kepada warga yang melintas di atas jembatan merah. Beberapa di antaranya merespons dengan tepukan tangan juga.
Matahari mulai tampak temaram dan suhu dingin mulai menusuk tulang. Kami lekas mempercepat langkah ke anak tangga tertinggi hingga akhirnya tiba di lembah Desa Tegalmulyo. Jalan setapak yang kami lalui sudah lama ditutup semenjak dibangunnya jembatan merah Girpasang, yang hanya diperuntukkan pejalan kaki dan sepeda. Ini demi menjaga keamanan dan mempermudah mobilitas warga setempat maupun saudara yang berkunjung. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan selama menjelajahi Dusun Girpasang.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.