Di dasar lautan dangkal nan hangat Alor, gerombolan lamun membentuk padang yang didiami dugong mencari makan. Di permukaan, di atas perahu yang mesinnya telah dimatikan, seorang lelaki tua, Onesimus Laa, merapal mantra hingga dugong mendengar panggilannya dan muncul menari di antara riak halus laut Alor.

Alexandra Maheswari, Dugong and Seagrass Conservation Site Manager Alor, WWF-Indonesia, saat itu, 2017, datang ke Alor membawa kertas berisi sebuah pertanyaan: mengapa makhluk yang dikenal pemalu itu berubah bersahabat?

Suatu Jumat siang mengantar sore, ia bercerita kepada saya. Menurut penuturan masyarakat, awalnya dugong hanya melihat dari jauh bila perahu tampak di lautan mencari ikan. Lama-lama, semakin kerapnya lalu-lalang perahu membuat mamalia penyendiri itu terlihat bersahabat. Namun kadang kala mereka tampak tak nyaman—seperti merasakan ancaman untuk padang lamun rumahnya, berubah menjadi agresif, dan menghampiri perahu-perahu dengan tubuh besarnya yang mampu menarik dayung itu. Ada beberapa cerita tentang dugong yang tak mau lepas dari perahu, sampai-sampai ekor mereka luka terkena baling-baling.

Berdasarkan riset tingkah laku dugong yang dilakukan tim WWF-Indonesia dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Alor, BPSPL Denpasar kantor Kupang, BKKPN, dan Universitas Nusa Cendana pada tahun 2017, perubahan perilaku dugong itu disebabkan setidaknya oleh dua hal: terancam, yang kemudian berubah protektif di wilayahnya, dan sedang mengalami fase reproduksi. Agresivitas dugong tersebut menjadi hal yang cukup membahayakan bagi dugong sendiri dan juga manusia.

Perubahan perilaku dugong itu kemudian oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai potensi untuk mengumpulkan pundi-pundi uang. Mulanya hanya satu kemudian menjadi berlipat ganda, perahu-perahu nelayan mulai membawa orang-orang yang penasaran ke laut dan mengantar mereka bertemu dugong. Lantas, wisata memanggil dugong tercipta. Sayangnya, permintaan pelancong untuk memegang dugong dan berenang bersamanya masih menjadi prioritas. Mereka tidak memahami bahwa ada satu ekosistem yang barangkali bisa hilang karena aktivitas memanggil dugong.

Dugong dugon, yang dikenal sebagai duyung, termasuk dalam deretan satwa yang rentan mengalami kepunahan dan merupakan jenis satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional. Sementara itu, padang lamun yang didiami dugong juga menjadi rumah bagi beberapa makhluk laut lainnya seperti teripang, baronang, dan rajungan. Melestarikan dugong adalah perihal melestarikan ekosistem; melestarikan ekosistem adalah menjaga keberlangsungan hidup manusia.

Seekor dugong berenang di atas padang lamun via WWF-Indonesia/Juraij

“Syukurnya sudah tidak ada keinginan masyarakat Alor untuk memburu dugong sejak awal 90-an. Kejadian terakhir dugong tertangkap adalah [ketika ada dugong yang] tidak sengaja terjebak jaring nelayan pada 2016, kemudian [masyarakat] telah mendapat sosialisasi [tentang dugong] sebagai hewan dilindungi dan terancam punah dari Dinas Kelautan dan Perikanan Alor,” cerita Alexa.

Lebih dalam, Alexa menceritakan kegiatannya bersama masyarakat dan pemerintah setempat selama tiga tahun berada di Alor. Selain melakukan aktivitas konservasi duyung, masyarakat juga kemudian terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi pesisir laut melalui Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) dalam bentuk komunitas pengembangan pariwisata berbasis desa.

“Kami membantu pemerintah dan masyarakat setempat melakukan riset, yang hasilnya kemudian dijadikan rekomendasi melalui Dinas Pariwisata dan Dinas Kelautan dan Perikanan, sudah disahkan dalam Peraturan Bupati Alor juga, bahwa (dugong) hanya dilihat saja, tidak boleh berenang dan dipegang; membawa kapal juga harus mematikan mesin setiba di habitat dugong. Namun sampai akhir 2019 masih belum terlalu patuh dan dalam tahap penyesuaian,” tutur Alexa.

Yusuf Tande, teman WWF lainnya, juga menceritakan kepada saya tentang kegiatannya bersama masyarakat Alor. Bersama komunitas, Usu melakukan pemetaan dan penggalian untuk menemukan atraksi yang bisa menjadi opsi, seperti wisata pantai, susur hutan bakau (mangrove), dan jelajah Pulau Sika. Niatnya sederhana, ingin melibatkan banyak pihak agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial sehingga kesejahteraan masyarakat dapat terjaga. Mereka juga memberikan bimbingan kepada masyarakat mengenai pentingnya konservasi, untuk terus menjaga kelestarian alam dan lingkungan, pun melakukan pengawasan aktivitas pelanggaran peraturan seperti penggunaan alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang seperti bom ikan dan racun ikan, juga eksploitasi penambangan pasir.

Mengamati dugong dari kapal via WWF-Indonesia/Mala Tours

“Sudah ada Forum Komunikasi Nelayan Kabola. Awalnya hanya [dikelola] satu bapak yang menjadi tokoh adat dan beberapa kelompok masyarakat dan beberapa nelayan setempat, tapi sekarang sudah diikuti oleh nelayan dan masyarakat lain. Jadi semakin banyak yang ikut terlibat dalam wisata dan konservasi. Di FKNK, ada kelompok wanita yang bisa menyediakan makanan bagi tamu dan anak muda juga yang terlibat sebagai pemandu. Pelan-pelan, masyarakat bersama dengan Pemerintah Daerah Alor berusaha untuk terus menguatkan potensi yang ada,” tambah Alexa.

Hidup memang dilematis. Manusia dihadapkan pada memenuhi kebutuhan dan menjaga kelestarian alam. Maka saya paham apa yang dilakukan Alexa, Usu, masyarakat, dan pihak lainnya adalah perjuangan yang panjang. Selain harus mencari jawaban atas pertanyaan di atas kertas itu, mereka juga mendampingi masyarakat dan menyebarkan gagasan bahwa melestarikan alam adalah tanggung jawab bersama, bahwa kelestarian alam dan lingkungan adalah kepentingan masyarakat untuk jangka waktu yang panjang.


Maret, efek pandemi virus corona tiba di Alor. Masyarakat jadi lebih sering berada di rumah. Pariwisata yang biasanya menggeliat kini meredup. Aktivitas wisata hanya berjalan secara lokal dan domestik. Warga yang menggantungkan hidup pada pariwisata harus dirumahkan. Para pemilik penginapan pun kemudian kembali ke daerah asal. Pasar-pasar sepi.

Usu kemudian bercerita tentang bagaimana masyarakat Alor bertahan hidup di kala pandemi. Salah satu yang mereka lakukan adalah kembali melihat laut.

Pemandu wisata Kabola menyusuri Kampung Mali, Kecamatan Kabola, Kabupaten Alor via WWF-Indonesia/Alexandra Maheswari

“Budi daya rumput laut di Alor cukup berkembang. Oleh nelayan, hasil tangkapan disetorkan ke beberapa pengepul. Lalu, dari pengepul kemudian dipasarkan ke beberapa daerah seperti Flores, Makassar, dan Kupang,” jelas Usu.

Lain itu, mereka juga kembali mengolah ladang, kembali menjual hasil bumi untuk bertahan hidup. Alor yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung menyimpan hasil bumi seperti jagung, kenari, palawija, kemiri, dan vanili, komoditas-komoditas yang mampu menjadi benteng pertahanan ketika pariwisata tak (lagi) menggeliat. Mereka juga berupaya mencari jalur perdagangan lain untuk tenun dan beragam hasil kerajinan.

Meski begitu, kekhawatiran tetap muncul. Kalau saja terjadi penurunan ekonomi, ada peluang terjadi kegiatan perikanan yang merusak.

Saya teringat perkataan seorang teman: manusia adalah satu-satunya makhluk hidup di muka bumi yang bisa berteman dengan segala makhluk dan sekaligus menjadi satu-satunya makhluk yang mempercepat kehancuran bumi.

Dugong hanyalah salah satu dari banyak kasus eksploitasi alam atas nama sebuah pisau bermata dua bernama pariwisata. Banyak dari pelancong yang belum memiliki kesadaran soal ekologi, sementara perut mereka yang mencari rezeki dari pariwisata harus terus diisi. Maka sudah semestinya kita, pejalan, memahami etika berwisata; bahwa alam harus dijaga di mana saja dengan cara apa saja; bahwa kearifan lokal mesti dihormati dan dipatuhi.

Namun, di tengah segala problematika, tersiar ihwal yang cukup menggembirakan hati Alexa. Masyarakat Alor yang memegang teguh iman agamanya sudah mentransformasikan kearifan lokal menjadi nilai-nilai religius. Para tetua agama, lewat khotbah dan dakwah, menyebarkan doktrin-doktrin positif tentang pentingnya menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Ini juga menjadi respons mereka terhadap perubahan iklim yang kian mengancam. Maka dilakukanlah gerakan-gerakan menanam bakau, mengurangi penggunaan plastik, membersihkan sampah, dan melestarikan bahkan menabung air.

Pandemi ini pada akhirnya menjadi teguran bagi manusia agar mengubah haluan pada perilaku yang mendukung kelestarian alam. Perlahan, kesadaran ekologis merasuk pada pikiran-pikiran manusia. Di kota, orang-orang mulai bercocok tanam meski dengan lahan yang terbatas. Dalam dunia pariwisata, tema besar konservasi bisa menjadi landasan menciptakan iklim wisata yang baru. Pun menjawab pertanyaan perihal bertahan hidup. Menjaga kelestarian alam bukan hanya sekadar berbicara waktu sekarang, juga untuk generasi mendatang. Barangkali konservasi adalah jawaban atas segala permasalahan.

“Masyarakat sudah melek pariwisata biasanya lebih mengerti untuk menjaga lingkungannya agar menikmati alam dan keuntungan dari wisata di tahun-tahun selanjutnya,” Alexa terus mendaraskan harap.

Selasa malam, ketika menulis ini, saya menerima pesan dari Alexa. Isinya beberapa tautan artikel tentang acara tahunan Expo Alor yang tetap dilaksanakan di tengah pandemi. Beberapa kegiatan publik di kabupaten mulai berjalan kembali sejak bulan Juli. Di satu sisi, itu adalah usaha untuk menggulirkan roda perekonomian di tingkat lokal, sebagai upaya bertahan hidup. Di sisi lain, meskipun sudah diwajibkan untuk dilaksanakan dengan memerhatikan protokol kesehatan, ajang itu tetap saja mengandung risiko. Ah, betapa dilematisnya hidup.

Barangkali benar yang ditulis Pramoedya dalam Rumah Kaca, “Betapa sederhananya hidup ini sesungguhnya. Yang pelik hanya liku dan tafsirannya.”


Gambar unggulan: WWF-Indonesia/Juraij

Tinggalkan Komentar