Apa yang bakal terjadi jika aneka jenis dan berbagai karakter tokoh wayang turun ke jalan serta berparade di pusat kota sekaligus menjadi tontonan warga? Tentu saja, pusat kota yang biasanya ramai dipenuhi hiruk pikuk kendaraan bermotor sontak berubah menjadi kemeriahan lautan manusia dan lautan wayang. Mereka membentuk sebuah karnaval unik.
Sabtu (18/2/2012) siang menjelang petang, yang lumayan cerah, saya turun dari pintu belakang bus jurusan Surabaya-Solo, di perempatan Jalan Letjen S Parman-Jalan Monginsidi, Solo, Jawa Tengah. Dari sana, saya berjalan kaki menuju Stasiun Balapan untuk memesan karcis kereta tujuan Bandung. Saya memesan tiket untuk keberangkatan hari Senin pagi.
Singkat cerita, karcis sudah didapat. Tinggal sekarang memastikan penginapan. Pilihan saya adalah penginapan yang dekat dari Stasiun Balapan. Tak perlu yang mewah, asalkan bisa untuk numpang tidur sudah cukup. Begitu prinsip saya setiap kali memutuskan mencari penginapan. Maka, saya pun memilih penginapan kelas murmer waktu itu. Tarifnya Rp75 ribu semalam.
Masuk kamar penginapan, ternyata petugas penginapan sudah menyediakan segelas teh manis hangat. Lumayan untuk membasahi tenggorokan. Setelah mengunci kamar rapat-rapat, saya pun bergegas mandi. Perjalanan Surabaya-Solo telah membuat tubuh lengket dengan keringat.
Beres mandi dan berdandan ala kadarnya. Saya bergegas meninggalkan penginapan. Dengan menunggang sebuah becak, saya menuju Bunderan Gladak. Saya berniat menonton acara Solo Wayang Carnival, yang merupakan salah satu gelaran dalam rangka memperingati hari jadi ke-267 Kota Solo saat itu.
Sampai Bundaran Gladak, suasana sudah ramai meriah. Jalan Slamet Riyadi sudah di-verboden. Kendaraan dari kedua arah tak lagi bisa melintas. Tapi, acara karnavalnya sendiri belum dimulai. Sebagian penonton terlihat hilir mudik.
Di salah satu sudut Jalan Slamet Riyadi, terlihat sebuah panggung dimana para nayaga sedang memainkan gamelan Jawa. Beberapa orang terlihat asyik berjoget di jalanan mengikuti irama gamelan. Panggung itu adalah salah satu dari enam panggung musik gamelan Jawa yang disediakan di enam titik di sepanjang jalan yang dilalui para peserta karnaval.
Dari arah panggung, saya berjalan ke arah barat laut. Penonton kian menyemut. Mereka menanti-nanti para peserta Solo Wayang Carnival. Pukul empat petang lebih sedikit, acara karnaval yang dinanti-nanti itu pun dimulai. Satu persatu peserta karnaval muncul dan mulai menyusuri Jalan Slamet Riyadi yang beraspal mulus.
Ini adalah untuk pertama kalinya Solo Wayang Carnival dihelat. Ada sekitar 2.000 peserta terlibat. Mereka berasal dari sejumlah sanggar kesenian, karang taruna, sekolah dasar dan sekolah menengah, perguruan tinggi serta kelompok masyarakat.
Yang istimewa, Walikota Solo waktu itu, Joko Widodo, tidak ketinggalan ikut turun ke jalan berkarnaval dengan menggunakan kostum pakaian ala Puntadewa. Sembari berkarnaval, Joko Widodo menyalami dan menyapa warganya yang menyemut di sepanjang jalan yang dilewati iring-iringan peserta karnaval.
Karnaval sendiri dimulai dari kawasan Lapangan Kota Barat, Kompleks Sriwedari, lantas bergerak merayapi Jalan Slamet Riyadi, Jalan Jenderal Sudirman dan berakhir di Balaikota Solo. Aneka jenis wayang, tokoh wayang serta kostum wayang—seperti antara lain Wayang Gedog, Wayang kancil, Wayang Potehi, Wayang Purwo serta Wayang Suluh—ditampilkan di Solo Wayang Carnival petang itu.
Di samping itu, replika raksasa sejumlah tokoh wayang juga dipertontonkan dan diarak beramai-ramai. Salah satunya yang mencuri perhatian para penonton yakni replika raksasa tokoh Rahwana, karya Karang Taruna Kelurahan Manahan, Kota Solo. Replika Rahwana setinggi 4,5 meter dan menghabiskan dana pembuatan hingga lima juta rupiah itu diarak puluhan anggota karang taruna yang berbaju serba hitam dan berambut merah menyala.
Para anggota Karang Taruna Manahan memilih menampilkan replika raksasa tokoh Rahwana sebagai bentuk kritikan terhadap keserakahan dan kelicikan yang tak jarang dengan amat telanjang kerap dipraktikkan oleh sebagian para pengelola negara ini.
Sebagaimana telah menjadi tradisi saban tahun, setiap memperingati hari jadi Kota Solo senantiasa digelar karnaval seni dan budaya yang menampilkan aneka atraksi seni maupun budaya warga Kota Solo. Karnaval seni dan budaya ini lebih populer dengan sebutan Solo Carnival.
Gelaran Solo Carnival untuk memperingati hari jadi Kota Solo ini telah menjadi kalender wisata tahunan Kota Solo. Hari jadi Kota Solo sendiri jatuh pada tanggal 17 Februari. Pada tanggal inilah di tahun 1745 Keraton Solo mulai resmi ditempati. Solo Carnival dalam rangka memperingati hari jadi Kota Solo, yang dijuluki pula sebagai Kota Bengawan itu, mengusung tema yang berbeda-beda setiap tahunnya. Pada peringatan hari jadi Kota Solo di tahun 2012 itu, temanya adalah wayang. Salah satu dasar pertimbangannya kenapa wayang dijadikan tema untuk tahun itu adalah karena wayang merupakan bagian dari budaya leluhur bangsa Indonesia dan telah diakui sebagai warisan pusaka (heritage) secara internasional.