Gedong Duwur “Sarang Garuda” pada awalnya adalah sebuah rumah seorang pengusaha asal Artsakh, Armenia yang bertempat tinggal di Semarang. Gedong Duwur bermakna rumah gedongan yang tinggi, berlokasi di Jalan Pamularsih Dalam III, Bukit Malaya Simongan, Semarang. Julukan ‘Sarang Garuda’ disematkan karena letaknya di Puncak Bukit Malaya Simongan, yang memperlihatkan pemandangan langsung ke arah laut Jawa dan Pelabuhan Tanjung Mas. Kawasan ini mempunyai sejarah yang panjang sebelum berakhir menjadi pemukiman padat penduduk.
Perjalanan saya ke Gedong Duwur untuk menuntaskan rasa penasaran mengenai eksistensi warga Armenia di Semarang dan Jawa Tengah, khususnya. Gedong Duwur, sebagai salah satu bukti yang absah atas keberadaan mereka di Semarang.
Awalnya saya sempat berpikir jika tidak ada orang Armenia yang pernah tinggal di Semarang atau di Jawa Tengah. Ternyata, praduga saya selama ini salah. Hans Boers, rekan saya di Belanda, ternyata keluarganya berasal dari Armenia dan ia mengetahui siapa pemilik awal Gedong Duwur.
“Pemilik awal Gedong Duwur itu moyang saya, orang Armenia yang tinggal di Semarang. Namanya Agha Hovsep Hovhannes Amirkhan, kelahiran Nagorno–Karabakh, Artsakh, Armenia,” jelas Hans Boers.
Kala itu, Artsakh masuk wilayah Republik Nagorno–Karabakh dengan pusat kerajaan di Khachen. Keberadaan Kerajaan Artsakh diproklamasikan pasca invasi Turki yang terjadi di abad ke-11 hingga ke-14.
Nagorno–Karabakh abad pertengahan adalah pusat gejolak emansipasi bagi warga Armenia Timur. Ketika Armenia dipimpin Tigran II, munculah Triganakert bagian ‘Kota Suci’ di Artsakh. Reruntuhan kota berada di timur Nagorno–Karabakh.
Artsakh adalah bagian dari provinsi ke 10 dari ‘Armenia Greater of Haik Meitz in Armenia,’ terutama setelah penyebaran ajaran Kristen oleh Misionaris St. Gregory. Gandzasar Monastery, bagi warga Armenia, adalah cikal bakal pusat pemerintahan Armenia. Atas peristiwa bertubi-tubi menimpa Artsakh, banyak warganya pindah ke negara ketiga untuk mencari perlindungan juga mencari peruntungan, salah satunya adalah Agha Hovsep Hovhannes Amirkhan.
Gedong Duwur dan Jejak Keluarga Armenia di Semarang
Gedong Duwur awalnya adalah rumah pribadi keluarga Agha Hovsep Hovhannse Amirkhan, seorang tuan tanah sekaligus pejuang kemerdekaan Artsakh Armenia dari pasukan Azeri Turki. Agha Hovsep kelahiran Fereidan, Isfahan Iran tahun 1778 dari keluarga bangsawan Artsakh Armenia.
Masa gentingnya terjadi di usia ke-18 tahun, Agha Hovsep dikirim orangtuanya untuk mengenyam pendidikan di sekolah Armenia di Kalkuta, India.
“Antara disekolahkan, atau diasingkan dari negaranya sendiri, tidak jelas seperti apa,” jelas Hans Boer.
Setelah lulus, Agha Hovsep tidak kembali ke Armenia namun menetap dan bertahan hidup dengan bekerja sebagai kuli di India. Agha Hovsep sempat mencoba kembali ke Armenia tetapi karena kondisi yang tidak memungkinkan, tujuannya kemudian beralih ke Belgia. Ia menetap sementara di sana dan bertahan hidup dengan bekerja sebagai kuli di Pelabuhan Antwerp.
Menginjak usia 30 tahun, Agha Hovsep kembali mencari peruntungan di negara ketiga. Pelayaran dengan kapal De Tyger pun dilakukannya dari Armenia, dengan tujuan akhir di Semarang tahun 1808.
“Agha Hovsep memilih Semarang, karena ingin terbebas dari gejolak tanah kelahirannya Artsakh, Armenia. Tapi juga menghimpun dukungan untuk membebaskan tanah leluhurnya,” lanjut Hans. Setibanya di Semarang, Agha Hovsep tidak langsung mendirikan Gedong Duwur.
Agha Hovsep sempat tinggal di Pelabuhan Tanjung Mas, karena latar belakangnya sebagai pekerja pelabuhan. “Kerja di pelabuhan selain untuk mendapat uang, juga menyamarkan diri dari kejaran tentara koloni.”
Selama pelarian, terutama di Persia, Agha Hovsep menggunakan nama samara David Melik Shahnazaria. Ada dua negara yang ia singgahi sebelum tiba di Semarang, yakni Persia dan Filipina.
“Awal peruntungannya ada di Filipina, akan tetapi ia sedikit mengalami masalah, hingga akhirnya memutuskan berangkat ke Semarang. Alasannya adalah sedikit pesaing bisnis dan mudahnya akses darat dan laut,” lanjut Hans.
Agha Hovsep mulai merintis perdagangan berupa mutiara, kain sutra, gula, tembakau, mentega, dan marmer Italia di Semarang. Ia juga mulai membeli tanah di sekitaran Bukit Mlaya Simongan untuk perkebunan kopi dan teh.
Kejayaan Agha Hovsep di Semarang terjadi tahun 1810, ketika terjadi perebutan wilayah jajahan antara Kerajaan Inggris dan Belanda atas Indonesia kala itu. Agha Hovsep satu-satunya pendonor semua kebutuhan prajurit Inggris di Jawa.
Kerajaan Inggris tentunya menaruh harapan besar kesuksesan atas bantuan Agha Hovsep. Atas jasa baiknya, Thomas Stamford Raffles yang kelak menjadi Letnan Gubernur Hindia Belanda memberikan tanah di Bukit Mlaya Simongan kepada Agha Hovsep.
Setelah diberikan, Agha Hovsep menyematkan ‘Johannesburg’, yang artinya ‘Bukit Johannes’ diambil dari nama orangtua Agha Hovsep Hovhannes Amirkhan yakni Josep Johannes.
Setelahnya, Agha Hovsep menjadikan Bukit Mlaya sebagai kediaman dan perkebunan, sisanya sebagai pemakaman keluarga Armenia dan Kristen–Belanda.
Gedong Duwur selain sebagai tempat tinggal juga rumah singgah tamu Belanda, Armenia dan Konstantinopel. Tentu banyak hal yang bisa dibicarakan. Mengetahui kediamannya berisikan tamu penting, Agha Hovsep tidak menyiakan kesempatan. Agha Hovsep kemudian ekspansi bisnis di bidang ekspedisi distribusi opium dari Uttar Pradesh India, dengan kapal dagang miliknya.
Tahun 1825–1830 ketika Perang Jawa meletus, pemerintah Kerajaan Belanda menemui Agha Hovsep untuk meminjam dana 930.000 gulden dengan jaminan surat berharga. Agha Hovsep memilih memberikan pinjaman dana, dengan jaminan tanah.
Baginya tanah di bawah kepemilikannya dapat menghasilkan, daripada surat berharga. “Memalukannya, pemerintah kerajaan Belanda tidak membayar hutang kepada Agha sampai wafatnya,” terang Hans.
Tanggal 25 Maret 1835, Agha Hovsep Hovhannes Amirkhan wafat setelah 7 bulan mengidap stroke. Setelahnya, seluruh aset milik Agha Hovsep termasuk budak dan tanah di Zoetendal dijual berkala di Kantor Daendels & Co. Semarang.
Sang istri yang bernama H.J. Werich wafat 11 bulan kemudian, dikubur berdampingan di makam keluarga Bukit Mlaya Simongan. Tahun 1874, makam dan kediaman Agha Hovsep dijual ke warga Tionghoa sebesar 200.000 gulden.
“Gedong Duwur, kemudian dibeli Oei Tjie Sien, tidak lain ayah dari Oei Tiong Ham,” jelas Djongkie Tio, sejarawan Kota Semarang. “Penjualan dengan syarat, makam keluarga Armenia tetap dijaga. Tapi yang terjadi sebaliknya, hanya disisakan makam utama Agha Hovsep Amirkhan,” pungkasnya.
Kondisi saat ini, Gedong Duwur hanya menyisakan satu rumah saja, tanpa bukti pendukung keberadaan makam keluarga Agha Hovhannes. Hanya memori warga kelahiran tahun 60-an yang menjadi saksi kejayaan Gedong Duwur dan keberadaan makam Armenia di Semarang.
Gedong Duwur sampai sekarang masih ditempati warga pensiunan militer. Hanya bisa berharap yang terbaik, semoga segera mendapat perlindungan sebagai cagar budaya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.