Merantau itu bukan berarti memupuk rasa kesedihan karena berjauhan, lalu ditumpahkan ketika nanti pulang kampung.
Merantau itu bukan berarti memupuk rasa kesedihan karena berjauhan, lalu ditumpahkan ketika nanti pulang kampung.
Tahun 2018 aku memulai cerita perantauan sebagai mahasiswa. Nasib masih mengandalkan uang orang tua, aku pulang ke rumah hanya pada saat libur panjang tiba saja, dan itu jatuh pada libur semester. Selama merantau bukan berarti bisa begitu saja lepas dari bayang-bayang kota asalku, aku selalu memantau perkembangannya.
Biasanya, pas pulang ke Solo, aku keliling kota mengendarai motor baik di siang hari maupun malam hari. Tampak menyenangkan. Tanpa disadari, hal ini menjadi rutinitasku setiap pulang ke Solo.
Hingga pada pulang kampungku yang kesekian, aku bingung harus menelusuri seluk beluk Solo di bagian mana lagi. Selain berkeliling menggunakan motor, nongkrong di burjo dan angkringan, tentu saja tidak ada kegiatan yang lebih seru lagi. Kunjungan ke mal pun bukan suatu kewajiban, jadi absen dari sini tidak menjadi sebuah penyesalan.
Meski tinggal berada dekat dengan Solo, tetapi terkadang aku merasa awam dengan kota ini. Beberapa kali menjumpai jalan yang tampak baru bagiku. Untungnya tersesat bukan jadi masalah, toh masih di Solo tersesatnya. Apalagi zaman sekarang sinyal sudah semakin bagus dan internet bisa dijangkau di mana saja asal punya kuota internet.
Dari beberapa akun Instagram yang memberi kabar terkini seputar Solo dan sekitarnya, aku mendapatkan informasi tentang peningkatan infrastruktur, khususnya jalan raya perkotaan. Selesai membangun flyover di daerah Manahan-Kota Barat, nampaknya masih belum puas untuk menangani kemacetan Kota Solo yang semakin tidak waras—hingga jalanan di daerah Stasiun Purwosari dijadikan target untuk pembangunan flyover selanjutnya.
Memang sih di daerah tersebut mobilitas kendaraan sangat tinggi, dan kemacetan di jam-jam rawan sudah tidak bisa diobati lagi. Terlebih bagi kendaraan yang mengeluarkan asap cukup tebal dan hitam bukan main, lumayan mengganggu pengendara lain, dan mampu menyentil emosi seseorang.
Belum lagi klakson yang dibunyikan para pengendara bisingnya tidak karuan, saling menimpali satu sama lain. Maklum, sama-sama pemilik kepentingan dan tidak bisa ditinggal. Sebagai seseorang yang bisa menahan amarah karena kepanasan di motor dan terjebak macet, lebih baik jangan diikuti, tetap terus dilatih supaya lebih kuat tahan bising dan pusing. Aduh.
Aku menjajal melewati flyover dengan sepeda motorku. Kutunggangi motor dari perempatan lampu merah Jalan MT Haryono, Manahan; menuju flyover Manahan—Kota Barat. Flyover ini bercabang dua, satu berasal dari arah Jalan MT Haryono, dan satunya berasal dari arah Jalan Adi Sucipto. Keduanya akan membentuk jalan pertigaan. Jika memutuskan untuk melewati bawah flyover Manahan ini kita akan menjumpai mural, lukisan ala tembok jalanan.
Beberapa kali melintasi area bawah flyover ini, aku menjumpai para pengendara yang memutuskan berhenti untuk sekedar foto dengan berlatar mural tersebut. Mural yang cukup menarik, boleh dijadikan referensi konten di sosial media dengan sekedar membagikan cerita. Bahkan lokasi ini cukup menjadi trending di wilayah Solo.
Tiba di ujung flyover, aku sudah tiba di Kota Barat dengan Lapangan Kota Barat sebagai pembuka jalanan. Terdapat angkringan susu sapi segar yang menjadi ciri khas Kota Solo dan selalu ramai di malam hari, namanya Susu Shi Jack. Minuman susu segar dengan pelbagai varian menarik, harga murah, juga tentunya tidak menghilangkan rasa asli susu segarnya.
Dulunya, Susu Shi Jack berada di sebelah kanan jalan jika dari flyover, tetapi sudah pindah tempat di halaman parkiran Lapangan Kota Barat. Susu Shi Jack ini tidak hanya memiliki satu warung, tetapi ada banyak cabangnya di Solo. Bahkan beberapa foodcourt di Solo pasti mengandung Susu Shi Jack ini.
Dari arah perempatan Kota Barat menuju Jalan Slamet Riyadi, lagi-lagi sore hari jalanan ini sungguh sangat macet hingga mengharuskanku menggunakan tradisi turun temurun, menyelip diantara celah yang ada. Ternyata tak semulus itu, aku harus terjebak lagi pada situasi lampu merah di perempatan menuju flyover berikutnya. Lampu hijau sudah menyala, aku putar stir ke kanan, mulai menyusuri Jalan Slamet Riyadi menuju flyover Purwosari.Sepanjang Jalan Slamet Riyadi ini pada hari minggu biasanya digunakan untuk Car Free Day. Kalau saja di sepanjang jalan menemukan rel kereta api, itu merupakan jalur Railbus Kereta Api Batara Kresna yang melayani perjalanan dari Stasiun Purwosari Solo menuju Stasiun Wonogiri. Menurut informasi, railbus ini sempat dihentikan pelayanannya karena dalam masa perbaikan dan pada 2021 ini sudah mulai dioperasikan kembali dengan tarif Rp4000.
Ternyata jalanan ini sudah sangat berubah, sudah ada jalur khusus BST (Batik Solo Trans). Dan sialnya lampu merah menghentikan kendaraanku, dari lampu merah kupandangi flyover tersebut dan nampak biasa saja karena sudah sering melihat flyover, juga nampak excited karena itu flyover baru. Lampu lalu lintas sudah berganti kuning, lalu hijau, dan aku mulai menarik gas motorku, ku arahkan pada jalan menggantung itu.
Belum sampai aku di atas, aku terkesima dengan pemandangan kotanya. Beruntungnya aku berada pada waktu matahari terbenam, membuatnya semakin cantik. Ditambah lalu lintas tidak begitu padat sehingga bisa betul-betul menikmatinya. Jika beruntung mendapatkan cuaca cerah, Gunung Merbabu dapat terlihat dari jalanan ini.
Gila betul rasanya.
Aku senyum-senyum sendiri merasakan suasana jalanan ini. Tanpa kebut-kebutan, udara sore hari bercampur polusi sangat menyenangkan. Dan aku yakin untuk para pekerja yang baru saja pulang dan melintasi jalanan itu, mungkin capeknya sedikit hilang.
Tak terasa, motorku sudah sampai di ujung bawah flyover, dan setelah itu aku tidak tahu lagi akan membawanya ke mana.
Dahlah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Bekerja di KPP Pratama Sorong, tertarik dalam bidang literasi dan suka jalan-jalan.