Nico de Jonge dan Toos van Dijk, dua orang antropolog berkebangsaan Belanda, sekaligus duet penulis Forgotten Islands of Indonesia: The Art & Culture of the Southeast Moluccas (1995), telah lama menyatakan kepulauan di Maluku Barat Daya (MBD) sebagai “The Forgotten Islands” karena letaknya yang terisolasi, akses terbatas, serta minim sumber literatur yang membahasnya. Maluku Barat Daya, yang 88 persen wilayahnya berupa laut, menyimpan harta karun yang luar biasa: baik keanekaragaman hayati maupun budaya maritim. Akan tetapi, masih banyak wilayah di kawasan tersebut yang belum dipetakan secara utuh, sehingga memerlukan kajian saintifik yang intensif dan spesifik.
Tahun ini WWF-Indonesia melaksanakan ekspedisi keanekaragaman hayati laut di Kawasan Konservasi Mdona Hiera, Lakor, Moa dan Letti di Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku untuk mendata berbagai macam hal, seperti usia koloni karang, kipas laut, dan spons; E-DNA metabarcoding; potensi pemijahan ikan; pengamatan mangrove. Juga, pengamatan spesies laut dengan BRUV (Baited Remote Underwater Video), pengamatan melalui citra drone, dan melihat indikasi habitat penyu serta hasil tangkapan utama dan sampingan.
Ekspedisi yang berlangsung pada 8–12 Mei 2024 tersebut juga didukung oleh lintas instansi daerah hingga pusat. Di antaranya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Dinas Perikanan Kabupaten Maluku Barat Daya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Bionesia Indonesia, dan TNI Angkatan Laut. Pengamatan dilakukan di sekitar Pulau Metimarang dan Pulau Luang.
Proses penurunan BRUV untuk memantau spesies yang ada di sekitaran Kawasan Konservasi Mdona Hiera via WWF-Indonesia/Rizky Erdana
Menemukan Beragam Kehidupan dan Penyadaran Tradisi Lokal
“Dari hasil laporan sementara, koloni karang tertua yang ditemukan diperkirakan berumur hampir 400 tahun, sedangkan gorgonian atau kipas laut ditemukan hingga 32 tahun dan sponge dari jenis Xestospongia Sp. ditemukan berusia hingga 69 tahun. Ini membuktikan kekayaan alam sekitar Pulau Metimarang dan Luang yang diduga merupakan gunung berapi pada masa lalu dan telah membentuk terumbu karang atol dengan koloni-koloni karang yang cukup tua dan masih hidup hingga saat ini,” ujar Erdi Lazuardi, Koordinator Nasional untuk Marine Science and Knowledge Management WWF-Indonesia.
Tidak hanya itu. Tim WWF-Indonesia juga melakukan identifikasi lokasi pemijahan ikan (Spawning Aggregation Sites/SPAGs) untuk melihat titik-titik yang berpotensi menjadi tempat pemijahan ikan kerapu dan kakap. Ikan kerapu dan kakap adalah harapan hidup orang-orang di Metimarang. Sejak dahulu, ikan-ikan tersebut mempunyai nilai ekonomis yang tinggi; baik dijual dengan diasinkan ataupun dijual hidup. Kehilangan ikan tersebut dalam jumlah banyak tentu mengakibatkan penurunan kualitas hidup masyarakat Metimarang.
Pemantauan tidak sekadar dilaksanakan secara langsung dengan menyelam, tetapi juga mewawancarai beberapa pengepul ikan kerapu hidup dan nelayan Pulau Metimarang untuk memastikan keakuratan data. Sembari menyelam, tim juga mengumpulkan sampel, baik dari air laut maupun menggunakan metaprobe untuk mengidentifikasi berbagai organisme bawah laut melalui uji environmental DNA atau E-DNA.
Pemantauan menggunakan BRUV dilakukan di 23 titik pada kedalaman 7–70 meter. Meskipun embusan angin memperkuat gelombang dan juga arus, hal tersebut tidak menyurutkan tim WWF-Indonesia menurunkan kamera pemantau di dalam laut maupun secara aerial. Tujuannya untuk melihat pergerakan spesies di laut sekitar Pulau Metimarang dan Pulau Luang, seperti hiu, dugong, pari, lumba-lumba, dan penyu.
Selain itu, WWF-Indonesia juga melakukan survei terkait habitat penyu dan tangkapan sampingan para nelayan. Menurut penuturan warga, mereka kerap kali melihat penyu, baik saat di pantai untuk bertelur ataupun di laut ketika mereka mencari ikan. Di MBD, penyu masih sering mereka konsumsi pada waktu tertentu, seperti pesta adat atau perayaan personal. Bagaimana dengan spesies ETP (Endangered, Threatened and Protected) yang tidak sengaja tertangkap?
“Semua yang tertangkap, kami bawa untuk dimakan,” ucap salah seorang warga saat diwawancarai tim WWF-Indonesia.
“Bahwa untuk mengurangi tradisi konsumsi penyu yang sudah mendarah daging, perlu edukasi dan ‘penyadartahuan’ agar masyarakat yang awalnya memburu penyu menjadi pelindung penyu. Tentu butuh waktu yang tidak sebentar,” ucap Yuliana Syamsuni, tim species WWF-Indonesia. Tim juga berhasil menyelenggarakan Pelatihan BMP (Best Management Practices) Penanganan Spesies Laut Dilindungi dan Terancam Punah Pada Hasil Tangkapan Sampingan kepada 12 masyarakat nelayan di Dusun Metimarang.
Pemantauan juga dilaksanakan pada area lamun di timur atol Metimarang yang disinyalir menjadi tempat terlihatnya dugong. Tempat menjadi lahan hidup beberapa jenis lamun, seperti Thalassodendron ciliatum dan Halophila ovalis yang merupakan pakan alami para dugong. Sayang sekali, dalam pemantauan tersebut tim WWF-Indonesia belum dapat menemukan dugong secara langsung, meskipun dugong sempat terpantau pada ekspedisi tahun 2022.
Di bagian selatan dari Pulau Metimarang, luasan mangrove tercatat berkisar 11,69 hektare dan ditumbuhi oleh 13 jenis mangrove. Mulai dari Avicennia alba hingga Sesuvium portulacastrum. Adapun di bagian utara juga tercatat 13 jenis yang sama, dengan luasan 11,04 hektare
“Bluewater Mangrove di sini merupakan mangrove yang unik. Tidak seperti mangrove pada umumnya yang tumbuh pada lahan lumpur, ini langsung tumbuh di substrat pecahan karang dan air jernih, serta dari 13 spesies mangrove, di antaranya tiga spesies rentan dan terbatas distribusinya, yaitu Rhizophora stylosa, Sonneratia ovata dan Pemphis acidula,” ujar Muhammad Faisal Rachmansyah, peneliti mangrove yang ikut ambil bagian dalam tim. Selain berfungsi sebagai ecosystem services, bluewater mangrove di Pulau Metimarang bisa menjadi mata pencaharian alternatif masyarakat Pulau Metimarang dari pemanfaatan buahnya dan kemungkinan pengembangan wisata snorkeling.
Pelaporan dan Rencana Diseminasi Hasil Ekspedisi
Hasil laporan sementara ekspedisi ini telah dipresentasikan di hadapan 30 orang yang terdiri dari perwakilan dinas perikanan, asisten sekretaris daerah, dinas pariwisata, dinas lingkungan hidup, Kantor Cabang Dinas Gugus Pulau 11, dan Bappedalitbang pada tanggal 13 Mei 2024 di Aula Hotel Golden Nusantara, Tiakur, Wakarleli, Maluku Barat Daya.
Dalam acara tersebut, Yafet Lelatobun, Asisten III Bidang Administrasi Pemerintahan Setda Kabupaten MBD, menyatakan ucapan terima kasih serta dukungan untuk ekspedisi ini. Dia mengharapkan semua pihak bahu-membahu untuk menyelenggarakan kawasan konservasi di daerah Maluku Barat Daya.
“Semua wilayah laut di MBD ini adalah tanggung jawab kita untuk mengelolanya agar bisa dimanfaatkan dengan baik dan benar, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada,” ucapnya.
Selanjutnya, setelah analisis lengkap dan laporan selesai, akan dilakukan diseminasi hasil ekspedisi guna memperkuat regulasi dan rekomendasi untuk peraturan perikanan tangkap dan tata kelola kawasan konservasi di Maluku Barat Daya, khususnya meliputi Kawasan Konservasi Mdona Hiera, Moa, Letti, Lakor. Keberadaan kawasan konservasi diharapkan tidak hanya untuk perlindungan keanekaragaman hayati lautnya, tetapi juga bisa memberikan manfaat secara berkelanjutan bagi masyarakat.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.