Satu dekade lalu, bersama kawan-kawan kuliah, saya menyibak jenggala untuk menangkap kupu-kupu demi keperluan riset. Berbekal jaring dan kamera, kami mempelajari serangga tersebut. Lalu, saya kagum pada arthropoda bersayap itu dan mulai gemar mengamati mereka di kala luang. Sayangnya, tak semua tempat dihuni kupu-kupu cantik. Hutan dengan berbagai jenis tumbuhan merupakan surga bagi aneka ragam lepodiptera (bangsa kupu-kupu dan ngengat). Tak pernah terpikir di benak saya untuk melihat kupu-kupu di dalam sangkar.
Hari masih baru di Denpasar dan saya sudah bimbang. Pagi itu saya berencana mengunjungi taman kupu-kupu. Akan tetapi, Bali punya dua tempat seperti itu dan keduanya lumayan jauh dari Denpasar. Usai menimbang-nimbang, saya memilih untuk pergi ke Kemenuh Butterfly Park di Gianyar.
Motor Astrea tua menemani perjalanan saya kali ini. Lambat bukan masalah. Saya hanya berharap ia tak mogok. Sambil melaju santai, saya berpikir soal tempat yang hendak saya tuju. Taman kupu-kupu? Yang benar saja. Ayolah, kupu-kupu melintas setiap saat dan orang tak peduli. Siapa yang mau membayar untuk melihat serangga terbang itu? Akan tetapi, ini Bali. Jika saya turis Barat yang penasaran dengan eksotisme negeri tropis, membayar beberapa dolar saja tak jadi soal.
Google Maps membimbing saya melintasi jalur-jalur kecil. Sawah di tepi jalan membentang. Sekawanan kuntul berkumpul, mengincar serangga atau katak yang bersembunyi di balik rerumputan. Jika tempo hari saya menemukan ladang pacar air saat berkunjung ke Tabanan, di Gianyar saya disuguhi kebun pandan. Namun, itu bukan jenis pandan yang biasa digunakan sebagai pewarna makanan. Seperti pacar air, daun pandan juga merupakan elemen canang.
Matahari bersinar terik saat saya memasuki area parkir Kemenuh Butterfly Park. Biasanya saya mengutuk panasnya hari, tetapi tidak kali ini. Kupu-kupu akan lebih aktif saat langit cerah. Saya tentu tak mau membayar untuk melihat mereka bermalas-malasan. Tapi cahaya benar-benar menyilaukan. Saya ambil kacamata hitam dari saku, mengenakannya, dan bercermin di spion. Kini saya benar-benar terlihat seperti turis.
“Dari mana, Mas?” tanya petugas loket.
“Madura,” jawab saya.
Saya rogoh saku celana dan menyerahkan selembar uang biru muda. Ia memberikan tiket masuk. Di situ tertera tarif untuk wisatawan asing, Rp150.000. Jika mengaku dari Denpasar atau wilayah lain di Bali, mungkin tarifnya akan lebih murah. Tapi tak apa. Saya mengucap suksma (terima kasih) lalu melangkah masuk.
Tunggu, di mana kupu-kupunya? Tempat ini tak ubahnya taman biasa. Di depan, para turis kulit putih berjalan santai sambil melihat bunga yang ditanam di sekitar. Saat saya melihat sekeliling, sekelebat gerakan tertangkap pandangan. Itu seekor kupu-kupu biru. Oke, di mana sisanya? Saya terus menapaki jalur dan tiba di depan sebuah sangkar besar. Lagi-lagi sebuah tirai mengadang. Rupanya, ini baru permulaan. Saya menyibaknya dan melangkah masuk.
Kupu-kupu dalam Sangkar
Sangkar itu dipenuhi bunga. Kupu-kupu beterbangan, mengepakkan sayapnya di antara kuntum-kuntum kembang. Seorang bule di depan saya tampak antusias dengan pemandangan di hadapannya. Jujur saja, saya tak terlalu kaget dengan aneka jenis kupu-kupu di tempat ini. Tapi, saya toh tetap membidikkan kamera. Rasanya masih sama seperti masa-masa kuliah dulu.
Hampir semua jenis kupu-kupu di taman ini sudah pernah saya lihat sebelumnya. Mulai dari spesies langka dan dilindungi seperti Troides helena hingga yang lazim macam Papilio memnon. Meski begitu, kembali melihat mereka rasanya menyenangkan. Ini nostalgia.
Saya foto satu per satu serangga itu. Beberapa kupu-kupu terbang terlalu cepat, saya kesulitan. Di samping saya, bule tadi juga mengeluarkan kamera saku dan mencoba memotret seekor kupu-kupu.
“Too fast, huh?” sapa saya.
“Yes. I saw you take a picture of them and that seems fun,” jawabnya.
“Where are you from, Ma’am?
“I’m Dutch, Belanda.”
Kami mengobrol sambil menengok sekitar. Agaknya, wisatawan asing tertarik pergi ke tempat semacam ini karena mereka tak punya banyak kupu-kupu menarik di negerinya. Lebih-lebih, di benua empat musim macam Eropa, tampaknya, kupu-kupu tak bisa terbang setiap saat. Barangkali hanya di musim semi dan musim panas mereka bebas mengepakkan sayap.
“That’s monarch butterfly,” seru saya menunjuk seekor kupu-kupu di udara.
“I think we have that such species there,” tanggap dia.
Saya mengikuti seekor kupu-kupu biru. Itu Papilio peranthus. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya saya berhasil menjepretnya dengan lensa kamera. “Hey, if they’re too fast, maybe you can look at this,” kata si bule. Saya mengalihkan pandangan. Di depan saya terpampang insektarium raksasa dengan berbagai jenis spesimen, entah asli atau buatan.
“Nice, dead butterfly,” tanggap saya sembari tertawa. Tak lama, saya beranjak ke ruang berikutnya, yakni ruang penetasan.
Metamorfosis dan Hidup yang Singkat
Terdengar sedikit aneh. Saya pikir “ruang metamorfosis” lebih pas dan menarik. Ruangan ini berisi pupa dan kepompong lepidoptera (pupa untuk kupu-kupu, kepompong untuk ngengat). Dari kantung-kantung tersebut, kupu-kupu muda merayap dengan sayap keriput. Mereka bergeming sejenak hingga sayapnya cukup kuat memukul udara. Di samping kotak-kotak berisi bayi lepidoptera, seseorang menghampiri saya. Ia Tute, pemandu di Kemenuh Butterfly Park.
Pemuda itu memberi tahu saya bahwa taman ini sudah buka sejak lima tahun lalu dan menyimpan lima belas jenis kupu-kupu lokal. “Dulu tempatnya bukan di sini, baru tahun ini kami pindah kemari,” jelas dia. Serangga-serangga di taman ini dikembangbiakkan di suatu tempat di Negara. Lalu, begitu ulat-ulat berubah menjadi pupa atau kepompong, mereka dipindahkan ke sini. Tuta mengatakan bahwa jumlah yang dikirim bisa mencapai 2.500 ekor tiap minggu. Saya mengamati sangkar berisi kantung-kantung berkilau itu sambil membidikkan lensa.
“Sudah ke mana saja di Bali, Mas?” tanyanya.
“Ke Danau Batur, Kintamani, Kuta, dan Tabanan,” jawab saya.
“Wah, bener, Mas. Kalau mau lihat Bali yang bener-bener Bali, ya, ke tempat-tempat seperti Kintamani dan sekitarnya itu. Kalau Denpasar sudah tak seperti Bali lagi.”
Ia benar, Denpasar terlampau bising. Saya benar-benar merasa di Bali saat melawat ke Kintamani, ketika sepanjang jalan saya kesulitan mencari masjid untuk salat sebab hanya pura yang berjejer di pinggir jalan.
Serombongan orang kulit putih datang. Tuta dengan sigap menyambut mereka dengan bahasa Inggris yang fasih. Pemuda itu mengajak turis-turis tersebut mengobrol dan menjelaskan isi ruangan dengan baik. Setelah beberapa menit, dia pamit karena ini waktunya istirahat. “Mas, saya pamit dulu, mau istirahat. Kalau mau tanya-tanya nanti sama teman saya yang gantiin, namanya Gosman,” katanya. Saya mengacungkan jempol dan kembali mengambil gambar.
Gosman bertubuh gempal, kulitnya cokelat gelap. Sama dengan Tuta, ia juga fasih bicara Inggris. Ia membawa kami semua ke kotak berisi kepompong Attacus atlas, si ngengat raksasa. Saat saya masih kanak-kanak, saya sering melihat serangga itu terbang di dekat lampu saat malam. Dulu saya menyebutnya “kupu-kupu gajah”. Namun, sekarang saya nyaris tak pernah melihatnya lagi.
“So this moth lives only for five days. They don’t even have a mouth to eat,” tutur Gosman pada kami semua dengan seekot ngengat di tangannya. Orang-orang kulit putih tampak takjub. Saat mencapai fase imago (dewasa), tugas makhluk itu hanya mencari pasangan, kawin, dan bertelur sampai cadangan makanan dalam tubuhnya habis dan mereka pun mati.
Benar-benar hidup yang singkat. Sepotong lirik lagu Scorpion terlintas di kepala. And you run, cause life is too short.
Serangga di Zaman Antroposen
Selama berada di taman, tak ada turis domestik yang masuk. Mungkin benar, tak ada orang lokal yang mau membayar mahal untuk sekadar melihat kupu-kupu. Bahkan, seringkali kita mengabaikan makhluk bersayap itu. Padahal, seperti lebah, kupu-kupu juga penting bagi ekosistem. Mereka merupakan serangga penyerbuk yang menjaga siklus hidup flora di bumi. Dan kabar buruknya, kebanyakan dari kita benci serangga.
National Geographic secara khusus membahas soal serangga dalam majalahnya yang terbit Mei 2020 lalu. Tak tanggung-tanggung, mereka menyematkan judul Kiamat Serangga dengan sampul bergambar kupu-kupu pada edisi tersebut. Ternyata, beberapa penelitian menemukan bahwa populasi serangga di berbagai lokasi menurun. Saya bahkan lupa kapan kali terakhir melihat kunang-kunang. Tentu saja. Alih fungsi habitat dan penggunaan pestisida merongrong ruang hidup insekta di muka bumi. Perubahan iklim turut mengancam eksistensi mereka. Edward O Wilson, seorang ahli biologi, mengatakan bahwa jika manusia lenyap, bumi akan kembali ke kondisi ekuilibrium seperti sepuluh ribu tahun silam. Namun, kalau serangga musnah, bumi bakal jatuh dalam kekacauan ekologis. Benar juga, bumi bisa hidup tanpa manusia, tapi tidak tanpa serangga.
Saya melangkah keluar dari ruang metamorfosis—ya, saya lebih suka istilah itu. Rupanya, sebatas ini isi Kemenuh Butterfly Park. Saya melihat sekeliling, kupu-kupu beterbangan. Beberapa bersembunyi di balik dedaunan, mungkin lelah.
Tunggu, apa saya baru saja membayar Rp50.000 untuk sekadar melihat kupu-kupu? Bukankah ini buruk? Bagaimana jika kelak saya harus benar-benar membayar mahal lantaran tak ada lagi kupu-kupu yang tersisa di sekitar? Ah, semoga tidak.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Asief Abdi belajar biologi di Universitas Negeri Malang. Aktivitasnya mengamati hewan dan tumbuhan sejak kuliah masih berlanjut hingga saat ini. Belakang juga tertarik mengunjungi situs-situs bersejarah. Kini, ia tinggal dan bergiat sebagai pengajar di Pamekasan.
Tulisannya mudah dipahami kak, niceee