Ketika saya dan para travel blogger ibu kota tiba di halaman Fort Marlborough saat gelaran Festival Bumi Rafflesia 2017, sekelompok musisi sedang menabuh alat musik perkusi diiringi sorak-sorak khalayak yang menyemangati.

Yang mereka mainkan adalah instrumen tradisional Bengkulu bernama dol.

Secara fisik, yang membuat dol unik adalah materialnya. Instrumen sakral ini terbuat dari kayu kelapa yang kuat tapi tidak terlalu berat. Bagian yang dipukul adalah kulit kambing atau kulit kayu. Diameter dol antara 70-125 cm, tingginya mencapai 80 cm. Untuk memukul instrumen perkusi seperti ini, perlu pemukul berdiameter 5 cm sepanjang 30 cm.

Proses pembuatannya tergantung ketersediaan bahan. Tapi, biasanya lumayan lama, mencapai tiga minggu.

Ada tiga teknik yang biasa digunakan saat memainkan dol—suwena, tamatam, dan suwari. Teknik suwena bertempo lambat sebab dimainkan dalam suasana duka. Tamatam cepat dan konstan, dimainkan dalam suasana riang gembira. Teknik suwari biasanya dimainkan saat mengiringi parade.

Perkembangan zaman membuat instrumen dol mengalami evolusi. Dalam makalah “Expansion of Value and Form ‘Dol’ Musicality as Ritual ‘Tabot’ in Bengkulu” (2018), Parmadi dan Sugiartha mengungkap bahwa sekarang sudah ada dol yang terbuat dari material fiber. Dibanding kayu kelapa, fiber jauh lebih ringan. Hanya saja, karakter suaranya juga jadi sangat berbeda. Dol dari fiber akan mengeluarkan suara lebih nyaring, sementara dol dari kayu kelapa lebih ngebass.

Mulanya, alat musik pukul ini hanya dimainkan pada perayaan-perayaan bernuansa spiritual semisal tabot yang digelar selama 10 hari di bulan Muharam untuk memperingati gugurnya Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib di Karbala, 10 Muharam 61 Hijriah (681 Masehi). Namun, sejak tahun 1990-an, saat kampanye wisata budaya Bengkulu makin gencar, dol mulai dimainkan untuk keperluan-keperluan lain, misalnya pariwisata.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar