Sebagai penduduk asli Dukuh Dangean, Desa Gedangan, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, aku menjalani rutinitas yang berbeda ketika hari Minggu Pahing. Sebagai anak muda di sini, aku dan kawan-kawan lain tergabung dalam organisasi karang taruna Digdaya Muda. Para anggota karang taruna mengemban tugas untuk menjaga tempat parkir dan stan yang ada di Pasar Ngatpaingan.
Pagi itu (14/07/04), setelah memberi makan rumput ke beberapa sapi ternakku, aku berangkat menunaikan tugas kepemudaan karang taruna. Meski Pasar Ngatpaingan buka sejak pukul 07.00 sampai 12.00, kami dilatih disiplin untuk mempersiapkan beberapa hal terlebih dahulu sebelum acara dimulai. Tidak hanya kedisiplinan, tetapi juga untuk melatih kekompakan dan gotong royong.
Sehari sebelumnya, tugas para pemuda-pemudi untuk acara Pasar Ngatpaingan sudah dibagi oleh koordinator kami. Mulai dari menjaga karcis masuk parkir, tempat parkir mobil dan motor, portal jalan, dan stan di pasar. Karena setiap sektor ada beberapa anggota, ketika acara sudah dimulai, kami diperbolehkan satu atau dua kali menengok Pasar Ngatpaingan secara bergantian. Ketika jatahku tiba, aku pergi sejenak untuk mengunjungi pasar.
Nilai Kearifan Lokal di Pasar Ngatpaingan
Sperti biasa, aku melihat seni pertunjukan terlebih dahulu yang ditampilkan di Pasar Ngatpaingan. Aku datang di waktu yang tepat pada pukul 09.00, saat pertunjukan seni reog dimulai.
Ada beberapa acara di Pasar Ngatpaingan. Kegiatan senam ibu-ibu PKK pukul 07.30–08.15, lalu kesenian reog pukul 09.00–10.30. Pengunjung bisa membeli camilan di stan-stan pasar untuk dinikmati sembari menonton pertunjukan. Dagangan yang dijual beragam, di antaranya getuk, tiwul, mentho, wajik, jadah, soto, siomay, dan es campur. Untuk stan karang taruna berbeda, kami menyediakan kopi, gorengan, dan nasi bakar. Tidak hanya makanan dan minuman, beberapa stan juga menyediakan dolanan anak dan sayur segar. Untuk bertransaksi di Pasar Ngatpaingan, pengunjung bisa membeli koin terlebih dahulu seharga Rp5.000 per koin. Para pedagang sendiri sudah mengatur dagangannya seharga koin yang ditukarkan.
Setelah menikmati pertunjukan dan jajanan yang ada, para pengunjung juga bisa mengabadikan momennya di photo booth yang disediakan. Di situ juga terdapat lurik yang bisa dipakai sebagai kostum saat berfoto.
Banyak nilai kearifan lokal yang bisa diambil dari Pasar Ngatpaingan, seperti gotong royong dan kekompakan. Tidak hanya karang taruna, hal itu juga dilakukan warga desa yang menempati stan masing-masing di pasar. Sehari sebelum Minggu Pahing biasanya pemilik stan membersihkan pasar bersama-sama. Kemudian, saat acara sudah mulai, biasanya mereka saling bantu membawakan barang ke pasar.
Kami juga melestarikan budaya Jawa dengan mengenakan pakaian lurik. Nilai-nilai kearifan lokal lain juga tercermin dari pakaian lurik khas Jawa yang kami pakai. Lalu transaksi jual-beli layaknya pasar tradisional, terjadi interaksi sosial antarpengunjung dengan saling tegur sapa. Pertunjukkan reog sendiri juga menjadi nilai budaya yang tetap dipertahankan eksistensinya di sini.
Setelah pasar berakhir dan tugasku selesai, aku berencana mengitari desa. Aku menyambangi Candi Lawang dan melihat wujud kemandirian energi di desa ini.
Menilik Candi Lawang
Aku mengunjungi Candi Lawang bersama ketiga saudaraku, yaitu Iqbal, Fadhil, dan Putra. Mereka kuajak menilik kembali monumen sejarah yang ada di desa sendiri. Kondisi candi saat kami berkunjung bersih dan terawat.
Menurut sejarah, Candi Lawang pertama kali dilaporkan oleh P. A. Hadiwijaya, Kepala Perkebunan Sukabumi di Paras pada 1919. Temuan candi kala itu terkubur di tengah area kebun kopi. Setahun kemudian dilakukan ekskavasi atau penggalian di tempat penemuan candi.
Kompleks candi terdiri dari candi induk yang dikelilingi lima candi perwara. Candi induk berbentuk bujur sangkar dan sudah tidak utuh lagi. Hanya terlihat sebagian saja yang tersisa, yaitu pondasi, kaki, tangga masuk, dan bingkai pintu. Terdapat yoni dan bingkai pintu yang menjadi ciri khas candi ini. Karena penampakan pintunya yang menonjol, candi ini disebut Candi Lawang. Dalam bahasa Jawa, lawang berarti pintu. Sayangnya, candi-candi perwara yang mengelilingi candi induk sudah tidak utuh atau rusak.
Pada bagian kiri pintu candi induk terdapat inskripsi yang dibaca “ju thi ka la ma sa ts ka” dengan keadaan sudah agak samar. Huruf yang dipakai pada inskripsi adalah aksara Jawa Kuna yang banyak digunakan dan berkembang sekitar abad IX–X Masehi. Candi dibangun pada masa kejayaan Kerajaan Mataram Kuno, di bawah pemerintahan raja-raja dari Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu.
Menghemat Biaya Listrik melalui Kotoran Sapi
Dari candi, kami menuju tempat pengolahan kotoran sapi (biogas) menjadi energi listrik. Jaraknya hanya 20 meter saja.
Biasanya, masyarakat di Dukuh Dangean dan sekitarnya memanfaatkan kotoran sapi hanya untuk biogas saja. Namun, kali ini berbeda. Tepat di belakang rumah Bapak Supomo, terdapat pendapa dan mesin generator sebagai tempat konversi energi biogas menjadi energi listrik pertama di Dangean.
Pada 2020, warga masyarakat Dangean gotong royong untuk membangun pendapa tersebut. Setelah pendapa jadi, Bapak Supomo dan rekan-rekan lain yang mengetahui tentang mesin generator konvertor itu mulai merakit dan memasangnya. Akhirnya, setahun kemudian Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLT-Biogas) bisa digunakan.
Hingga kini, biogas yang berada di belakang rumah Bapak Supomo sudah bisa dimanfaatkan untuk menerangi 20 lampu jalan yang ada di bagian timur dukuh. Tentu inovasi ini mampu mengurangi biaya listrik tiap warganya. Sebelumnya lampu jalan terhubung ke listrik masing-masing rumah.
Rencananya, PLT-Biogas akan dipasang di beberapa titik lagi mengingat luasnya wilayah Dukuh Dangean. Semakin luas jangkauan, semakin terasa manfaat konversi energi ini. Dukuh-dukuh lain nantinya juga bisa meniru dan mencontoh implementasi Desa Mandiri Energi (DME) di Dangean.
Paket Lengkap di Minggu Pahing
Dukuh Dangean masih menjadi tempat yang asri dari dulu sampai sekarang, karena lokasinya yang terletak di lereng Gunung Merapi. Di setiap sudut jalan, ada majalah dinding (mading) yang memperlihatkan nilai-nilai kearifan lokal. Mading-mading tersebut mencantumkan tulisan-tulisan berbahasa Jawa yang maknanya begitu dalam, seperti “Sepi ing pamrih, rame ing gawe”, “Mulat sarira hangrasa wani”, “Ajining diri gumantung ing lathi”, “Sirna dalane pati, nur sifat, luber tanpo kebek”, “Jer basuki mawa beya”, dan “Alon-alon asal kelakon”.
Sebagai kampung wisata, selain acara Pasar Ngatpaingan, Dangean juga menawarkan paket outbound bagi siapa saja yang berminat. Reservasi bisa melalui Instagram @wisatadangean atau datang langsung. Dalam paket ini, tamu akan diajak memerah susu sapi, menanam dan mengambil sayuran, mengunjungi Candi Lawang, dan melihat kawasan DME.
Kemudian di pintu utama bagian timur dukuh, terdapat plang yang menginformasikan tentang profil Dukuh Dangean. Selain wisata, ada juga informasi terkait acara sadranan di dukuh ini. Sadranan atau nyadran berasal dari kata Sradha yang artinya keyakinan. Nyadran adalah tradisi pembersihan makam dan tabur bunga oleh masyarakat Jawa. Puncaknya berupa kenduri di makam leluhur. Sadranan hanya dilakukan pada bulan Sya’ban atau Ruwah.
Menurutku, Minggu Pahing adalah waktu yang paling tepat bagi wisatawan yang berkunjung ke Kampung Wisata Dangean. Sebab, pengunjung bisa menikmati paket lengkap yang tersedia dalam satu hari yang sama, mulai dari Pasar Ngatpaingan, Candi Lawang, dan Desa Mandiri Energi.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Aktif kuliah di Jogja. Verified Writer di IDN Times. Suka menulis dan mendengarkan musik yang mellow..