Madura menetas dari sejarah yang berkabut.
Peristiwa itu terjadi ketika malam bertelekung langit nila. Roh bulan turun dan singgah di mahligai Tanjung Sekar. Membuahi rahim putri Gilingwesi dengan saripati yang bersinar. Demikianlah awal kehamilan partenogenesis tersebut berlangsung. Seperti Anunsiasi Maria saat Ruhul Kudus meniup janin di garwa perawan sunti.
Namun, bukan suka yang jatuh pada hayat Tanjung Sekar, melainkan duka. Maka, pembunuhan atas gadis itu disiapkan. Sebab, Hyang Tunggal tak ingin negerinya cemar. Meski demikian, nasib menumpulkan rencana raja. Tanjung Sekar lolos dari pisau maut. Ke laut, ia kabur dengan rakit kayu. Kelak, ia dan putranya yang terlahir di tengah segara terdampar di sebuah pulau dan menetap di tepi pantai antah-berantah, terra incognita yang hanya dihuni pohon dan mambang. Ke pantai inilah aku dan Iko hendak ziarah.
Genealogi Pulau Madura
Pantai Monyet Nipah terhampar di hutan utara Sampang. Kami harus menyisir 70 kilometer dari kota Pamekasan. Motor Honda Beat putih akan membawa kami ke sana.
Tapi, motor itu belum datang. Padahal jam telah menunjuk angka sepuluh. Pada waktu segitu kami sepakat bertemu di Loka Coffee. Ikrar Izzulhaq atau Iko baru tiba tujuh menit berselang dengan seringai kucing Cheshire dan garukan di kepala yang tak gatal. Lalu, pemuda tinggi-ramping itu berapologia dengan rasa bersalah yang dibuat-buat, “Sori, Bro, bangkit dari ranjang ternyata enggak semudah petuah Marcus Aurelius.”
Kami pun berangkat dengan laju rata-rata 70 kilometer per jam. Matahari duha akhir Mei memang tak ramah. Akan tetapi, cahaya kemarau akan membuat semuanya terlihat zahir. Apalagi, rute yang bakal kami lalui membentangkan panorama elok. Jalur ke utara tak selempang jalan selatan. Melewati trayek utara, motormu akan berkelok-kelok, naik-turun bukit dan lembah.
Memasuki Pakong, jalan raya menggantung di lereng curam. Suhu udara surut. Di sanalah kulihat seekor bubut alang-alang melayang turun, merentangkan sayap terakota dengan ekor berayun anggun. Hinggap ke dahan kepuh yang menancap di punggung tebing.
Namun, hanya di Waru kau akan bersyukur menyaksikan tubuh bukit-bukit gamping dengan monokromatik dan geometri yang tegas. Bertemu para raksasa batu mengingatkan kita bahwa manusia adalah makhluk kerdil, gentar di hadapan kontur bumi yang mirip punggung Godzilla. Di sini, udara kian berat. Aku merapatkan jaket.
Dahulu, di awal abad ke-10, konon wilayah Madura masih berupa tonjolan-tonjolan karang di permukaan air. Ketika laut susut, kita akan paham bawah pucuk-pucuk cadas tersebut adalah puncak bukit. Itulah mengapa, ada yang bilang, nama Madura berasal dari kata lemah dhura yang berarti ‘tanah niskala’. Sebab, wujud daratan itu antara ada dan tidak. Tiada yang tahu mengapa akhirnya eksistensi geologis pulau ini tak lagi dipengaruhi pasang-surut segara.
Kubayangkan, jalan yang kususuri dulunya menjadi dasar laut yang kian dalam bila permukaan air ditarik gravitasi bulan. Aku lupa bagaimana hawa lautan. Tapi, saat Waru telah menjelma dataran tinggi, tentu terjadi transformasi drastis temperatur hangat pesisir ke suhu sejuk perbukitan.
Ketika jalan menurun, suhu udara naik. Di Pasean, Iko membelokkan kemudi ke barat, menuju Sampang. Sisi kanan telah berubah pantai, sedangkan di kiri jalan sering kami jumpai deretan batuan karst yang rompal dicungkil tambang. Seorang klerus cum aktivis Sumenep, A. Dardiri Zubairi, pernah memaparkan bahwa ekosida di Madura dioperasikan melalui strategi makan bubur. Bukit-bukit gamping digerus dalam gerak sentripetal. Eksploitasi dengan modus demikian kelak mendorong pulau ini mengalami kekeringan di wilayah pinggir, lalu menjalar ke pusat.
Barisan bukit kapur di Madura sesungguhnya merupakan perpanjangan gunung gamping Jawa sebelum bagian barat dan selatan tanah ini dipatahkan gempa. Lindu tersebut dikabarkan Nagarakretagama. Adikarya Prapanca itu tidak menyebut tahun berapa goncangan terjadi. Tentu, berita gempa ala Nagarakretagama tidak akan dipercaya jika kita meyakini teori tentang dataran rendah Madura yang berubah selat pascaperiode glasial. Itulah mengapa, kedalaman selat Madura kurang dari seratus meter.
Apa pun itu, yang jelas, forsir atas batu karst sama dengan merusak waduk rubanah yang ditatah alam. Bila gunung-bukit kapur hancur, bumi tak lagi sanggup membendung air. Tragedi kematian mata air menjadi sirine bahwa kiamat akan digelar.
Kiamat memang pernah dialami leluhur orang Madura, tetapi bukan di tanah ini, melainkan di negeri asal mereka. Empat ribu tahun yang lalu, ketika imperium Tiongkok memperluas teritori, bangsa-bangsa di semenanjung Indocina bergerak ke selatan, hijrah ke pulau-pulau di Nusantara. Beberapa di antaranya mendarat di Madura dan menjadi moyang orang-orang Pulau Garam. Spekulasi semacam ini pernah dijabarkan Mien A. Rifai dalam Lintasan Sejarah Madura (1993) yang tentu saja bisa memiliki selisih waktu dengan catatan metahistoris. Anakronisme tersebut dapat terjadi karena perbedaan kalender antara kronik modern dengan tarikh kebudayaan lama; juga dengan narasi legenda yang berputar dalam waktu obskur.
Dari situlah arah utara disimpan sebagai memori kolektif orang Madura tentang masa lalu yang kelam. Pengalaman arketipal ini memengaruhi tradisi fengshui mereka yang percaya bahwa selatan adalah kiblat prospektif. Rumah yang memunggungi utara berarti siap menyambut masa depan cerah yang memancar dari selatan.
Ditegakkan untuk Ditinggalkan
Namun, perjalanan kami justru melawat masa lalu yang dianggap gelap itu. Dan ketika sampai di Sokobanah, kami harus menuntaskan jarak 33 kilometer lagi. Rumah-rumah terlihat mulai renggang. Celah tersebut membiarkan suara debur ombak lautan menyusup ke telinga. Sementara itu, angin muson yang mengembuskan musim timur cukup meringankan tubuh dari beban panas surya.
Di Sokobanah, zaman terasa berhenti. Jalur utara memang lebih sepi kendaraan karena rute selatanlah yang menjadi jalan provinsi Madura–Jawa. Namun, kesunyian di utara terkesan seperti disebabkan oleh jejak mereka yang merantau ke tanah jiran. Madura utara memang dikenal sebagai daerah dengan tradisi rantau yang tinggi. Rumah-rumah ditegakkan hanya untuk ditinggalkan; monumen megah sebagai simbol dari kerja keras di negeri seberang. Rumah-rumah itu kadang cuma dihuni kaum lansia dan anak-anak; kadang tikus, kampret, dan burung-burung yang menitipkan sarang.
Ironi yang menyelubungi pikiranku sepanjang jalan itu sirna saat kami melewati jembatan yang merintangi Sungai Nipah, lalu belok kanan. Pohon-pohon nipah berjejer di tepi sungai berkulit hijau dengan tekstur rata. Dari celah pokok-pokok palma kulihat perahu-perahu besar berlambung putih ditambatkan. Di geladak perahu, sejumlah nelayan yang tak melaut tampak memeriksa mesin, jala, dan perkakas. Ekosistem Sungai Nipah setenang lanskap negeri dongeng.
Ketenangan itu pecah saat azan Zuhur berkumandang. Kami telah memarkir motor di salah satu halaman rumah warga yang mendadak jadi lahan parkir. Permukiman di Desa Batioh tak seriuh kampung-kampung nelayan pada umumnya. Beberapa monyet makaka berlalu lalang di pekarangan, memanjat pohon, dan seekor pejantan bertengger di bubungan, memindai kemahaluasan cakrawala.
Di mulut kampung, kami berpapasan dengan papan bertuliskan “Selamat Datang di Pantai Hutan Kera Nepa”. Di belakangnya, buih ombak susul-menyusul dari kaki langit yang membelah laut dan angkasa, membuat gradasi biru dengan warna lebih pekat di bawah dan lebih pucat di atas. Seekor dara laut melayang-layang dan mematuk ikan di permukaan air yang tak tenang.
Warung-warung dengan bentuk dan cat hijau yang seragam berbaris rapi di tepi pantai. Kami menyusuri deretan kedai. Hari itu memang bukan waktu libur. Hanya segelintir warung yang buka dan satu-dua warga nongkrong di sekitarnya.
Akan tetapi, aku juga tak yakin objek wisata itu bakal ramai di hari libur. Sebab, ketika memasuki gerbang hutan yang telah usang, sebuah gazebo terlihat suwung dan kotor, seperti tak pernah digunakan. Di Madura, kita akan sering menjumpai tempat-tempat wisata yang telantar karena sudah tidak dikunjungi lagi.
(Bersambung)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Royyan Julian adalah penulis esai, fiksi, dan puisi. Saat ini bergiat di Universitas Madura dan sejumlah komunitas kebudayaan.