Udara dingin Sukanagara, Cianjur Selatan, Jawa Barat, menyelimuti tubuh saat saya mulai mengayuh pedal mountain bike dari Doneng Sanua, losmen tempat saya menginap selama di Sukanagara. Bermodal semangat ‘45, saya melaju melewati jalanan di tengah-tengah perkebunan teh yang berkabut dan lengang. Hanya berteman deru angin pagi, kicauan burung liar, dan sesekali bunyi jangkrik yang bersembunyi di rerumputan pinggiran jalan, serta suara roda sepeda yang bergesekan dengan aspal.
Tujuan saya adalah Pantai Apra, Sindangbarang. Jarak yang harus saya tempuh pagi itu untuk sampai ke Pantai Apra sekitar 65,7 kilometer. Medannya lumayan menantang lantaran sebagian rute yang harus saya lewati adalah jalan pegunungan yang berkelok-kelok yang dihiasi banyak tanjakan dan turunan tajam. Tentu saja, tanjakan akan memaksa otot kaki dan paha bekerja lebih keras sementara turunan menuntut saya untuk lebih berhati-hati dan waspada.

Kali Ini Lebih Percaya Diri
Sebenarnya, tahun 2023 lalu, saya sudah berupaya melakukan solo ride ke Pantai Apra. Cuma, waktu itu saya salah membawa sepeda. Kala itu, saya sempat nekat menggunakan sepeda lipat ukuran 16 inci, single gear, dengan kombinasi gear set 44T chainring depan dan sprocket 16T. Setelah mencoba melaju dan terengah-engah dari Sukanagara hingga perbatasan Pagelaran, saya pun tidak pede (percaya diri) untuk melanjutkan perjalanan. Akhirnya, saya balik lagi ke Sukanagara dan kunjungan ke Pantai Apra pun batal waktu itu.
Nah, Selasa pagi bulan lalu (1/4/2025), dengan menunggang MTB ber-gear set 38T–28T untuk chainring depan dan sprocket 13T–32T, saya merasa jauh lebih pede menuju Pantai Apra. Pantai ini memang tidak sepopuler Pelabuhan Ratu atau Pangandaran. Namun, justru inilah yang membuat saya penasaran untuk keukeuh menyambanginya.
Setelah menanjak asoy merayapi jalur tanjakan Sukarame yang dikelilingi perkebunan teh, saya melahap turunan demi turunan hingga Pagelaran dan akhirnya sampai di kawasan Tanggeung. Di Tanggeung, persisnya di daerah Leuwi Lutung, saya bertemu sejumlah pesepeda yang hendak menuju Pagelaran. Kami pun saling sapa. Mengetahui saya hendak menuju Pantai Apra, salah seorang dari rombongan pesepeda itu menyemangati saya. “Semangat, Kang. Dari sini, sekitar 30-an kilometer lagi,” katanya. Tapi, ia menambahkan, jalannya rolling. “Siap-siap tenaga untuk nanjak,” lanjutnya.
Dan memang betul. Setelah Leuwi Lutung, saya dihadapkan sejumlah tanjakan yang lumayan menguras tenaga dan kesabaran. Kilometer demi kilometer saya lalui. Napas terkadang mulai berat dan kaki terasa semakin kaku saat harus melaju di tanjakan dan melahap tikungan. Namun, setiap tanjakan dan tikungan yang saya lewati menghadirkan pemandangan yang memesona: hamparan persawahan nan elok, sungai yang mengalir tenang, dan bukit-bukit hijau yang anggun terlihat dari kejauhan.

Masuk Pantai Apra Gratis
Setelah total 4,5 jam mengayuh pedal, akhirnya saya sampai di Pantai Apra. Langit cerah kebiruan membentang luas di atas kepala, sementara ombak besar berkejaran menuju pantai. Saya turun dari sepeda, menarik napas dalam-dalam, dan tersenyum lega. Ini adalah momen yang sejak lama saya tunggu-tunggu: berada kembali di bibir pantai Laut Selatan.
Pantai Apra berada tak jauh dari Alun-alun Sindangbarang, sekitar 500 meter jaraknya. Tidak seperti beberapa pantai lain di pesisir selatan Jawa Barat, menurut saya, pantai ini relatif lebih sepi. Tidak overcrowded, seperti—katakanlah—Pangandaran. Tidak ada wisatawan yang berdesakan. Pasir hitam terlihat membentang luas, suara ombak terus bergemuruh.
Ada hal menarik yang saya temui di sini. Saat saya hendak memasuki kawasan Pantai Apra dan membayar retribusi ke petugas, saya justru langsung dipersilakan masuk tanpa harus membayar sepeser pun.
“Mangga lebet, we. Sapedah sareng anu mampah mah teu kedah mayar (Silakan masuk saja. Sepeda dan pejalan kaki tidak perlu bayar),” kata seorang petugas, dengan tanda pengenal tergantung di dadanya.

Sementara itu, saya melihat pengunjung dengan mobil dan motor ditarik ongkos masuk. Terus terang, ini kebijakan yang bagus dan bisa dicontoh oleh pengelola tempat wisata lain. Saya pikir, seharusnya lebih banyak destinasi wisata di negeri ini yang menerapkan hal serupa sebagai bentuk dukungan terhadap wisata ramah lingkungan.
Saya pun melenggang menuju bibir pantai. Ombak terlihat lumayan besar, sesuai dengan karakteristik pantai selatan yang dipengaruhi oleh arus kuat Samudra Hindia. Tampak ada beberapa plang peringatan tentang larangan berenang.
Di tepi pantai, sejumlah dipan untuk bersantai disewakan dengan harga Rp10.000 per dua jam. Angin laut menerpa wajah saya, membawa aroma khas. Rasanya begitu damai, seolah semua kepenatan perjalanan seusai merayapi jalan yang naik-turun menguap begitu saja.
Saya merasakan ihwal bagaimana suara ombak bisa begitu menenangkan. Ada penelitian memang yang menyebutkan bahwa suara alami, seperti ombak dan desir angin, mampu membantu menurunkan stres dan meningkatkan kesehatan mental. Mungkin itulah sebabnya saya merasa begitu rileks berada di pinggir pantai hari itu.
Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada menikmati tempat yang relatif masih alami dan belum terlalu tersentuh pariwisata massal. Tanpa keberadaan banyak wisatawan, saya benar-benar bisa merasakan ketenangan yang boleh jadi sulit ditemukan di tempat-tempat wisata populer.


Bergegas Pulang
Ingin rasanya berlama-lama berada di Pantai Apra hingga senja menjelang dan sang surya tenggelam ke peraduannya. Namun, saya harus kembali lagi ke Sukanagara. Perjalanan pulang toh tidak kalah berat. Saya harus melahap sejumlah tanjakan panjang dan terjal mulai dari Tanggeung hingga perbatasan Sukanagara. Belum lagi jika hujan dan cuaca buruk, mengingat di beberapa titik, di sepanjang jalur Sindangbarang-Sukanagara, terdapat kawasan rawan longsor dan pohon tumbang.
Maka, saat matahari mulai kian condong ke arah barat, saya sadar bahwa ini adalah saat yang tepat untuk kembali Sukanagara. Saya mengambil sepeda MTB saya yang telah menjadi teman setia dalam perjalanan ke Pantai Apra hari itu.
Saya memandang ke arah laut untuk terakhir kalinya sebelum pergi. Ia seolah berbisik, “Kembalilah kapan saja.”
Saya mulai mengayuh pedal perlahan. Jalanan panjang terbentang di depan menanti untuk kembali saya rayapi.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Keren banget ulasan dan perjalanannya, semoga selalu sehat dan diikuti banyak khalayak yang sama-sama ramah dan cinta lingkungan