Laskar Pelangi, lekat dengan Belitung. Lekat dengan SD Muhammadiyah Gantong atau yang kita sebut sebagai SD Laskar Pelangi.

Ada beberapa moda dan jalur transportasi menuju ke sini jika menyambanginya dari Pulau Bangka. Jalur laut dan jalur udara. Jalur laut terbagi dua, melalui Pelabuhan Pangkal Balam,  Pangkal Pinang; dan Pelabuhan Tanjung Sadai di Tukak Sadai, Toboali, Bangka Selatan. Sementara jalur udara, kita bisa melalui Bandara Depati Amir dengan rute ke Bandara Internasional H.A.S. Hanandjoeddin.

Dan dari beberapa pilihan itu, saya memilih jalur paling minim bujet dan paling ujung di selatan. Meski paling lama waktu tempuhnya, namun cukup menyenangkan dan menenangkan. Pelabuhan Tanjung Sadai menyambut kedatangan saya, sebuah pelabuhan yang menghubungkan beberapa wilayah di sekitarnya; Pulau Lepar dan Pulau Pongok. 

Setelah turun dari bus angkutan saya langsung menuju pos penjualan tiket. Saat itu Februari 2020, pelabuhan tampak ramai dominan masyarakat lokal dan masyarakat pulau yang tengah menunggu kapal. Harga tiket kapal penyeberangan dari Pelabuhan Tanjung Sadai menuju Pelabuhan Tanjung Rhu di Belitung yakni Rp95.000,00 untuk dewasa dan Rp65.000,00 untuk anak-anak.

Gapura Pelabuhan Tanjung Rhu/Raja Syeh Anugrah

Kurang lebih sedari saya turun hingga menantikan kapal merapat, berkisar 2-3 jam. Diinformasikan kapal akan merapat pukul 17.00 WIB. Kapal hanya melayani penyeberangan untuk jalur Bangka–Belitung dua kali dalam satu pekan, begitu juga sebaliknya. Hal ini karena waktu tempuh yang lumayan, 10-12 jam dengan jarak 82 mil.

Jenis kapal yang disediakan ASDP yakni KMP Gorare berukuran 236 GT, dapat memuat sebanyak 80 orang dan 14 kendaraan. Selain itu, Pelabuhan Tanjung Sadai pun kabarnya tengah dalam pembangunan dan digadang-gadang akan menjadi poros maritim Bangka Selatan karena akses yang dekat dengan perlintasan Singapura dan Jakarta.

Kapal feri roro di Pelabuhan Tanjung Sadai/Raja Syeh Anugrah

Menjelang semburat senja di ufuk barat tenggelam, saya bersama penumpang lain telah menaiki kapal. Mobil-mobil mulai termuat dan beberapa di antaranya menyusun barang bawaan. Dalam perjalanan itu, saya secara tak sengaja berjumpa dengan jamaah tablig. Mereka bilang, setelah dari Belitung akan bertolak menuju Pontianak, Kalimantan Barat.

Selain ruang istirahat dengan jejeran bangku, tersedia pula toilet, kafetaria, dan musala kecil untuk penumpang. Atap kapal juga ikut berfungsi sebagai tempat melaksanakan ibadah salat dan beristirahat. Namun tetap diingatkan oleh nahkoda agar tetap berhati-hati. Juga bersiaga dengan kemungkinan cuaca dan gelombang ombak yang cukup tinggi.

Selama 10-12 jam saya dan penumpang lain terombang-ambing gelombang. Kemudian pagi hari, kapal KMP Gorare baru bersandar di Pelabuhan Tanjung Rhu, Belitung. Tanjung Rhu hadir dalam keadaan sunyi. Tiada orang-orang berjualan. Sepintas saya mengira pelabuhan ini pasti pelabuhan kecil sebab angkutan lokal menuju Tanjung Pandan atau Manggar di Belitung Timur tidak tampak.

Di tengah kebingungan akan kondisi. Salah satu jamaah tablig yang telah menjadi kawan perjalanan saya selama di kapal menawarkan untuk menumpang mobil milik komunitasnya. Saya mengiyakan. Bersamanya, kami bertolak menuju Sijuk, tak jauh dari Tanjung Pandan. 

Beberapa waktu saya merehatkan badan, berkenalan dan bertegur sapa dengan saudara baru di jamaah tablig. Tak lama setelah itu hujan mulai reda, salah satu orang yang dituakan dan kenalan dari paman kawan saya siap mengantarkan ke Belitung Timur tempat SD Muhammadiyah Gantong atau SD Laskar Pelangi berada.

Perjalanan ke SD Laskar Pelangi

Saya takjub ketika sampai di negeri impian yang belakangan hanya dapat dinikmati lewat trilogi novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, penulis asal Belitung yang membangun Rumah Kata di sana. Buku ini menjadi novel fenomenal yang digandrungi banyak kalangan terutama remaja dan pendidik sebab bermuatan edukasi, lalu diangkat ke layar lebar yang disutradarai oleh Riri Riza (2008).

Bayangan saya, SD Muhammadiyah Gantong atau SD Laskar Pelangi berada dekat pesisir pantai. Namun seketika imajinasi saya buyar ketika tiba di sana. SD Muhammadiyah Gantong ternyata tidak dekat dengan pantai, melainkan dikelilingi oleh beberapa desa. 

Belitung Timur sesudah hujan menyisakan udara lembab dan bau tanah yang mengandung timah. Dari parkir tempat saya diturunkan oleh paman—yang saya sapa ustad itu—saya melangkah menuju SD Muhammadiyah Gantong. Sebelum masuk, saya terlebih dahulu membayar tiket sebesar Rp5.000,00 ke penjaga.

Melangkah ke dalam, kontur tanah perlintasan berganti pasir pantai khas Belitung. Saat itu saya melihat beberapa wisatawan yang saat ditanyai berasal dari Jakarta. Tak jauh dari sana, di sudut ada pondokan yang tengah diduduki oleh empat anak kecil yang di sekujur badan dan wajahnya terdapat coretan putih kapur.

Perlahan saya menghampiri empat anak tersebut. Pikiran saya sekelebat terbawa kembali ke trilogi novel Laskar Pelangi yang sudah saya tamatkan dan filmnya yang sudah acap kali ditonton; Arai, Ikal, Mahar, dan Lintang. Keempat tokoh yang saya kagumi, untuk kemudian menjelma anak-anak yang memelototi saya sepanjang menuju ke pondokan.

Di depan SD Muhammadiyah Gantong/Raja Syeh Anugrah

SD Muhammadiyah Gantong terletak di Desa Lenggang, Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. SD Muhammadiyah Gantong yang kini saya sambangi berstatus sebagai replika SD Laskar Pelangi. Bentuknya sangat mirip dengan bangunan asli yang ada di dalam film. Konon bangunan yang dijadikan sebagai representasi sekolah Andrea Hirata menimba ilmu itu sudah lama roboh. Dan sejak tahun 2010, bangunan ini tegak kembali secara kukuh dengan dua batang pohon khas yang menopang dinding sekolahnya untuk dijadikan kebutuhan pariwisata.

Menyaksikan bangunan sederhana di hadapan mata, saya kembali berimajinasi mengenai kisah Ikal, Arai, Mahar, Lintang dan teman-temannya menimba ilmu di SD yang diragukan kelayakannya. Dengan dedikasi tinggi Ibu guru Muslimah dan Pak Arfan beserta cerita Nabi Nuh-nya, SD yang dikatakan mirip kandang sapi itu menjelma ruang pengabdian atas cerminan sikap teladan pengajarnya.

Meski SD Muhammadiyah Gantong sekadar replika SD Laskar Pelangi, SD Muhammadiyah Gantong tetaplah mengundang decak kagum sebab tampil beda dengan mengedepankan nilai edukasi di era ketika pariwisata menggeliat. 

Adapun yang membuat daya tarik ialah ruang kelas yang digunakan Ikal, Arai, Mahar, Lintang dan teman-temannya dengan tampilan sederhana. Terlihat dari lantai kelas yang masih tanah. Bangku dan meja lusuh, sebuah lemari, papan tulis dan gambar Hamengkubuwono serta Cut Nyak Dien di dinding kayunya.

Kendati demikian wisatawan tak perlu khawatir. Sebab di dalam kawasan SD Laskar Pelangi terdapat musala, parkir yang luas, kamar mandi dan toilet, kedai dan warung makan, galeri lukis Laskar Pelangi dan juga toko cinderamata. Maka dengan begitu wisatawan akan nyaman berlama-lama menikmati seluk-beluk replika Laskar Pelangi ini.

Tak lupa sebelum beranjak, saya mengabadikan momen bersama adik-adik di SD Laskar Pelangi dalam sebentuk foto dan video. Foto dan video ini kemudian saya arsipkan sebagai kenang-kenangan. 

Di sebuah papan yang digantung pada tiang bangunan tertulis saya membaca, “Bermimpilah tentang apa yang kamu impikan.” Tertanggal 27 November 2010 di Linggang Gantung, Belitung Timur.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar