Danau Tanralili terkenal sebagai Ranu Kumbolo-nya Sulawesi, berada di atas pegunungan dengan ketinggian 1.454 mdpl di Kabupaten Gowa. Letaknya di kaki gunung Bawakaraeng, menjadi gunung tertinggi kedua di Sulawesi Selatan setelah Latimojong.

Dari Makassar ke Gowa kami—bertigabelas orang—menempuh perjalanan selama 4 jam dengan mengendarai motor.

“Kita ngopi dulu kali ya?” ucap Daniel yang menjadi leader kami, sebab ini kali kedua dia ke sana.

“Saya lapar, makan mi dulu tidak apa-apa kan?” Ballo berkomentar, dia hobi lapar tapi badannya tetap saja kurus.

“Kakak tidak makan?” Adri  menawari saya makan.

“Tidak, saya kopi aja.”

“Saya pesan mi goreng dua bungkus, satu tidak mempan.” Adri menyaut ke ibu penjual, sementara itu kami tertawa mendengarnya.

Danau Tanralili

Kami tiba di sana malam hari, sebab baru sore kami beranjak untuk memulai perjalanan. Harga tiket masuk Danau Tanralili sebesar Rp5.000/orang. Sebelum mendaki ke danau, penjaga pos mengingatkan peraturan yang harus kami taati. Di antaranya, membawa kembali sampah saat pulang, tidak membuat api unggun untuk menghindari pemicu kebakaran, dan tentu saja tidak mandi di danau.

Daniel sebagai leader mengumpulkan kami. Doa bersama menjadi pembuka pendakian. Tak butuh waktu lama untuk kami tiba di muka Pos 1—Lembah Penyesalan. Jalur pendakian selanjutnya tajam penuh dengan bebatuan, jika terpeleset sedikit saja bisa jatuh. Pun, jika kurang hati-hati melangkah, batu yang dipijak bisa tergelinding ke bawah menimpa teman yang ada di belakang.

Sebelum menjajal jalur tersebut, kami putuskan istirahat sejenak karena nafas makin santer terdengar ngos-ngosan. Meski bukan pendaki profesional, kami bisa melewati Lembah Penyesalan tanpa menyesal.

Semakin jauh berjalan, rasanya kami semakin dekat dengan bintang. Walau tetap saja bintang-bintang tersebut sangat jauh, jaraknya jutaan tahun cahaya, tidak bisa begitu saja dipetik untuk dibawah pulang. Mungkin ini tanda bahwa semakin jauh kita berjalan maka semakin banyak hal indah yang kita dapatkan? Entahlah. Tapi saya yakin tawa teman-teman perjalanan saya yang diselingi helaan napas mampu mengukir kilau bintang di ujung kepala kami.

Cahaya dari nyala senter dan ponsel memandu perjalanan malam kami. Dalam pandangan yang serba terbatas kami harus merunduk. Makin tak banyak yang bisa kami lihat di depan. Beberapa saat kemudian, kami memutuskan untuk istirahat di bawah sebuah air terjun yang debit airnya tak besar. Suara gemuruhnya menyenangkan, memecah kesunyian malam itu.

“Wouuu! Airnya segar sekali!” Ballo berulah. Ia meneguk sedikit air dari sana, sambil mendongak ke atas. Seakan-akan ingin berubah jadi serigala seperti yang ada pada sinetron Ganteng-ganteng Serigala. Dan lagi, kami berhasil tertawa dengan ulahnya.

Setelah tiga jam lebih kami berjalan, suara gemuruh air semakin terdengar jelas. Menjadi tanda bahwa Danau Tanralili ada di depan mata. Begitu tiba, kami segera mencari tempat untuk mendirikan tenda lalu duduk-duduk di sana sembari menikmati angin malam. Kami terhanyut bercengkrama dengan bintang, menyelam dalam pelukan angin. Sedangkan saya, memutuskan untuk menyeduh kopi saja.

Beberapa saat kemudian, tas carrier kami bongkar. Tiga buah tenda untuk 13 orang kami keluarkan. Dua tenda ditempati oleh empat perempuan, sisanya diisi sembilan laki-laki. Bisa terbayang, di dalam tenda kami terbaring berhimpitan, muka saling berdempetan. Sewaktu-waktu mengubah posisi tidur dengan arah berlawanan dengan teman di samping kita, maka saat itu pula kami berhasil berciuman. Keadaan yang serba salah. Bahkan untuk sekedar meluruskan kaki saja tak bisa karena akan menyepak kepala teman yang juga berbaring di bawah kaki. Macam ikan teri sedang dijemur saja.

***

Daniel bangun paling cepat, dia teriak-teriak di luar tenda membangunkan para kawan perempuan supaya segera memasak. Pas saya keluar tenda, tampak lembah yang kami pijaki melingkar mengelilingi danau dengan air bening dan bayang langit membiru terapit gunung.  Inilah yang saya nanti beberapa jam sebelumnya, saling menatap dengan Danau Tanralili.

Danau Tanralili

Pagi itu cerah pagi terpantul di permukaan danau, memperlihatkan jejeran tenda di tepi berwarna-warni, pelangi pun hinggap di sini.

Aliran danau saya salami dengan jemari dengan membasuh wajah. Ternyata, airnya sangat dingin. Meski begitu, menyegarkan!

Mentari pagi lalu berlomba dengan angin membelai tubuh ini. Saya pun menyambut mereka dengan bercermin di permukaan danau. 

Desiran angin ku ajak berbicara, “Apakah Danau Tanralili diciptakan Tuhan sewaktu Ia sedang tersenyum?” Namun, tak ada jawaban, yang ada hanya ombak kecil Danau Tanralili mencumbui pandanganku.

Menu makan kami pagi itu ada telur goreng, nugget goreng, sayur kol dan wortel, sosis dan bakso goreng saus kecap. Kami makan bersama dengan lahap setelah semua pasukan bangun. Tak lupa suasana desak-desakan di tenda laki-laki kami keluhkan, hal itu mampu membuat kami menganga tertawa dengan mulut penuh makanan.

usai makan, yang lain sibuk mengekspresikan diri, saya sibuk memanjakan mata dengan menyendiri terduduk di atas batu. Di tepi Danau Tanralili saya mengucap kata rindu. Keindahan Tanralili menghadirkan ingatan orang-orang terdekat. Berharap suatu saat nanti bisa menyaksikan apa yang saya lihat pagi itu, bersama mereka.

Mungkin ini alasannya kenapa ketika mendapati hal-hal menyenangkan, selalu mengingatkan kita pada orang tersayang seperti keluarga, teman, atau pasangan. Saya pun membayangkan bisa duduk bersama orang terdekat menyeruput kopi menyaksikan tarian mungil ombak Tanralili. Lalu bercerita tentang masa depan, kehidupan, dan kematian; atau sekedar bertanya pada pasangan bahwa “Apakah cinta kita mampu dipisahkan oleh kematian?”

***

Sore tiba, meski belum menuntaskan segala hasrat di sini, namun jadwal pulang sudah ditentukan. Tenda kami bongkar, barang juga kami kemas. Kami benar-benar siap untuk kembali. Pemandangan ketika berangkat yang kami lewatkan karena malam, menampakkan dirinya sewaktu jalan pulang. 

“Ternyata kita berjalan di pinggir tebing Bro!” Mereka tertawa mendengar keluhan saya. Mereka tau saya takut pada ketinggian. Berjalan di pinggir tebing curam cukup buat lutut ini gemetaran.

Sore menyembunyikan matahari. Kini, yang tampak hanya sinarnya menembus awan. Memperlihatkan aliran hulu sungai Jeneberang yang menghidupi banyak Kabupaten di Sulawesi Selatan.  Pegunungan meruncing mengelilingi kami berjalan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar