PHOTO ESSAY

Damai di Puncak Ciremai

Sekadar sensasi atau punya pesan khusus, sejumlah pendaki memanfaatkan momen 17 Agustus untuk mengibarkan bendera One Piece di puncak Gunung Ciremai.

Teks & foto: Mochamad Rona Anggie


Damai di Puncak Ciremai
Bendera bajak laut One Piece menyelubungi carrier seorang pendaki yang baru turun gunung (15/8/2025)

Menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia, simbol khas anime One Piece berlatar hitam jadi sorotan. Sebagian masyarakat menganggapnya lambang perlawanan. Aparat sibuk merazia, mengantisipasi Jolly Roger mengudara luas.  

Tak disangka, ketika mendaki gunung tertinggi di Jawa Barat, 15 Agustus 2025, saya dapati pendaki membawa panji tengkorak bertopi. Salah satunya saat melangkah turun dari Pos 1 Cigowong.  

“Sudah muncak?”

“Sudah, Pak,” katanya dengan senyum mengembang, sementara bendera One Piece melambai di belakang carrier-nya.Saya tak mau kehilangan momen dan segera memotret. Si pendaki memalingkan wajah, lantas menjauh. Saya kembali berjalan. Tersisa sepuluh menit untuk sampai Cigowong. Ditempuh 1,5 jam dari titik awal pendakian basecamp Cadas Poleng, Palutungan.

Hari Kemerdekaan versi Sutan Sjahrir

Perjalanan ke Ciremai kemarin, saya didampingi dua anak lanang: Rean Carstensz Langie (15) dan Muhammad (10). Ini pendakian kelima mereka menggapai atap Jawa Barat yang memiliki ketinggian 3.078 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Sengaja saya pilih naik 15 Agustus, ingin tiba di puncak 16 Agustus. Saya mau merayakan kemerdekaan sebagaimana yang dikumandangkan pengikut Sutan Sjahrir di Alun-alun Kejaksan, Kota Cirebon, dua hari sebelum teks Proklamasi dibacakan Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta.

Damai di Puncak Ciremai
Cuaca cerah menyambut saya dan anak-anak saat menjejak puncak Ciremai, 16 Agustus 2025

Tambah lagi, menghindari antrean menuju puncak, jika nanjak tanggal 16 Agustus. Sebab, di hari itu pendaki berduyun datang, mengejar target ikut upacara bendera 17 Agustus. Saya tahu situasinya, karena rutin memeriahkan tujuh belasan di puncak Ciremai sejak masa sekolah era 2000-an.  

Kalau sekarang, saya enggan terjebak kemacetan di jalur pendakian. Sekaligus ingin mengenang keping sejarah, bahwa pada 15 Agustus 1945, “proklamasi” versi Sjahrir sudah membahana di Cirebon. Dokter Sudarsono—ayah mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono—termasuk yang menghadiri upacara kemerdekaan di alun-alun dekat Balai Kota Cirebon.  

Damai di Puncak Ciremai
Api mengusir dingin depan shelter Pos 6

Ramai Pendaki Tektok

Saya dan anak-anak tiba di puncak pukul 08.30. Kami berjalan tiga jam dari tempat berkemah di Pos 5 Tanjakan Asoy. Start selepas salat Subuh dan sarapan sup bakso.

Di Pos 6 Pasanggrahan, petugas siaga memantau pergerakan pendaki. Info dari salah satu ranger, Aep, pendaki tektok mendominasi. “Dari tadi malam (15/8/2025) ada sekitar seratus (orang) yang tektok,” katanya sambil merapatkan tubuh ke api unggun.

Sementara pendaki yang buka tenda di Pos 5 dan 6, tidak sampai 50 orang. “Kalau yang bawa perbekalan nginap, pakai carrier besar, ramai di tanggal 16 (Agustus),” sebutnya.  

Dalam perjalanan menuju Pos 7 dan 8, kami kerap jumpa pendaki tektok. Kisaran usianya 15–25 tahun. Mereka naik pukul 23.00 atau dini hari. Berbekal hydrobag serta makanan ringan. “Kami sedia cokelat dan sosis,” ujar salah seorang pendaki tektok asal Cirebon yang naik bareng satu teman lelaki dan dua wanita. Pendaki perempuan itu tampak lunglai menahan kantuk, tapi terus disemangati rekannya. 

Area Pos 7 Sanghyang Ropoh adalah batas vegetasi. Menuju Pos 8 Simpang Apuy, pijakan berganti bebatuan ukuran kecil hingga jumbo. Susah payah pendaki menapakinya, sebab jalur kian terjal dengan kemiringan 45–60 derajat.

Pagi itu mentari antusias bertugas. Sinar hangatnya disambut suka cita pendaki yang kedinginan seiring ketinggian bertambah. Pemandangan cerah, lautan awan memesona, bak karpet putih mahaluas. Langit biru memayungi perbukitan hijau. Di ujung cakrawala tampak puncak lancip sebuah gunung. “Itu Cikuray,” teriak saya ke Rean dan Muhammad. “Ada di Garut.” 

Yang saya salut—dan memang begini zamannya—walau lelah mendera, pendaki putri tak lupa berias. Saya temui salah satunya di atas Simpang Apuy. Gadis itu asyik berkaca dan berbedak disaksikan edelweis yang bermekaran. Begitu saya memotretnya, dia tersipu malu, lalu kawannya terpingkal.

Keceriaan Jelang Puncak

Pos 9 Goa Walet ke puncak merupakan ujian pamungkas. Garis finis tersisa 280 meter, tapi tak mudah menjangkaunya. Medan bebatuan menuntut mental baja. Tenaga mulai habis, kalau menyerah, selesai. Tak ada cerita tentang puncak.

Di salah satu tanjakan, tali webbing terjuntai, membantu pendaki melintasinya. Rimbun cantigi menambah kelembapan, tapi sorot mentari memberi harapan. Cuaca mendukung. Keceriaan jelang puncak jadi hiburan penyuplai energi. 

Pendaki muda-tua, saling menyemangati. “Ayo, sebentar lagi!” sahut mereka. Dan akhirnya, bibir kaldera Ciremai menyambut. Girangnya, bukan main! Saya langsung sujud syukur sambil mengecup pinggiran kawah. Sekian belas kali menapaki puncak, selalu ada gairah baru.

Dari kiri ke kanan, searah jarum jam: Pendaki memanjat batuan curam, memakai tali webing. Muhammad scrambling mendekati bibir kawah. Tiga jam melangkah dari transit camp Pos 5 Tanjakan Asoy, kami tiba di puncak pukul 08.30 WIB

Tugu Berserak

Merah Putih terbentang di ujung sana. Pendaki menyemut di pelataran yang disesaki deretan tugu. Dwi warna terikat di tiang yang dibawa tim ekspedisi Brimob Polda Jabar (8/8/2025). Sehari kemudian, Kapolda Jabar Irjen Pol Rudi Setiawan dan jajaran melakukan upacara pengibaran bendera. Rombongan meresmikan pula selter “Pesat Gatra 93” di Pos 3 Paguyangan Badak. Pondokan ini jadi posko medis selama giat pendakian 17-an.

Rupanya ada fenomena baru di puncak. Jika sebelumnya tugu triangulasi hanya satu (diresmikan Pj. Bupati Kuningan Iip Hidajat pada 2024), kemarin muncul tugu Bhayangkara dan ST Burhanudin (Jaksa Agung). Sementara prasasti tahun 2016—yang menggoreskan nama Kepala TNGC, Bupati Kuningan dan Majalengka masa itu—retak dan kusam di permukaan.

  • Damai di Puncak Ciremai
  • Damai di Puncak Ciremai
  • Damai di Puncak Ciremai
  • Damai di Puncak Ciremai
  • Damai di Puncak Ciremai

Saya membatin, “Kok, area puncak jadi ajang eksistensi personal dan kelompok serta donaturnya?” Entah apa alasan pengelola memudahkan pembangunannya. Bukankah kalau kebanyakan, malah ‘mengotori’ kealamian kawasan puncak? Stop, please!

Di tengah keprihatinan itu, saat sedang menikmati suasana puncak nan riuh, saya pergoki lagi pendaki hawa tengah mengoles lipstik di depan cermin mungil. Memang benar, kalau kita amati di media sosial, tampilan mereka di belantara gunung begitu kinclong. Tak ubahnya main ke mal.

Damai di Puncak Ciremai
Berlipstik agar tetap cantik saat foto di puncak

Pataka Bangsa dan One Piece Bersanding

Hal unik lainnya, saya saksikan di puncak, beberapa pendaki mengibarkan bendera One Piece. Mereka mengekspresikan “perlawanan” lewat simbol bajak laut. Kalau zaman saya nanjak dulu (tahun 2000-an), bendera Slank dan Rastafara (fans Bob Marley) kerap terkembang di puncak.

Cuaca cerah di atap Jawa Barat, mendatangkan ketenangan. Bahagia bisa muncak lagi, sekaligus melihat dua panji “berdamai”. Tentu saja, Merah Putih bukan tandingan One Piece. Ada darah dan air mata pahlawan di setiap kibaran pataka bangsa.

Damai di Puncak Ciremai
Pendaki membawa panji bajak laut ke puncak

Sejurus kemudian sayup-sayup terdengar.

Indonesia tanah air beta… Pusaka abadi nan jaya…


Foto sampul: Langit biru menaungi Sang Saka Merah Putih dan panji One Piece di titik tertinggi Jawa Barat (Mochamad Rona Anggie)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Mochamad Rona Anggie

Mochamad Rona Anggie tinggal di Kota Cirebon. Mendaki gunung sejak 2001. Tak bosan memanggul carrier. Ayah anak kembar dan tiga adiknya.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai