Selalu saya terkenang akan percakapan petani tua dan muda itu: duduk-duduk sambil minum kopi robusta—mungkin sisa hari sebelumnya—di gazebo. Mereka menggunjingkan ihwal “daun emas” yang harganya cukup tinggi. Mereka menengadah ke arah sinar matahari, yang panasnya mencapai tiga puluh satu derajat Celsius. 

Percakapan kedua petani itu: harga tembakau yang kadang naik, tapi juga kadang turun. 

Sejarah Tembakau di Madura

Dilansir dari laman berita Liputan6 (2/6/19), tembakau di Madura pertama kali diperkenalkan pada masa penjajahan Kolonial Belanda kira-kira abad ke-19. Meskipun muasal “daun emas”—begitu orang Madura menjuluki tembakau—bukan dari Madura, Pulau Garam ini dikenal sebagai salah satu penghasil tembakau berkualitas tinggi. Sejak masa itu, tembakau menjadi salah satu komoditas yang dibudidayakan secara luas oleh petani Madura, terutama di wilayah seperti Pamekasan dan Sumenep. Sebab, kedua wilayah tersebut lebih cocok untuk ditanami tembakau daripada dua kabupaten lainnya, Sampang dan Bangkalan.

Tembakau menjadi salah satu sumber penghasilan utama bagi petani di Madura, khususnya selama musim kemarau, ketika mereka sulit untuk menanam padi. Budidaya tembakau memberikan alternatif pendapatan bagi petani di luar musim tanam padi. Sebab itu, tembakau memiliki peran penting dalam perekonomian masyarakat Madura, khususnya di wilayah perdesaan.

Abad ke-20, tembakau Madura semakin berkembang, terutama setelah Indonesia merdeka. Banyak pabrik rokok dan cerutu di Jawa yang menggunakan tembakau Madura sebagai bahan baku. Tembakau Madura juga diekspor ke berbagai negara, termasuk Eropa dan Asia. Di Pamekasan, tembakau menjadi produk unggulan yang mendukung perekonomian lokal.

Cukong Cina, “Bandul”, dan Perdagangan Tembakau di Madura
Salah satu lahan perkebunan tembakau yang dikelola petani Madura/Wardedy Rosi

Dalam pengolahan lahan, petani Madura masih menggunakan cara-cara tradisional, seperti membajak sawah menggunakan cangkul biasa. Untuk petani yang memiliki modal lebih, biasanya menggunakan traktor. Kondisi tanah—sebagian besar wilayah timur Madura kering dan berkapur—membuat para petani lebih memilih menanam tembakau ketimbang padi, karena tanahnya tidak terlalu subur. Hal ini juga disetujui oleh Bernard H.M. Vlekke, sejarawan Belanda penulis buku Nusantara: Sejarah Indonesia. Varietas tembakau khas Madura disebut tembakau Madura atau sering dikenal dengan nama tembakau Pamekasan. Ciri khasnya antara lain berdaun tipis dan aromatik. 

Pemilihan bibit menjadi penentu hasil tembakau yang akan dipanen. Biasanya—atau mungkin kebanyakan—para petani tembakau di Madura memilih bibit opot dan malatè. Bagi petani yang menginginkan pohon tembakau tinggi, biasanya akan memilih bibit opot. Jika ingin daun lebat, bibit malatè jadi pilihan. Maka, pemilihan bibit menjadi cukup krusial bagi petani-petani Madura. 

Seiring berjalannya waktu, Madura kini menjadi pemasok tembakau terbesar di Indonesia. “Siapa yang enggak kenal tembakau Madura?” tukas petani muda kepada saya sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya. “Bahkan, ketika kamu bertamu ke rumah orang saat musim kemarau, petani tembakau akan beramah-tamah dengan membagikan tembakau hasil panennya. Itu disebut nggalih.

Sejarah tembakau di Madura mencerminkan peran betapa pentingnya daun emas itu dalam perekonomian dan budaya petani Madura. Tembakau tidak hanya menjadi sumber penghasilan, tetapi juga bagian dari identitas sosial masyarakat Madura. Meskipun tantangan zaman modern terus muncul, tembakau tetap memiliki tempat khusus dalam kehidupan masyarakat Madura sampai sekarang. 

Hubungan antara cukong-cukong etnis Cina dengan bandul (pedagang tembakau Madura) merupakan salah satu aspek penting dalam sejarah perdagangan tembakau di Indonesia, terutama pada masa kolonial dan pascakolonial. Peran cukong Cina dalam perdagangan tembakau di Madura bisa ditilik dari berbagai sudut pandang, termasuk aspek ekonomi, sosial, dan budaya.

Hubungan Bandul dengan Cukong Cina

Pada masa kolonial Belanda, cukong-cukong Cina memainkan peran penting sebagai perantara dalam perdagangan tembakau di Indonesia, khususnya Madura. “Cukong” merupakan sebutan bagi para pengusaha atau pedagang besar yang sering kali memiliki akses langsung ke pasar dan modal yang lebih besar dibanding pedagang lokal (petani). Mereka bertindak sebagai pengumpul dan distributor hasil bumi, termasuk tembakau, yang kemudian dijual ke pasar yang lebih luas. Sementara itu, bandul adalah sebutan orang-orang untuk mereka yang menjadi penghubung antara petani Madura dengan cukong Cina. 

Di Madura, cukong-cukong Cina selalu bertindak sebagai pedagang perantara antara petani tembakau lokal dengan pasar yang lebih besar, baik untuk ekspor maupun industri rokok di Jawa. Petani tembakau di Madura umumnya memiliki keterbatasan dalam hal akses pasar, modal, dan jaringan perdagangan. Oleh karena itu, cukong-cukong Cina, dengan modal yang lebih besar dan jaringan dagang yang lebih luas, menjadi penampung utama tembakau para petani dan menjualnya ke pabrik rokok besar atau pasar internasional.

Hubungan antara cukong Cina dengan petani tembakau di Madura kerap berlangsung dalam bentuk kerja sama yang saling menguntungkan, meski tidak selalu berimbang. Cukong-cukong Cina menyediakan modal awal atau ijon kepada petani tembakau. Ijon merupakan bentuk pembiayaan di mana petani menerima uang di muka sebelum musim panen. Sebagai imbalannya, mereka berjanji untuk menjual hasil panen kepada cukong dengan harga yang sudah ditentukan sebelumnya.

Model ijon sering menguntungkan cukong karena mereka bisa membeli tembakau dengan harga lebih rendah. Bagi petani, sistem ini memberikan akses ke modal yang sangat diperlukan untuk biaya budidaya tembakau. Namun, ada juga sisi negatifnya. Karena sering terikat dengan bandul, dan bandul terikat dengan cukong Cina, para petani terjebak dalam lingkaran utang yang sulit dihindari. Cukong-cukong Cina acap kali mendominasi perdagangan tembakau di Madura, khususnya Pamekasan dan Sumenep. Kontrol atas jalur distribusi dan perdagangan tembakau membuat mereka memegang kekuasaan ekonomi yang cukup signifikan. Cukong-cukong ini sering memiliki akses ke pabrik rokok besar di Jawa, seperti Surabaya, Kediri, dan Malang; pusat industri rokok di Indonesia.

Dominasi cukong-cukong Cina dalam perdagangan tembakau bukan hanya karena jaringan perdagangan mereka yang luas, melainkan juga karena keterampilan mereka dalam berbisnis. Mereka mampu mengatur distribusi tembakau dari tingkat lokal, nasional, hingga internasional; menjadikannya sebagai pemain kunci dalam industri ini.

Hubungan antara cukong-cukong Cina dengan bandul dan petani tembakau Madura juga memiliki dimensi sosial-budaya. Di satu sisi, relasi tersebut merupakan hubungan ekonomi yang saling menguntungkan. Namun, di sisi lain, terdapat dinamika sosial yang kompleks antara etnis Cina dengan masyarakat lokal Madura. Pada masa kolonial, cukong-cukong Cina sering dipandang sebagai kelas sosial yang lebih tinggi karena kekayaan dan akses mereka ke pasar. Hal tersebut menciptakan ketimpangan sosial yang tinggi. Akan tetapi, cukong-cukong Cina yang menetap di Madura menyatu dengan budaya lokal. 

Kehadiran cukong Cina dalam perdagangan tembakau memberikan dampak signifikan pada perekonomian Madura. Mereka berperan membantu petani lokal menjual hasil panen ke pasar yang lebih luas. Ini berdampak positif terhadap pendapatan petani, meskipun cukong kerap lebih diuntungkan secara finansial. Selain itu, cukong Cina juga mempekerjakan orang-orang Madura yang tidak bertani tembakau ketika musim kemarau. Bahkan, untuk dapat bekerja di penampungan atau gudang cukong Cina, seseorang harus memiliki keterampilan, seperti membuat conto sebagai sampel ke perusahaan rokok ternama yang ada di Indonesia. Jenjang karier dalam pekerjaan ini dimulai dari peran penjemur, penimbang, hingga pembuat conto. Biasanya para pembuat conto memiliki tempat khusus untuk bekerja. Waktu bekerjanya pun lebih panjang daripada pekerja-pekerja yang lain.

Cukong Cina, “Bandul”, dan Perdagangan Tembakau di Madura
Para pekerja membuat bentuk conto sebagai sampel yang akan dikirim ke pabrik-pabrik besar/Diskominfo Kabupaten Sumenep

Di sisi lain, kerugian para petani Madura tak sepenuhnya karena anjloknya harga yang dipasang cukong Cina. Ada faktor lain. Para bandul meraup keuntungan tanpa sepengetahuan para petani, yaitu dengan cara memalsukan timbangan saat hendak menimbang hasil panen. Hal ini sebenarnya sudah acap terjadi di kalangan petani “daun emas”. Tak kalah penting, monopoli cukong dalam perdagangan tembakau juga menciptakan ketergantungan ekonomi. Banyak petani Madura yang terikat sistem ijon dan sulit lepas dari cengkeraman cukong, sehingga memengaruhi kesejahteraan petani dalam jangka panjang.

Setelah Indonesia merdeka, peran cukong Cina dalam perdagangan tembakau terus berlanjut meskipun dengan perubahan tertentu. Dulu, di era Orde Baru, pemerintah Indonesia memperketat pengawasan terhadap perdagangan dan industri tembakau. Namun, cukong Cina masih tetap memainkan peran penting sebagai pedagang perantara. Saat ini, sistem perdagangan telah berubah dengan adanya perusahaan-perusahaan besar yang langsung membeli tembakau dari petani. Meski begitu, warisan sejarah hubungan antara cukong Cina dengan bandul tetap berlangsung dalam pola perniagaan dan jaringan distribusi tembakau di Madura.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar