16 September 2020. Waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi ketika kantor kampung Sawinggrai di Distrik Meos Mansar dipadati warga. Selain pemeriksaan kesehatan, hari itu Tim Ekspedisi Raja Ampat akan menggelar penyuluhan pertanian.
Para mama tampak antusias sekali mengikuti penyuluhan pertanian. Beragam pertanyaan mereka ajukan. Yang paling menarik adalah pertanyaan soal kenapa tanah di Sawinggrai tidak subur.
Pertanyaan itu dijawab oleh dua anggota tim penyuluh EcoNusa, Jemima Desi Wamna dan Utreks Hembing, dengan memberikan wawasan tentang pertanian organik kepada warga. Mereka yang semula hanya mengetahui soal ladang berpindah (sekadar tanam-dan-tinggalkan) kini mengetahui bahwa ada cara alternatif untuk bercocok tanam. Sedikit-sedikit mereka belajar mengenai tahapan-tahapan seperti pemupukan dan pengentasan hama.
Kampung Sawinggrai jadi incaran wisatawan Eropa
Menurut Kristian Sauyai, warga Sawinggrai yang juga Ketua Badan Pelaksana PERJAMPAT, kampung itu adalah salah satu incaran wisatawan Eropa. Lokasinya yang jauh dari keramaian membuat Sawinggrai pas sekali untuk bersantai. Tak tanggung-tanggung, para wisatawan bisa menginap sampai berbulan-bulan.
“Ada bule yang tiap natal selalu menginap disini, misa di gereja sama-sama orang kampung,” Kristian berkisah. “Rencananya tahun ini (mereka) mau kembali lagi untuk janji nikah di gereja kami. Sayang corona membuat dia menunda rencananya.”
Kristian sendiri memulai usaha homestay “Mandarin” tahun 2017. Awalnya, ia hanya punya dua homestay. Seiring perkembangannya, homestay itu beranak-pinak sampai menjadi lima. Unit miliknya yang berada di sebelah timur Kampung Sawinggrai adalah sumber pemasukan utamanya. Dengan penginapan itu ia menafkahi keluarga dan menyekolahkan adiknya jauh-jauh sampai ke Jawa.
Homestay tersebut langsung berhadapan dengan laut, sangat cocok untuk wisatawan yang menyukai kesunyian. Namun, karena materialnya terbuat dari kayu dan daun nipah, sekarang bangunan itu sudah mulai hancur. Di beberapa bagian atap juga tampak bolong.
“Ini hanya bertahan satu sampai dua tahun saja, itupun kalau secara rutin diperiksa; jika ada yang daun yang rusak langsung diperbaiki sedikit,” jelas Kristian.
Menengok kebun milik Mama Tabita
Pandemi membuat homestay-homestay di Sawinggrai kosong. Untuk sementara, mereka tidak punya pemasukan dari sektor pariwisata. Demi menyambung hidup, mereka mesti mencari cara lain untuk makan. Mereka kembali berkebun.
Tim Ekspedisi diajak Mama Tabita Rumbewas dan Paulina Mambrasar, cucunya, melihat kebun mereka. Dari Homestay Mandarin, mereka melangkah di jalan agak menanjak selama seperempat jam, membawa parang keranjang daun tikar pandan, lalu tiba di sebuah kebun seluas 100×80 meter. Kebun itu dikelilingi pagar kayu setinggi satu meter.
“Agar tak dimasuki babi hutan,” jelas Mama Tabita.
Tanaman di sana tidak terlalu variatif. Hanya ada kasbi, betatas, dan jagung. Mama Tabita sempat mencoba menanam cabe dan tomat, namun keduanya tidak tumbuh dengan baik. Menurut Utreks, perlu perawatan ekstra bagi kebun yang berada di tanah seperti di Sawinggrai, terlebih jika yang ditanam adalah sayuran.
Kebun itu mulai digarap kembali oleh anak-anak Mama Tabita sejak bulan Februari lalu. Sebelumnya, kebun ini sudah eksis. Namun, karena semua orang sibuk mengurus homestay dan mencari rupiah lewat pariwisata, kebun tersebut terbengkalai.
“Mama berterima kasih sama corona, karena berkat corona Mama bisa berkumpul dengan anak-anak dan cucu. Tanah yang selama ini tidak jadi apa-apa, sudah bisa jadi kebun,” senyum Mama Tabita Rumbewas mengembang.
Mama Tabita dan cucunya menggali beberapa titik di kebun itu. Sebentar saja, keranjang yang mereka bawa sudah penuh dengan kasbi dan betatas. Semua itu sudah lebih dari cukup untuk dijadikan camilan sore bagi anak-anak dan cucu-cucu yang berkumpul di rumah.
Catatan Redaksi: Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id.
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.