Bulan Juni 2024 berjalan seperti roller coaster. Juni saya habiskan dengan serangkaian situasi yang terjadi di luar kendali, hingga keputusan berani untuk merantau di daerah Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Sekitar Minggu pagi, pesawat yang membawa saya dari Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin di Kabupaten Maros menuju Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang. Dari Tangerang, saya bersama seorang kawan langsung menuju Jatinangor. Total perjalanan memakan waktu sekitar lima jam, sehingga kami baru tiba dan beristirahat sekitar siang hari.
Menyesuaikan diri di tempat baru selalu menjadi tantangan, apalagi ketika kita akan berada sana untuk waktu yang lama. Sejauh ini, Jatinangor cukup menyenangkan: suhu rata-ratanya cukup sejuk, sehingga saya tidak butuh alat pertukaran panas, seperti AC dan kipas angin di kamar. Saya pun merasa jauh lebih bugar selama di sini, sebab setiap Subuh saya selalu jogging bersama kawan baru, lalu warung makan dari berbagai kelas juga kerap menyediakan teh tawar hangat.
Kesibukan beberapa waktu beradaptasi dengan lingkungan baru menjadikan dua minggu di Jatinangor berlalu begitu cepat, hingga libur (cukup) panjang dari Sabtu ke Senin. Libur pertama sejak pindah ini saya habiskan dengan mengunjungi seorang kawan di daerah Depok. Namanya Sandrawali, seorang perantau dari Makassar yang tengah melanjutkan studi magister di Universitas Indonesia (UI).
Saya berangkat ke Jakarta pada Jumat malam bersama dua orang teman kerja. Kami tiba di Depok sekitar pukul 10 malam setelah mengantar salah satu teman ke daerah Padalarang. Tidak banyak yang dapat dilakukan di Depok. Saya menghabiskan waktu dengan berkeliling kampus UI, bercerita dengan teman lama, juga mengunjungi mal di daerah Margonda.
Lebaran di Perantauan
Jauh dari rumah saat momen-momen penting selalu menjadi hal yang membuat sedih. Beruntung, saya melalui momen Iduladha ini bersama sesama perantau dari Makassar. Minggu pagi, saya dan Kak Sandra kembali ke Jatinangor. Rencananya, Kak Sandra akan menetap sampai akhir pekan ini.
Perjalanan Jakarta–Jatinangor berjalan lancar. Kami tiba di Jatinangor sekitar sore. Lepas Isya, Kak Bolang, salah seorang kawan di Makassar yang tengah merantau juga di Bandung, menjemput kami untuk merayakan lebaran Iduladha di daerah Cimenyan, Kabupaten Bandung.
Perjalanan ke Cimenyan kami tempuh sekitar 40 menit tanpa hambatan berarti. Begitu tiba, udara dingin langsung menusuk sampai ke tulang, jauh berbeda dengan kesejukan yang sudah akrab dengan saya di Jatinangor. Saat kami tiba, orang-orang di Ummasa sudah tertidur. Lampu-lampu ruangan komunal juga sudah dimatikan semua. Bolang langsung mengarahkan kami ke kamar tamu yang berada di bawah, dekat dari kolam renang dan lapangan basket. Begitu tiba, kami menghabiskan waktu berbincang sebentar—tidak sampai setengah jam—dan beristirahat untuk menunaikan ibadah solat Id keesokan paginya.
Udara dingin yang menusuk sampai ke tulanglah yang membangunkan saya saat waktu menunjukkan pukul 05.10. Setelah bersiap-siap, saya langsung berjalan ke masjid. Takbir dari pengeras suara menjadi petunjuk termudah menemukan arah masjid. Namun, di saat bersamaan takbir juga membawa ingatan saya menyusuri momen-momen saat merayakan Iduladha bersama keluarga di kampung halaman. Beruntung, suasana haru yang muncul—karena saya merayakan Iduladha seorang diri di perantauan—cukup berkurang begitu mendengar khotbah yang disampaikan dengan bahasa Sunda yang tidak saya mengerti.
Setelah selesai menunaikan solat Id, saya kembali ke Ummasa dengan perasaan lega. Jujur, lebaran pertama kali yang saya pikir akan saya lalui seorang diri membuat saya merasa cukup sedih selama beberapa waktu kemarin. Beruntung, saya tidak melewati ini sendiri. Ada Kak Sandra, Kak Bolang, dan banyak orang-orang baru yang saya temui di Ummasa. Saat tiba, orang-orang sudah tampak sibuk menyiapkan sarapan dan berbagai perlengkapan untuk pemotongan sapi kurban, yang akan dilakukan sekitar satu jam ke depan.
Setelah sarapan pagi yang hangat dengan masakan rumahan dan buah-buahan segar yang ditanam sendiri, kami mulai menyiapkan segala keperluan kurban hari itu. Misalnya, mengalasi besek bambu dengan daun pisang, menyiapkan terpal untuk area pemotongan dan pembagian daging setelah dipotong nanti, dan banyak lagi. Setelah seluruh persiapan selesai, kami pun ikut ke daerah atas, tempat di mana penyembelihan sapi akan berlangsung.
Tepat sebelum pukul sembilan pagi, Pak Ustaz yang tengah berkeliling menyembelih ternak menginfokan bahwa ia tengah menuju Ummasa. Para lelaki yang memang tengah bersiap mulai bergerak memosisikan sapi yang akan disembelih. Suara sapinya terdengar sedih. Beberapa anak-anak juga menangis dan tidak ingin melihat lebih lanjut. Saya pun begitu. Saya memilih kembali masuk bersama beberapa wanita lain yang tidak ingin menyaksikan.
Pekerjaan kami pun dimulai. Setelah penyembelihan sapi selesai, potongan-potongan tubuh sapi tersebut dibawa ke kami, pasukan yang siap memotongnya menjadi beberapa bagian kecil. Proses memotong sapi ke bagian-bagian kecil, lalu memasukkannya dengan berat yang sama ke masing-masing besek sebelum dibagikan, berlangsung selama beberapa jam dan baru selesai tepat saat siang hari. Selain kesempatan menjadi panitia kurban yang baru saya rasakan untuk pertama kalinya, keramahan dan penerimaan yang begitu hangat dari orang-orang di Rumah Belajar Ummasa adalah hal terbaik dari momen Iduladha ini.
Rumah Belajar Ummasa
Jika di kemudian hari saya diberikan kesempatan untuk tinggal di rumah impian, maka desain, konstruksi, dan keseluruhan bagian dari Ummasa adalah jawabannya. Rumah belajar ini terletak di Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Berada di atas ketinggian, rumah belajar tersebut memiliki pemandangan Kota Bandung dari ketinggian yang sangat indah. Berdasarkan cerita dari orang-orang di sini, Ummasa merupakan sekolah berbasis komunitas dan menciptakan ruang nyaman bagi aktivitas belajar anak-anak. Sayangnya, saya tidak sempat bertemu anak-anak Ummasa sebab waktu itu sedang momen libur sekolah.
Saat ini, Rumah Belajar Ummasa membuka kelas SD reguler dan nonreguler, serta kelas prasekolah reguler dan nonreguler. Meskipun tidak menyaksikan langsung proses pembelajaran di sini, tetapi melihat dari ruang kelas yang tidak seperti sekolah pada umumnya, ruang komunal yang terbuka, serta lapangan luas tempat anak-anak menghabiskan banyak waktu bersenang-senang, membuat saya bisa membayangkan betapa menyenangkan bersekolah di Ummasa.
Saya cukup takjub bagaimana perjalanan di hidup ini kadang terjadi begitu lambat, lalu tiba-tiba bergerak begitu cepat hingga kita perlu lebih banyak waktu untuk mencerna hal-hal besar yang terjadi. Meskipun merantau keluar dari Makassar setelah menghabiskan seluruh hidup saya di sini adalah hal yang menakutkan di awal, tetapi menjalani kehidupan baru dengan kejutan-kejutan seperti hari ini membuat ketakutan itu perlahan memudar. Berganti ketidaksabaran menunggu petualangan-petualangan baru di Bumi Pasundan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.