Butuh tujuh tahun bagi Rifkah, seorang teman, untuk mengajak saya mencicipi sebuah pekerjaan yang benar-benar baru bagi saya, yaitu sebagai enumerator. Pekerjaan yang memerlukan keahlian berkendara. Rifkah, yang selama itu pula sudah menggeluti bidang ini, berani mengajak saya bergabung karena memperhitungkan kemampuan saya dalam komunikasi seperti komunikasi. Selain itu, kebetulan banyak teman kuliah saya juga di lokasi survei—Parepare, Sulawesi Selatan.
“Cobami dulu. Sapatau bisa saya ajak tandem di Makassar, kalau lincah mako (Coba ikut saja dulu. Mana tahu kita bisa jadi pasangan survei di Makassar kalau kamu sudah jago),” kata Rifkah lewat telepon.
Setelah penuh pertimbangan, akhirnya saya mengiyakan tawarannya. Saat itu saya juga sedang butuh tambahan uang untuk memperbaiki laptop yang rusak. Apalagi di Parepare nanti ada rumah teman saya. Saya pikir untuk urusan tidur setidaknya sudah aman.
Masalahnya kemudian, saya tidak bisa mengemudikan moda transportasi apa pun. Kecuali sepeda pancal, yang tidak saya miliki. Namun, jika punya pun, mengayuh sepeda ke Parepare sepertinya akan butuh lebih dari dua hari. Terlebih saya pernah membuat kehebohan di jalanan Pare, Kediri, Jawa Timur, karena bersepeda seperti orang mabuk arak. Banyak miring dan rentan keluar jalur.
Perjalanan Malam ke Parepare
Dua orang akhirnya bersedia memberi tumpangan. Satu orang akan berangkat malam itu juga, sedangkan satunya lagi menunggu sampai Subuh tiba. Saya memilih ikut jalan malam biar tidak diburu waktu untuk mengurus keperluan survei paginya di tempat yang asing bagi saya. Tentu saja saya sudah siap berbagi uang bensin dan camilan di perjalanan nanti.
Senin malam (6/5/2024), pukul 21.00 WITA, saya janjian dengan Raiz—teman baru si pemberi tumpangan. Setelah mandi, makan malam, dan mengemas barang bawaan untuk lima hari lima malam, saya diantar menuju tempat kami janjian.
Perjalanan malam selama jam dimulai. Untuk memecah rasa canggung antara saya, Raiz, dan adiknya, kami banyak bicara di sepanjang jalan sejauh 154,2 km. Basa-basi tentu saja, mulai asal universitas hingga bagaimana kami bisa berakhir sebagai sesama pemula di lembaga survei bernama LRI. Fokus tujuan lembaga ini untuk mengetahui pilihan dan aspirasi politik masyarakat terkait calon-calon pemegang kebijakan, yang akan bertarung di Pilkada serentak November 2024 nanti.
Saya menyukai atmosfer dari perjalanan bersama teman baru. Meskipun agak jengkel juga dengan ruas jalan Kabupaten Pangkep–Barru yang minim pencahayaan dan penuh lubang. Saat siang saja rentan celaka, apalagi kalau gelap gulita. Ditambah ulah pengendara truk yang mengemudinya seperti kejar setoran.
Di tengah segalara riak, pukul 01.14 WITA kami tiba juga di Parepare. Saya turun di rumah teman dan berpisah untuk memulai urusan kami masing-masing keesokan harinya.
Bertemu Orang Baru dan Masalah Jam Karet
Saya tidak menyangka aplikasi ojek daring di gawai saya akan berguna di Parepare. Memanfaatkan itu, saya menuju ke kantor Kelurahan Galung Maloang, Kecamatan Bacukiki.
Saya tidak tahu, tapi citra buruk staf kelurahan yang jutek dan jarang senyum, tidak saya temukan di sini. Justru yang membuat saya gondok setengah mati adalah harus menunggu surat izin yang dipegang rekan kerja—leader saya—untuk ditandatangani lurah. Surat itu sebagai pelicin agar kami bisa berseluncur mewawancarai warganya.
Surat izin tersebut berlaku tanggal 6—10 Mei 2024. Dalam rentang waktu lima hari yang singkat itu, 44 surveyor yang terpencar di empat kecamatan (Bacukiki, Bacukiki Barat, Soreang, dan Ujung) harus mewawancarai 10 responden yang terhimpun dalam satu kelurahan.
Sesuai kesepakatan kerja, kami seharusnya ada di lokasi pukul 09.00 WITA, tapi sang leader baru tiba pukul 13.00 WITA. Dalam kondisi seperti itu, mau tidak mau saya dipaksa belajar mengelola emosi. Meskipun pagi saya dimulai dengan jadwal yang berantakan di kota orang. Sambil menunggu dan misuh-misuh, saya sempat mengintip mesin pencari dan mengetik di gawai: sejak kapan istilah jam karet mulai ada?
Saya tidak menemukan informasi spesifik. Namun, saya jadi tahu bahwa ternyata di antara beberapa negara, Indonesia cukup dikenal dengan konsep elastisitas waktunya. Kata Parhan dkk. (2022), sebagian besar masyarakat Indonesia menganut konsep waktu polikronik, yakni teori yang menganggap bahwa waktu bisa terulang kembali. Makanya kadang ada saja yang suka menunda pekerjaan hingga melahirkan sikap toleran terhadap waktu alias ngaret.
Menikmati Kanse
Untung saja, malamnya saya diajak ketemu oleh teman untuk mengusir perasaan kesal. Lokasinya di kedai kopi Gudmud Jl. Sulawesi, sekitar 15 menit perjalanan dari tempat saya. Dari jok belakang vespa ojek daring, saya mengamati Parepare. Meskipun letaknya di tepi laut, saya baru sadar bahwa sebagian besar wilayah Parepare ternyata berbukit-bukit dan cukup padat bangunan. Saya menyukai bentuk bangunan-bangunan tua khas kolonial yang tetap dipertahankan. Meski kata bapak ojek, sudah banyak juga bangunan baru yang perlahan menggilas habis persawahan.
Tiba di Gudmud, saya memesan kopi aren. Saya duduk di kursi kayu di sudut ruangan yang tak seberapa luas, tetapi memanjakan mata. Ada toples kaca kedaung yang menampung kombucha serta buku di atasnya.
Sembari memerhatikan tangan barista bekerja, saya mengkonfirmasi ke teman, “Saya perhatikan, rumah di Parepare banyak yang bawahnya batu terus atasnya rumah panggung begini.”
Ia menimpali, itu salah satunya untuk mengantisipasi banjir yang kadang tiba-tiba saja meluap padahal hujan hanya sebentar. Saya baru tahu, Parepare ternyata sering dilanda banjir. Penyebabnya drainase mampet.
Perasaan saya membaik. Kekesalan yang tadinya menumpuk menguap entah ke mana. Tidak salah kedai ini bernama Gudmud. Saya juga diajak menikmati kuliner khas Parepare. Namanya kanre santang (kanse). Artinya makanan bersantan. Olahan beras yang diberi santan. Mirip dengan pembuatan nasi uduk oleh masyarakat Sunda.
Rasanya gurih. Berpadu dengan pedas dari sepotong ikan tuna goreng berbumbu dan telur rebus. Ditambah mi goreng, perkedel, dan sambal. Sempurna sekali di lidah saya yang menyukai cita rasa kuat dan menantang.
Hampir Kena Pelecehan
Dua hari berikutnya saya memutuskan untuk memulai hari dengan menyantap makanan enak lebih dulu. Pagi pertama dengan semangkuk bakso kuah coto, lalu pagi berikutnya nasi kuning. Nasi kuning ini adalah hadiah setelah saya jalan menanjak 10 menit dari tempat saya menginap di Bacukiki.
Selesai makan, saya kembali berjalan kaki. Berbagi jalanan dengan kendaraan yang melaju cepat. Hingga tiba-tiba seorang pengendara berhenti di samping saya. Menawari tumpangan dan mengaku ojek. Sempat menolak, tapi saya naik juga dengan pertimbangan lokasi survei yang akan saya tuju—Desa Lariang Nyarangnge (Lanyer)—butuh 20 menit berkendara. Bisa dipastikan jika nekat lanjut jalan kaki, saya akan kehabisan energi untuk berkeliling mencari rumah responden di atas bukit.
Apesnya, saat motor mulai tancap gas, saya ditanya beragam pertanyaan dan pernyataan aneh. Satu yang paling mengganggu adalah ketika orang ini bilang tubuh saya sangat bagus. Ia memperlambat laju motornya, mulai memundurkan bagian tubuh bawahnya dan mendekat ke arah saya.
Berusaha tetap tenang, saya ingat di jalan menuju lokasi survei ada kantor keamanan. Akhirnya saya minta diturunkan saja di sana dengan dalih ada urusan. Meski sempat menolak dan tidak mau menghentikan motornya, saya meronta dan sedikit memaksa dengan memukul. Barulah ia berhenti dan mematikan mesin motor. Saya lalu menyodorkan uang dan memberikan nama serta nomor yang salah saat ia minta Whatsapp saya. Lantas saya berjalan meninggalkannya tanpa menoleh.
Setibanya di pos keamanan, dengan wajah bingung petugas melihat saya datang. Entah bagaimana, tubuh saya mendadak lemas. Sambil menangis tersedu dan suara bergetar, saya menjelaskan kondisi saya kepada petugas tersebut.
Tanpa saya minta, dia inisiatif memelototi pengendara tadi yang ternyata menunggu saya. Ia tidak beranjak dari tempatnya. Mungkin karena segan dilihat terus oleh petugas keamanan, orang itu akhirnya pergi sambil menoleh memerhatikan saya.
Saya tidak pernah menyangka akan mendapat pengalaman tidak menyenangkan seperti ini. Padahal sebelumnya saya bertemu dengan beberapa tukang ojek dan warga yang ramah. Mereka menawari tumpangan karena melihat saya jalan kaki dan menggendong ransel.
Meski begitu, perjalanan lima hari saya di Parepare tetap menyenangkan. Pertemuan dengan beberapa teman baru berkarakter unik, warga yang ramah, panorama yang indah, sapi-sapi gemuk dan anjing yang malu-malu, serta kulinernya yang sedap di lidah pasti akan menjadi salah satu momen yang saya rindukan.
Referensi
Parhan, M., Maharani, A. J., Haqqu, O. A., Karima, Q. S., dan Nurfaujiah, R. (2022). Orang Indonesia dan Jam Karet: Budaya Tidak Tepat Waktu dalam Pandangan Islam. Sosietas: Jurnal Pendidikan Sosiologi. Vol. 12, No. 1 (2022), hal. 25–34. https://doi.org/10.17509/sosietas.v12i1.48065.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Menyukai aroma melati, rumah berjendela, dan suatu hari ingin membuat dokumenter tentang kucing dan anjing.