Ketika orang-orang memulai rutinitas kerjanya di hari Senin, aku malah menutup minggu ini dengan libur di hari Senin.
Setelah mencuci baju dan mandi, tanpa sarapan, aku pun langsung menuju Stasiun Gondangdia.
Hari libur ini memang telah kurencanakan untuk mencari toko-toko penjual dan tempat penggilingan biji kopi tua di Jakarta.
Stasiun Gondangdia menjadi tujuan pertama karena hanya berjarak 8 menit berjalan santai dari tempatku indekos di Jalan Jaksa.
Di seberang stasiun ada Toko Kopi Luwak.
Toko ini menurut cerita Koh Yilun telah berdiri sejak 1930-an, walaupun sempat berpindah tempat setelah tragedi kebakaran di Pasar Boplo tahun 2012.
Koh Yilun bercerita dia hanya bisa menyelamatkan sebagian kecil barang-barang ketika tragedi kebakaran itu, salah satunya mesin giling kopi peninggalan orang tuanya yang masih berfungsi dengan baik sampai sekarang.
Menurut Koh Yilun yang bernama asli Xu Yilun itu pada awalnya Toko Kopi Luwak hanya menjual sembako dan dulu bernama Toko Kenari, berasal dari hobi orangtua Koh Yilun memelihara burung kenari. Baru tahun 1970-an toko ini beralih menjadi hanya menjual kopi.
Setelah beberapa waktu mengobrol dan mendengar cerita Koh Yilun tentang tokonya, aku pun pamit membawa seperempat kg kopi jagung seharga Rp15 ribu.
Dengan ojek online, aku menuju Pasar Senen. Di pasar ini aku mencari Toko Kopi Cap Wayang.
Tapi, setelah memutari seluruh kios di Blok V aku tidak menemukan toko kopi tersebut. Mencoba mencari di Blok III, hasilnya pun nihil. Akhirnya aku kembali ke Blok V untuk mengisi perut salah satu dari banyak lapak nasi Kapau di lantai bawah.
Tujuan selanjutnya adalah Toko Sedap Jaya (Wong Hin) di Jatinegara.
Dari Pasar Senen, perjalananku dilanjutkan dengan menggunakan TransJakarta dan turun di halte Pasar Jatinegara. Berjalan sejauh kurang lebih 200 meter, aku sampai di Jalan Pintu Pasar Timur No. 40, Pasar Jatinegara, di mana Toko Sedap Jaya (Wong Hin) berada.
Toko ini menjual kopi cap Biskota. Pada zamannya, kopi cap Biskota ini merajai pasaran kopi di Jakarta.
Yang unik dari kopi ini adalah kemasannya. Bungkusnya adalah kertas cokelat seperti sampul buku SD zamanku dulu dengan tulisan yang masih menggunakan ejaan lama: “Toko Sedap Djaja d/h Wong Hin. Kopi Wahid No 1 Bis Kota. Kopi pilihan dari Djawa jang paling baik. Terdjual di mana-mana warung. Tergiling dan terbungkus di Djl. Pintu Pasar Timur 40. Perhatian tidak mempunya tjabang dan hati hati barang palsu. Djatinegara. Djakarta.“ Ada gambar bus kota dengan pelat nomor bertuliskan angka 1943, tahun saat kopi ini mulai dijual.
Aku tidak berlama-lama di toko ini karena perjalanan harus dilanjutkan. Tak lupa, di toko Sedap Jaya ini aku membeli sepaket kopi bubuk seharga Rp15.500/seperempat kg.
Kembali menggunakan TransJakarta aku menuju Warung Tinggi Coffe di Hayam Wuruk. Menurut Google Maps, jarak dari Jatinegara ke Hayam Wuruk sekitar 12 km dengan waktu tempuh kurang lebih 30 menit. Lumayan untuk ngadem memanfaatkan AC busway.
Turun di halte Olimo setelah sebelumnya transit di halte Harmoni karena dari Jatinegara tidak ada Trans Jakarta yang langsung menuju Kota, perjalananan dilanjutkan dengan berjalan sejauh kurang lebih 100 m di Jalan Hayam Wuruk dan kemudian berbelok masuk ke Jalan Tangki Sekolah di mana Warung Tinggi Coffe berada.
Di sini aku membeli seperempat kilo kopi Robusta seharga Rp45 ribu.
Warung Tinggi Coffe, menurut buku Warung Tinggi Coffe (2013), adalah kedai kopi tertua di Indonesia. Kedai ini didirikan oleh Liauw Tek Soen pada 31 Juli 1878 di Jalan Moolenvliet Oost (sekarang Jalan Hayam Wuruk), Batavia, dengan nama Tek Soen Hoo.
Seiring waktu, keturunan Liauw Tek Soen pecah kongsi. Rudi Widjaya, generasi keempat dari Tek Soen Hoo, memegang hak sepenuhnya dari brand Warung Tinggi. Sebagian lagi mendirikan Bakoel Koffie, sementara keturunan Tek Soen Hoo lainnya, Yamin Widjaya, membuat perusahaan label rekaman Musica Studio’s.
Sore pun menjelang. Aku sudahi perjalanan mencari toko kopi tua hari ini.
Dari Warung Tinggi Coffe aku berjalan kaki ke Stasiun Mangga Besar sambil menikmati keriuhan Mabes menyambut malam. Kawasan itu, bagi yang belum tahu, terkenal karena pusat kuliner dan hiburan malamnya.
Hanya perlu waktu tidak lebih dari 10 menit dari Stasiun Mangga Besar ke Stasiun Gondangdia.
Aku tidak langsung pulang, melipir sebentar ke Kedai Kopi Phoenam yang tidak jauh dari Stasiun Gondangdia. Awalnya, Phoenam adalah kopi tiam yang didirikan oleh Liong Thay Hiong tahun 1946 di Jalan Nusantara, Makassar, Sulawesi Selatan.
Aku memesan segelas es kopi Toraja dan roti dengan selai serikaya; pahit yang tidak lekat di lidah dengan tingkat keasaman yang rendah bercampur dengan manis legit selai roti menjadi penutup yang sempurna liburku di hari Senin ini.
Ah, I hate Tuesday.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
2 komentar
[…] ini masih membuat ekonomi fluktuatif, setidaknya peluang bisnis kopi masih memiliki harapan karena budaya minum kopi di negeri kita sudah mengakar. Kalaupun pengunjung tidak datang langsung ke kedai, jasa ojek online […]
Mencari Kopi Jantan atau Kopi Lelaki atau Kopi Lanang sebagai Sarana Kopi Pertemanan