Mendengar kata “Sendang Biru,” apa yang muncul dalam pikiranmu? Mata air? Kolam berwarna biru? Jawabannya: bukan keduanya.
Sendang Biru adalah sebuah pantai di Malang Selatan yang kaya budaya dan sumber daya alam. Selain sebagai destinasi wisata, Sendang Biru, yang punya tempat pelelangan ikan (TPI), juga tersohor sebagai produsen hasil laut.
Perjumpaan pertama saya dengan Sendang Biru terjadi sekitar bulan Maret 2019 saat melakukan penelitian bersama teman-teman satu angkatan. Riset itu mengharuskan kami untuk tinggal bersama masyarakat setempat dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari satu sampai tujuh orang. Kami tinggal di beberapa rumah di tiga kampung, yakni Kampung Baru, Kampung Perumnas, dan Kampung Raas.
Meskipun saat itu tujuan utama kami adalah menggali informasi, pada kenyataannya kami juga berbaur dan berbagi pengalaman bersama masyarakat setempat. Hanya perlu waktu seminggu sebelum saya dianggap sebagai keluarga sendiri oleh tuan rumah.
Di Sendang Biru, untuk pertama kalinya saya memancing di tengah laut (sekitar 4 mil dari pantai) naik perahu kecil (perahu speed). Kebetulan, saat itu kami memancing sore hari. Jadi, saya bisa melihat betapa indahnya pemandangan di tengah laut disirami sinar matahari yang mulai menyembunyikan diri. Di darat, hasil pancingan itu kemudian dibakar dan dimakan bersama-sama.
Wisata gratis yang disponsori warga Sendang Biru tak berakhir di situ. Sehari kemudian saya dibawa ke Pantai Waru-waru naik kapal besar (kapal sekoci). Pasir putih Pantai Waru-waru dan perairannya yang biru membuat saya enggan beranjak dari sana.
Pokoknya, banyak sekali pengalaman baru yang saya dan teman-teman dapatkan selama di Sendang Biru. Memori penuh kebahagian itulah yang membuat saya selalu rindu pada Sendang Biru.
Demi melepas rindu, September 2019 kemarin saya datang untuk kedua kalinya ke Sedang Biru. Saya menginap di rumah salah satu keluarga tempat teman saya dulu tinggal. Saya merasa bahagia ketika di sana. Meskipun Sendang Biru bukan tanah kelahiran saya, rasanya seperti pulang ke kampung halaman. Apalagi makanan-makanan yang dimasak Ibu, misalnya olahan cumi dan ikan bakar khas Sendang Biru, mengingatkan saya pada masakan ibu di rumah.
“Petik Laut” di Sendang Biru
Kebetulan, saat saya ke sana kemarin, sebuah tradisi tahunan Sendang Biru, yakni Petik Laut, sedang diadakan. Tradisi ini adalah ungkapan rasa syukur masyarakat setempat atas apa yang telah diberikan [alam], misalnya ikan yang melimpah.
Diselenggarakan satu minggu penuh, puncak acara Petik Laut dilangsungkan tanggal 27 September. Namun, sebelum acara puncak, diselenggarakan pula serangkaian acara-acara seru, seperti pertunjukan kesenian khas Banyuwangi, orkes (pertunjukan dangdut), pasar malam, pertunjukan campursari, wayang, dan lain-lain.
Masyarakat antusias sekali menyambut acara puncak Petik Laut. Rumah-rumah sepi sebab warga berkumpul di sekitar TPI. Tapi, bukan cuma masyarakat setempat saja yang berkumpul di TPI, wisatawan juga berbondong-bondong datang untuk melihat Petik Laut secara langsung.
Ketika arak-arakan Petik Laut—yang dimeriahkan oleh orang-orang yang didandani seperti pengantin, Nyi Roro Kidul, dll.—sudah sampai di TPI, kapa-kapal bersiap untuk melarung. Persembahan berupa kepala kambing, ayam, buah-buahan, sayuran, tumpeng, dan dan lain-lain ditempatkan dalam perahu kecil.
Kapal-kapal—slerek, sekoci, dan speed—disediakan sebagai angkutan bagi masyarakat yang ingin mengikuti pelarungan ke tengah laut. Hari itu, saya dan keluarga Ibu menumpang kapal sekoci.
Kemudian, dikawal oleh banyak kapal, perahu kecil berisi persembahan itu diarak ke tengah laut. Begitu rombongan tiba di titik yang ditentukan, acara jadi makin seru. Para nelayan bersemangat sekali memperebutkan bahan-bahan persembahan, sampai-sampai kapal-kapal mereka beradu, sebab mereka percaya bahwa persembahan itu akan membawa berkah. (Tapi, “tabrakan” kapal itu tidak berujung pada munculnya perselisihan.) Mereka yang kurang beruntung tidak perlu berkecil hati, sebab, menurut kepercayaan setempat, berkah juga bisa didapat dari menyiramkan air laut ke badan kapal.
Usai mengikuti acara Petik Laut, saya jalan-jalan ke desa yang dulu jadi tempat tinggal saya saat penelitian. Orang-orang di sana tersenyum lebar melihat kedatangan saya, barangkali karena memori soal kedatangan saya ke sana masih tersimpan rapi dalam ingatan mereka.
Yang membuat hari itu jadi makin indah, kami sempat bakar-bakar ikan, lalu berkumpul dan makan bersama di tengah jalan. (Dulu, sebelum saya kembali ke Malang, saya juga dijamu seperti ini.) Kebersamaan seperti inilah yang saya sukai dari masyarakat Sendang Biru.
Rasa-rasanya, Sendang Biru akan selalu jadi tempat pulang kedua bagi saya setelah tanah kelahiran. Saya harap, Sendang Biru akan selalu dipenuhi kebahagiaan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.