Perjalanan selalu menyenangkan, setidaknya bagi yang menjalaninya sebagai hobi. Banyak orang menjalani sebagai hobi, tetapi beberapa orang menjalaninya sebagai gaya hidup. Salah satu penulis catatan perjalanan yang populer pada era 70-80an adalah Haris Otto Kamil Tanzil atau yang lebih dikenal dengan H.O.K. Tanzil. Dengan latar belakang seorang dokter, dia cermat dalam melukiskan setiap memori perjalanan, setiap yang dia lihat dan rasakan, dirawat dengan baik dalam kata-katanya. Tanzil memang dulunya merupakan kontributor Majalah Intisari yang mengisi rubrik perjalanan, dari catatannya menyusuri dunia, kita tahu bahwa memang dirinya adalah pengelana sejati. Sudah ada 16 seri bukunya yang diterbitkan dengan berbagai macam judul, salah satunya adalah Catatan Perjalanan Indonesia.
Pelan-pelan pikiran saya terbawa petualangan H.O.K. Tanzil menyusuri negara kita, halaman demi halaman.
Narasi dibuka dengan cerita perjalanan menuju Sumatera dari sudut pandang sebuah mobil VW bus. Sebuah VW bus yang membantu Tanzil dan istrinya dalam perjalanan berkeluh kesah tentang pekerjaannya yang harus keluar masuk hutan untuk mencapai Aceh. Beberapa kali harus mengalami pecah ban, si VW bus mengeluhkan kondisi jalan di beberapa tempat yang menurutnya menyeramkan. Selama 18 hari perjalanan, si ‘aku’ sering sekali mogok dan terperosok, tetapi hikmahnya, Tanzil dan istrinya selalu bertemu orang-orang baik yang membantunya tanpa pamrih.
Selanjutnya, dalam bertiga belas naik ke Gunung Tengger, Tanzil kembali menggunakan VW combi untuk mengangkut 3 keluarga besar. Sebanyak 13 orang keluarganya ikut bepergian waktu itu. Mobil penuh dan sesak dengan barang dan orang-orang. Untuk melihat matahari terbit, cerita Tanzil dipenuhi perjuangan bagaimana mengeluarkan mobilnya yang (lagi-lagi) terperosok ke dalam pasir. Cerita menegangkan dimulai ketika dia ingin merubah haluan dekat jurang. Mobil harus berputar 180 derajat untuk bisa kembali ke tempat yang aman. Dengan hati-hati dan sabar, akhirnya dia bisa keluar dari kesulitan itu.
Bab lainnya, Tanzil mengisahkan bagaimana dia melihat kuburan Toraja dalam buku sekolahnya sebagai sesuatu yang “menyeramkan”, pada akhirnya berhasil mengunjungi Sulawesi bersama istri tercintanya dan menyaksikan langsung kuburan yang dipahat di gunung batu. Saran dari pemandu yang dibawa oleh Tanzil; jangan lihat-lihat mayat bila masih takut! Tanzil yang memang sering melihat mayat sebagai seorang dokter, pemandangan seperti itu sudah lumrah baginya. Yang menarik ada kritikan Tanzil mengenai tabela-tabela yang terbuka memperlihatkan kerangka yang tercecer, dia menuliskan “apakah menarik para turis lebih penting daripada mengindahkan para almarhum?”. Sewaktu mau balik ke Jakarta, Tanzil dan istri kehabisan tiket, beruntung ada bantuan dari kawannya untuk memperoleh tiket ke Jakarta. Tanzil mengkritik bagaimana tiket pesawat bisa digunakan oleh orang yang tidak sesuai dengan nama yang tertera, dia menyarankan penggunaan kartu pengenal supaya mencegah karcis digunakan oleh orang lain.
Kunjungan ke Kalimantan membawa cerita lain. Sempat kesal karena namanya tidak ada dalam daftar penumpang, akhirnya setelah berhasil berangkat ke Kalimantan, Tanzil tiba di Balikpapan. Tanzil ternyata ingin mengunjungi kembali kota kelahiran orang tuanya, Samarinda, yang terakhir dia kunjungi 39 tahun yang lalu. Tanzil yang berharap mencoba bus air akhirnya kesampaian untuk menaikinya mengarungi Sungai Mahakam. Bus air merupakan angkutan air yang populer sewaktu tahun 70-80an. Dalam perjalanan menyusuri sungai, Tanzil melihat banyak hal yang belum pernah dia melihatnya di Pulau Jawa
Dalam buku ini masih banyak cerita di pulau-pulau lainnya seperti melihat penyu bertelur di Jawa Barat, mengunjungi berbagai pantai di Lombok, melihat makam Trunyan Bali, dan menyusuri jalanan di Pulau Madura.
Rupanya Tanzil begitu mencintai perjalanan darat menggunakan mobil, mencatat kebiasaan-kebiasaan supir di berbagai daerah, dan merangkum kebaikan masyarakat lokal. Seringkali pertanyaan-pertanyaan menelisik dia tanyakan, membuka cakrawala kita bahwa dalam perjalanan ada ilmu yang bisa didapat. Saya melihat Tanzil dari tulisannya adalah seseorang yang berjiwa muda. Jiwa muda tentunya tidak mudah padam walaupun dalam fisik yang tua.
Tulisan-tulisan H.O.K. Tanzil memang adalah buku harian yang dibukukan. Catatannya ringan, jenaka, kadang penuh gerutuan, tapi saya menyukai kejujurannya dalam menuliskan pengalaman. Bagaimana melihat suatu tempat tanpa ditutupi oleh hal-hal yang subjektif, kerangka pikir seorang dokter turut membentuk tulisannya yang jauh dari kesan eksklusif. Umurnya yang tidak lagi muda juga membuat tulisannya lebih bijak. Memaknai perjalanan lebih dari sekedar perpindahan tempat dan senang-senang. Warisannya yang berupa tulisan perjalanan layak kita kenang sebagai salah satu karya terbaik anak negeri.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.