Catatan Gempa Cianjur: Pengetahuan Ulayat sebagai Mitigasi Bencana (2)

Banyak pihak menilai bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman sumber daya alam dan budaya. Akan tetapi, sangat jarang kita menemukan masyarakat yang mengetahui dan memberdayakan pengetahuan ulayat yang telah diwariskan kepadanya.

Seiring masuknya modernisasi dan globalisasi, pengetahuan ulayat menjadi makin terpinggirkan. Bahkan banyak orang menganggapnya kuno dan tak lagi relevan. Alhasil, kita jadi kian bergantung pada macam-macam pengetahuan modern hasil produksi negara asing. 

Ketika keanekaragaman tersebut juga berdampak pada risiko kebencanaan, kita menjadi gamang melihat banyaknya korban jiwa akibat bencana, salah satunya gempa bumi. Pengetahuan modern, yang kita yakini kebenarannya, gagap menyikapi problem kebencanaan di sekitar kita. 

Padahal negara ini telah memiliki memori dan akar kebudayaan yang dekat dengan bencana alam. Hampir setiap generasi telah merasakan bencana alam. Sedari nenek moyang sampai ke cicit-cicit penerusnya. Namun, kenapa hari ini kita gagal menanggulanginya?

Catatan Gempa Cianjur: Pengetahuan Ulayat sebagai Mitigasi Bencana (2)
Tenda biru berfungsi sebagai posko pengungsian warga terdampak gempa Cianjur/Mohamad Ichsanudin Adnan

Kilas Balik Dampak Traumatis Gempa Cianjur

Momen traumatis gempa bumi Cianjur ini sudah terlewat begitu lama, tetapi rasa-rasanya baru terjadi kemarin. Beberapa warga telah melanjutkan aktivitas mereka dengan normal.

Pada Desember 2022 lalu, saya berkesempatan pergi ke Cianjur dengan kereta api kelas ekonomi dari Yogyakarta. Saya mengemban tugas menjadi jurnalis saat masa darurat berlangsung. Setibanya di lokasi, atas tawaran seorang kawan, saya langsung menuju sebuah rumah singgah yang berfungsi sebagai posko logistik. Kawan saya tersebut sedang menjalani masa bakti sebagai relawan. Ia sudah berada di TKP selama sepekan. Saya banyak mendapat panduan dan arahan darinya seputar lokasi terdampak bencana.

Salah satu lokasi yang kami kunjungi adalah Desa Cibulakan. Berbekal sepeda motor matic, kami menyusuri jalan menuju desa dengan tingkat kerusakan yang cukup parah tersebut.

Sepanjang jalan, sejauh mata memandang, setiap rumah di Cibulakan runtuh tak bersisa. Baik yang berbahan beton, teralis besi, hingga material permanen lainnya, telah rata dengan tanah. Tidak sedikit warga yang sibuk membongkar puing-puing itu. Berupaya mengais barang-barang yang sekiranya masih bisa mereka selamatkan. 

Di sisi lain, saya menjumpai pemandangan memilukan. Terdapat kerumunan anak turut mengevakuasi boneka kesayangannya yang ikut tertimbun ke dalam reruntuhan. Mereka sampai menyusuri bongkahan beton berukuran besar, hingga menyusup ke bawah teralis besi yang mungkin saja sewaktu-waktu ambruk menimpa mereka. Para warga pun panik dengan peristiwa tersebut. Sampai-sampai ayah dari anak itu menarik paksa agar tidak mendekati puing-puing. 

Saya yang melihatnya langsung merasa sedih sekaligus gagal. Gagal, karena saya tidak bisa berbuat apa pun untuk membantu meringankan beban dari sang anak.

Dari pengamatan tersebut, saya menilai bahwa risiko tertinggi dari dampak bencana alam justru terletak pada bangunan modern yang masyarakat gunakan. Meskipun upaya sosialisasi dan mitigasi telah gencar diberlakukan, tetapi kerusakan dan reruntuhan bongkahan beton dan teralis besi tampak tak bisa lagi terhindarkan. 

Catatan Gempa Cianjur: Pengetahuan Ulayat sebagai Mitigasi Bencana (2)
Sebuah rumah tradisional Sunda dengan atap “Julang Ngapak” dan ornamen “Capit Gunting” di Garut, Jawa Barat/Koleksi Tropenmuseum Belanda

Kembali pada Pengetahuan Ulayat

Pengetahuan ulayat sejatinya telah menyediakan peringatan bagi generasi selanjutnya agar bersahabat dengan alam. Bahkan bencana yang timbul sekalipun. Melalui pantangan dan tabu—yang kerap dipercaya sebagai metode usang—nyatanya telah memberi kesadaran bahwa segala elemen kehidupan, seperti tanah, air, pohon, dan hewan adalah saudara manusia.

Kesadaran tersebutlah yang memungkinkan masyarakat dapat mengantisipasi bencana alam, seperti tsunami, gunung meletus, bahkan gempa bumi sekalipun. Dalam kebudayaan Sunda sendiri, gempa bumi bukanlah suatu peristiwa yang baru. Memori dan pengetahuan ulayat telah menyediakan upaya mitigasi, sehingga generasi penerus dapat mengantisipasinya.

Salah satu manifestasi dari pengetahuan tersebut telah diterapkan pada seni arsitektur. Pada rumah dengan arsitektur khas Sunda, terdapat konsep umpak sebagai pondasi rumah. Umpak tersebut memiliki fungsi sebagai penyangga bangunan yang terbuat dari kayu. 

Selain pada pondasinya, terdapat pula sistem pengikat yang menggunakan pupurus (pen dan lubang) dan paseuk (pasak). Sistem ini digunakan dari rangka lantai, dinding, kuda-kuda, sampai balok yang dapat dipasang sambung. Adapun atapnya menggunakan bahan yang ada di sekitar tanah Sunda, seperti tali ijuk, sabut kelapa, dan daun rumbia. 

Secara keseluruhan material yang terpakai dalam arsitektur khas Sunda cenderung tipis dan sederhana. Meskipun demikian, banyak pihak yang menilai bahwa sistem arsitektur semacam itu telah teruji dan dapat terhindar dari risiko gempa bumi. Bahkan di lapangan saya sempat menjumpai masyarakat yang masih menggunakan sistem arsitektur tersebut. Saat ini kondisi rumahnya masih tetap dalam keadaan berdiri kokoh.

Akan tetapi, masyarakat hari ini lebih tertarik menggunakan sistem arsitektur yang modern, seperti penggunaan beton, teralis besi, paku, dan genting. Padahal dalam memori dan pengetahuan ulayat, penggunaan material tersebut bertentangan dengan aturan alam dan leluhur mereka.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar