Roda kendaraan akhirnya kembali berpacu. Kali ini, waktu yang saya pilih sengaja lebih pagi daripada biasanya agar lebih leluasa dan santai menikmati kehidupan sepanjang perjalanan. Selain itu juga sengaja menghindari jam sibuk masuk kerja dan berangkat sekolah.
Tidak seperti biasanya, saya mengambil rute melalui pinggiran kota. Sebab, jika saya melalui rute pinggiran kota akan lebih lama dan melelahkan. Saya putuskan melalui jalan utama antarprovinsi Yogyakarta dan Surakarta, Jawa Tengah agar mempersingkat jarak dan waktu.
Membutuhkan waktu kurang lebih satu jam perjalanan dari kampung lawas Laweyan, Kota Surakarta hingga pertigaan Candi Prambanan, Klaten. Tepat di pertigaan Prambanan, roda kendaraan berbelok ke arah barat memasuki Jalan Bugisan Raya. Sepanjang jalan tampak kehidupan desa wisata di sekitar Candi Prambanan.
Sesampainya di simpang Jalan Bugisan dan Jalan Candi Plaosan, saya pilih mengikuti Jalan Candi Plaosan. Sebelum sampai di tujuan, biasanya saya mampir minum es dawet langganan di pertigaan KM 1 Manisrenggo. Namun, jarum jam menunjukan pukul 06.20, penjual dawet belum terlihat karena masih pagi. Saya langsung menuju tujuan utama, yaitu Candi Plaosan Lor di Desa Bugisan, Klaten, sekaligus mencari angkringan sebagai pelepas dahaga sebelum memulai penjelajahan.

Tiba Terlalu Pagi
Pagi itu, aktivitas masyarakat sekitar Candi Plaosan Lor tampak ramai dengan hilir mudik kendaraan antardesa, dan orang tua mengantar anaknya bersekolah maupun bekerja. Pemandangan lumrah, karena candi ini berada di tengah desa, dengan mobilitas warga cukup tinggi.
Beberapa warung angkringan pagi tampak sudah buka, tujuannya tidak lain untuk mengisi perut warga yang lalu-lalang sejak pagi buta. Untung saja, angkringan yang saya datangi baru saja buka, sehingga makanan yang disajikan masih hangat semua.
Selagi menunggu segelas teh panas disajikan, tiba-tiba datang seorang bapak paruh baya berkaus oblong dan bercelana kargo layaknya petualang, duduk satu meja dengan saya. Kami lantas bercengkerama ringan sambil menikmati sarapan nasi bandeng panas.
Tidak saya sadari sebelumnya, beliau adalah satpam Candi Plaosan sekaligus suami dari empunya angkringan. Tanpa basa-basi, saya menanyakan harga tiket dan pemandu jika main ke Candi Plaosan.
“Tunggu sampai 07.30 mas, nanti langsung masuk, isi buku tamu di pos depan, langsung silahkan hunting foto. Kamu terlalu pagi, Mas, datangnya, jadi masih gratis, bebas, tetapi setelah jam 08.00 dikenai tiket 5.000 rupiah,” jelasnya.
Alam merestui. Saya tidak sabar ingin segera menikmati romantisisme dan keabadian cinta di Candi Plaosan lor. Waktunya tiba, saya pun segera masuk halaman candi. Tentu setelah membayar sarapan. Keramaian warga desa, seketika sirna saat saya berhadapan dengan dua candi lintas agama ini, seakan Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani mempersilakan masuk dengan merangkul mesra dalam keheningan pagi.
Lingkungan sekitar didominasi persawahan berlatar belakang Gunung Merapi dan perdesaan, semakin menampakkan aura romantis kedua pendiri candi tersebut. Raja dan ratu sedang duduk di singgasananya, dengan baju kenegaraan warna hijau selalu menemani dalam suka maupun duka. Sungguh perpaduan yang elegan, antara keseimbagan energi manusia dan energi alam yang luar biasa.


Wujud Cinta Pasangan Beda Agama
Pertama kali menyaksikan candi induk Plaosan Lor ini beberapa tahun lalu, yang tergambar dalam pikiran adalah rumah berlantai dua dibangun berdampingan tanpa pembatas dalam satu halaman luas, dengan ruang keluarga terbuka di sisi barat. Fakta jika Candi Plaosan Lor adalah wujud rancangan kekaguman dua insan beda agama.
Hal ini senada dengan isi prasasti Cri Kahulunan berangka tahun 842 Masehi, menyatakan bahwa Candi Plaosan dibangun pada abad ke-9 oleh Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, sebagai tempat pendarmaan sang istri, Pramodhawardani, putri Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra yang beragama Buddha.
Candi Plaosan didirikan sebagai bukti kekaguman dan cinta Rakai Pikatan yang luar biasa untuk sang istri. Terlebih latar belakang keduanya yang berbeda agama, dapat bersatu mengemudikan bahtera. Sungguh luar biasa. Relief candi induk utara menggambarkan sosok laki-laki, sedangkan di selatan menggambarkan sosok perempuan. Masing-masing memiliki relief setinggi seperti orang saat ini.


Motif relief seorang lelaki di candi induk sebelah barat (kiri) dan relief sosok perempuan di candi induk sebelah timur/Ibnu Rustamadji
Tatkala sedang asyik melihat relief, tiba-tiba imajinasi saya dibawa hidup di zaman itu. Terbayang kehidupan masa lalu keduanya yang penuh canda tawa bahagia, meski juga memikul tanggung jawab berat terhadap kemakmuran rakyat dan masalah pelik lainnya.
Candi induk ini, selain sebagai bukti cinta, juga sebagai pendarmaan atau pembelajaran spiritual raja dan ratu, sehingga tak ayal dibangun berlantai dua sebagai tempat menyepinya raja dan ratu. Kedua candi induk memiliki dua lantai. Hanya saja papan kayu lantai dua dan tangga menuju ke atas kini hilang seiring berjalannya waktu, menyisakan relung sebagai bukti kemewahan Candi Plaosan kala itu.
Sekitar dua jam menelusuri dua candi induk, kini saatnya melihat ruang keluarga di sisi barat candi induk. Para arkeolog menyebut tempat ini pelataran, bukan ruang keluarga. Saya istilahkan ruang keluarga karena jejeran arca Buddha duduk berderet saling berhadapan seolah sedang membicarakan sesuatu bersama keluarga.
Mungkin saja, arca ini adalah penggambaran dewa dalam agama Hindu-Buddha, dan pelataran inilah tempat Rakai Pikatan dan Pramodhawardani berhubungan dengan para dewa. Hubungan yang saya maksud adalah cara bersembahyang, bukan mengajak ngobrol.
Pelataran ini seharusnya tertutup, meski tidak sesolid candi induk. Rangka utama terbuat dari kayu jati yang dibuat ruang persegi panjang terbuka. Arca dewa tutur ternaungi, karena masuk bagian area bersembahyang raja dan ratu. Namun, kini kondisinya sudah tanpa konstruksi atap, hanya menyisakan umpak batu di beberapa sudut pelataran. Ketika pertama kali ditemukan oleh Casparis tahun 1800-an, pelataran sudah tidak ditemukan atapnya. Kondisinya kala itu pun lebih rusak parah daripada sekarang.

Segudang Tanya yang Menanti Jawaban
Sebelum beranjak keluar kawasan, saya menyempatkan memandang kedua candi induk untuk “berpamitan” kepada sang raja dan ratu. Hanya saja, saya masih memiliki pertanyaan yang mungkin tidak bisa terjawab dalam waktu singkat.
Pertama, bagaimana proses pembangunan dua candi induk berlantai dua seperti itu, sementara candi-candi sekitarnya (termasuk Candi Prambanan) hanya satu lantai?
Kedua, adakah jejak peradaban masyarakat pendukung situs percandian sekitar kawasan Prambanan? Sebab, ditemukan saluran air yang cukup besar di timur candi induk Plaosan Lor. Artinya, ada peradaban yang kini hilang, di manakah jejaknya?
Ketiga, apakah ada penemuan sisa manusia yang pernah hidup di era Rakai Pikatan?
Saya yakin, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab dalam waktu semalam, seperti mitos kisah asmara Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso dengan seribu candinya. Masih banyak yang harus diteliti guna menyelamatkan monumen cinta Rakai Pikatan dan Pramodhawardani ini.
Hari mulai beranjak siang. Saya putuskan membawa segudang pertanyaan itu keluar kawasan Candi Plaosan Lor seiring mencari tempat santap siang, lalu berkeliling di sekitar kompleks candi. Pukul 14.00, saya menyudahi perjalanan di Bugisan dan pulang ke Boyolali.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.