“Ya macam itu pendaki jaman sekarang, ninggal sampah seenak jidat..”
Saat bekerja di Jogja, saya kembali terhubung dengan kawan-kawan lama Aldakawanaseta, Mapala kampus saya dulu. Sejujurnya, saya bukan anggota Mapala. Tapi karena mengenal baik beberapa rekan di sana, akhirnya saya ikut-ikutan gemar mendaki gunung.
Kalau diingat-ingat, kali pertama saya mendaki gunung itu ke Merapi. Bersama Mas Weldas dan Deta, saya dipertemukan dengan komunitas kecil Pikniker Solo. Dari perjalanan bersama mereka itulah, saya belajar bahwa mendaki gunung bukan sekadar “piknik” seperti nama komunitas kecil ini. Ada banyak hal yang perlu dipersiapkan, tidak hanya soal peralatan dan logistik, tapi juga pengetahuan, dan etika pendakian.
Logistik pendakian organik dan minim sampah
Sejak pertama kali mendaki Merapi bersama teman-teman Pikniker Solo, saya disarankan untuk tidak membawa makanan cepat saji yang terbungkus plastik dan kaleng. Tidak ada mie instan, tidak ada sarden, tidak ada kopi sachet karena kami tidak suka ngopi sachet. Kecuali air mineral, (dulu) kami masih sering membawanya dengan alasan praktis.
Dalam perjalanan menuju basecamp Gunung Merapi, saya diajak mampir ke Pasar Selo di Cepogo. Di sana, kami berbelanja logistik seperti sayur, buah, tempe, bumbu masak sebagai pelengkap rasa seperti bawang merah, bawang putih, cabai, bahkan daun salam dan bumbu pawon lain. Kangkung dan terong kesukaan saya, tentu tak luput dari daftar belanja.
Setelah berkali-kali naik gunung bersama mereka, saya baru paham kenapa harus belanja logistik di dekat gunung tujuan. Ya, jelas supaya bekal makanan yang berupa bahan masakan mudah busuk ini bisa bertahan lama saat perjalanan mendaki.
Berdasar pengalaman pribadi, kami biasanya menyimpan sayur-sayuran ini dengan cara membungkusnya menggunakan koran bekas atau kain sebelum dimasukkan ke dalam keril. Tujuannya supaya saat kita berjalan mendaki dan suhu di dalam tas meningkat karena sinar matahari, uap air yang dihasilkan dari sayur mayur ini terserap di koran dan kain. Jika sayur-sayuran tetap kering, maka ia akan tetap segar.
Lalu saat tiba di camp site, kami segera membuka bungkus perbekalan ini untuk diangin-anginkan. Kalau malam tiba, seringkali kami taruh di dalam vestibule tenda supaya terkena hawa dingin dari luar. Anggap aja seperti kulkas alami.
Dengan cara-cara ini, bekal makanan yang terdiri dari sayur, buah, dan bumbu-bumbuan menjadi lebih tahan lama dan tetap segar. Oh ya, kalau membawa minyak goreng atau margarin, kami selalu menyediakan satu buah botol kosong untuk menaruh sisa minyak habis pakai. Jadi, minyak habis pakai tersebut tetap dibawa turun, tidak ditibuang ke tanah saat masih ada di gunung.
Mulai mengganti plastik dengan dry bag, mengganti tisu dengan lap kain
Nggak dipungkiri saat awal-awal mendaki gunung, kami masih sering menggunakan plastik sebagai pembungkus pakaian, makanan, hingga alat pendakian. Tapi lama-kelamaan, banyak edukasi yang didapatkan terutama tentang dampak penggunaan plastik untuk aktivitas pendakian.
Perlahan kami mulai mengganti plastik-plastik packing dan kemasan makanan/minuman menggunakan wadah yang bisa dipakai berkali-kali. Misalnya saja, jika dulu kami menggunakan plastik packing (biasanya trash bag) untuk membungkus semua barang yang ada di dalam keril, kini kami menggantinya dengan dry bag.
Dry bag punya beragam ukuran, kita bisa membelinya sesuai dengan kebutuhan. Dan tentunya, tetap tahan air serta bisa dipakai berulang kali. Saya punya dua buah dry bag yang usianya sekitar 8 tahun, masih berfungsi dengan baik hingga sekarang. Hemat sampah plastik pakaian selama 8 tahun.
Oh ya, dua tahun terakhir ini saya juga sudah mulai mengganti tisu dengan kain. Kalau orang Jawa menyebutnya “gombal”, kain yang biasa dipakai untuk mengelap segala macam benda.
Setidaknya saya selalu membawa 3 buah gombal setiap camping atau naik gunung. Gombal ini saya beli di pasar tradisional seharga Rp10.000,00 tiga (sepuluh ribu dapat tiga buah gombal). Jauh lebih hemat jika dibandingkan dengan membeli tisu setiap kali mau perjalanan.
Memungut sampah di jalur pendakian saat perjalanan pulang
Hal paling menjengkelkan selama mendaki gunung adalah melihat tisu basah bekas dan botol air mineral kosong berserakan di camp site dan jalur pendakian. Nggak hanya itu sih, seringkali kami juga menemukan gundukan sampah di sudut-sudut camp site. Kadang kala, gundukan sampah ini dibakar oleh pendaki lain. Padahal, setahu saya membakar sampah di gunung berpotensi menjadi penyebab kebakaran.
Hal yang selalu rutin teman-teman Pikniker Solo lakukan saat mendaki gunung adalah membawa turun semua sampah yang dihasilkan, juga memungut sampah yang kami temui diperjalanan pulang.
“Ya macam itu pendaki jaman sekarang, ninggal sampah seenak jidat!” sering diumpatkan oleh kami sambil memungut botol-botol air mineral bekas selama perjalanan turun gunung.
Menurut saya, mendaki gunung bukan sekedar perkara membawa pulang sampah yang dibawa dari bawah, tapi juga kurangi menghasilkan sampah selama aktivitas pendakian. Kalau bingung kiat-kiat gimana sih bisa mendaki gunung tanpa menghasilkan sampah, coba baca buku Zero Waste Adventure yang ditulis oleh Siska Nirmala. Dalam buku tersebut, Siska membagikan kiat-kiat mendaki nol sampah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI. Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.