Sejak 2006 hingga 2013, industri batik Indonesia menunjukkan peningkatan cukup baik dalam beberapa aspek ekonomi.

Berdasaran data Kementerian Perindustrian yang dilansir dari Tirto.id, nilai produksi batik pada tahun 2006 berada pada angka 394,64 miliar rupiah. Angka tersebut meroket tajam di tahun 2010 menjadi yaitu 1.223,93 miliar sebelum mengalami penurunan pada tahun 2011 dan 2012. Nilai produksi batik kembali naik tahun 2013 ke angka 1.116,70 miliar.

Namun dari segi nilai tambah, terjadi peningkatan yang cukup signifikan. Jika tahun 2006 nilai tambah batik 113,09 miliar, tahun 2013 angkanya menjadi 574,63 miliar rupiah. Artinya industri batik di Indonesia masih terus membawa angin segar yang ikut menopang perekonomian bangsa. Tak heran jika ke mana pun pergi kita akan bertemu dengan orang-orang yang memakai batik.

Pernah menjadi simbol feodalisme Jawa

Dilihat dari sejarah perjalanannya dari awal hingga sekarang, batik di Indonesia telah terjadi mengalami begitu banyak perubahan baik dari sisi seni maupun nilai guna sosial.

batik indonesia

Seorang pembatik di Desa Trusmi, Cirebon via instagram.com/efsaputra

Arsianti Latifah dalam makalah “Batik dan Tradisi Kekinian” menjelaskan bahwa batik pernah menjadi simbol feodalisme Jawa. Pada masanya membatik hanya boleh dipraktikkan di dalam keraton dan hanya diperuntukkan bagi raja, keluarga, dan para pengikutnya.

Batik pun menjadi sebuah budaya dalam keraton (budaya ageng). Melalui motif batik, muncullah pembedaan kasta (strata sosial) dalam keraton.

Padahal batik sendiri bukanlah berasal dari keraton. Menurut artikel “History of Batik” di batikguild.org.uk, bentuk-bentuk mula batik dari masa sekitar 2.000 tahun yang lalu telah ditemukan di Timur Jauh, Timur Tengah, Asia Tengah, dan India. Uniknya, tiap-tiap wilayah itu mengembangkan sendiri “batiknya” tanpa pengaruh dari budaya lain, misalnya lewat perdagangan.

batik indonesia

Proses pembuatan batik tulis via instagram.com/efsaputra

“Sejarah Batik Indonesia” di laman jabarprov.go.id mengisahkan bahwa batik “datang” pada masa Kerajaan Majapahit. Tradisi membatik kemudian diteruskan oleh Kerajaan Mataram, yang pada akhirnya pisah jalan menjadi Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta.

Pengaruh Tionghoa dan Arab dalam batik Indonesia

Fenomena migrasi para penduduk Tionghoa dari pesisir pantai selatan Tionghoa, Fujian, dan Guangdong ke Indonesia telah terjadi sejak abad ke-14. Menggunakan kapal jung, salah satu destinasi utama perantauan itu adalah Lasem, selain Batavia dan Semarang.

Masyarakat Tionghoa yang bermukim di Lasem kemudian menjadi bagian dari perkembangan batik Indonesia. Pada abad ke-15, Na Li Ni atau Si Putri Campa, yang merupakan istri dari seorang anggota ekspedisi Cheng Ho bernama Bi Nang Un, mulai memperkenalkan teknik membatik.

Masa kejayaan batik di Lasem dimulai pada pengujung abad ke-19, tepatnya di tahun 1860-an. Sekitar 6.000 orang dipekerjakan untuk memproduksi batik secara besar-besaran untuk dijual di Hindia Belanda serta diekspor ke Singapura dan Sri Lanka.

batik indonesia

Batik tulis sedang dikeringkan via instagram.com/efsaputra

Ironisnya, saat ini hanya tersisa enam rumah produksi batik bercirikan Tionghoa di Lasem yang terletak di pesisir utara Jawa Tengah itu.

Namun, ternyata tak hanya masyarakat Tionghoa yang membawa pengaruh dalam sejarah batik Indonesia. Kesultanan Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama dan terbesar di Pulau Jawa mengutus beberapa seniman dan saudagar batik Demak untuk batik besurek (bersurat) yang bermotif kaligrafi Arab ke Bengkulu, Cirebon, dan Jambi yang merupakan mitra dagang Kesultanan Demak.

Batik ini disebut “bersurat” karena berisi potongan-potongan surat dari Alquran. Semula batik besurek difungsikan sebagai kain pembungkus Alquran dan upacara adat. Makanya tidak dapat digunakan secara sembarangan karena kesuciannya dijaga dan dihormati.

Sementara, batik besurek yang digunakan secara bebas saat ini hanya berisi kaligrafi Arab yang tak memiliki makna, melainkan hanya hiasan. Seiring perkembangan jaman, kini batik besurek telah dimodifikasi dengan tambahan motif berupa bunga cengkeh atau tumbuhan lain.

Dalam perkembangan batik sebagai salah satu aset wastra (kain tradisional) Indonesia, telah terjadi ragam akulturasi budaya yang semakin memperkaya keunikan lokal Nusantara. Meskipun pada masa awal sempat memunculkan sekat-sekat sosial, kini batik telah menjadi kebanggaan yang dimiliki setiap warga negara Indonesia.

Tinggalkan Komentar