Ahad pagi, 3 April 2022. Bertepatan dengan hari pertama Ramadan 1443 H. Aku kembali berada di Kota Bandung. Kota Kembang pagi itu masih berselimut hawa dingin. Aku akan memulai acara jalan pagi dari kawasan Jalan Abdul Rahman Saleh, yang oleh sejumlah kawanku kerap disingkat menjadi ARS. Jalan ini berada di sisi barat Kota Bandung, tak jauh dari Bandara Internasional Husein Sastranegara.

Jalan Abdul Rahman Saleh/Djoko Subinarto

Dulu, ada sebuah rumah bercat putih, berpagar besi, di Jalan Abdul Rahman Saleh ini—yang antara pertengahan tahun 90-an dan pertengahan 2000-an kerap menjadi tempat ngumpul aku dan kawan-kawanku. Hampir saban petang hingga malam menjelang, kami nongkrong di rumah ini, main pingpong, main karambol atau hanya ngerumpi hal-hal ringan keseharian sembari menikmati mie kuah hangat atau bakso tahu goreng pedas bumbu kacang.  

Menurut sejumlah kawanku, rumah di Jalan Abdul Rahman Saleh ini ada “penunggunya.” Beberapa kawanku pernah mengalami kejadian-kejadian ganjil, saat mereka sedang berada di kamar mandi. Beberapa kawanku lainnya mengaku pernah melihat sosok “penunggu” rumah ini. Namun, beberapa kali aku menginap di rumah tersebut, tak pernah sekali pun mengalami hal-hal aneh maupun melihat sesuatu ataupun sosok tertentu, seperti yang pernah dialami sejumlah kawanku.

Jalan Abdul Rahman Saleh sendiri melintang dari barat ke timur. Jika terus ke barat, jalan ini langsung tembus ke Jalan Garuda. Sedangkan jika terus ke timur, jalan ini akan tembus ke Jalan Pajajaran. Pagi itu, aku memilih bergerak ke arah timur.

Suasana masih sangat sepi. Sebagian besar orang mungkin lebih memilih rebahan di balik selimut tebal setelah melaksanakan ibadah sahur dan salat Subuh. Biasanya, di Minggu pagi, lumayan banyak pesepeda yang merayapi Jalan Abdul Rahman Saleh menuju arah timur. Tapi, pagi itu, aku belum mendapati seorang pun goweser yang tengah merayapi jalan ini.

Saat aku bergerak ke arah timur, di sebelah gerai pulsa dan aksesoris ponsel yang masih tertutup rapat-rapat, seorang pengemudi ojek daring terlihat sedang duduk di atas tembok sambil menggular-gulir gawainya. Barangkali ia sedang memastikan sebuah orderan pagi itu.

Pohon-pohon bungur yang berjajar di seberangku tampak membeku. Daunnya demikian rimbun dan kuyup dibasahi embun. Sayang, belum musim berbunga sehingga keelokan pohon-pohon itu kurang begitu menonjol. Tak terasa, kakiku telah mendekati ujung jalan Abdul Rahman Saleh. Di depanku, lampu lalu-lintas menyala merah. Empat sepeda motor berhenti. Aku pun ikut berhenti.

Begitu lampu menyala hijau, ketiga sepeda motor itu langsung tancap gas ke arah timur. Sementara aku buru-buru menyeberang menuju trotoar utara Jalan Pajajaran. Dibanding Jalan Abdul Rahman Saleh, Jalan Pajajaran jauh lebih lebar. Sayang, bagian timur jalan ini kurang mulus. Bumpy, kata orang Barat. Di sekitaran Jalan Pajajaran, terdapat nama-nama jalan yang yang diambil dari khazanah pewayangan. Ambil Contoh, Jalan Semar, Jalan Baladewa, Jalan Nakula, Jalan Kresna, Jalan Ugrasena, Jalan Bima, Jalan Arjuna, Jalan Jatayu, Jalan Sinta dan sebagainya.

Pabrik Kina/Djoko Subinarto

Pabrik Kina

Di ujung barat Jalan Pajajaran, terdapat Tempat Pemakaman Umum (TPU) Sirnaraga, yang pintu masuknya menghadap langsung ke Jalan Pajajaran. Sirnaraga merupakan TPU Muslim paling tua di Kota Bandung. TPU ini telah beroperasi sejak tahun 1920-an. Tak jauh dari Sirnaraga, terdapat TPU Kristen Pandu. Di TPU Pandu inilah jasad Charles Prosper Wolff Schoemaker, salah seorang arsitek Gedung Merdeka, dikebumikan.

Aku susuri Jalan Pajajaran ini hingga ujung timur. Saat melintas di depan gedung Wyata Guna, kulihat ada dua perempuan berkerudung yang berjalan di seberangku. Keduanya mengenakan pakaian olahraga. Mereka kemudian masuk ke GOR Pajajaran. Di depan GOR Pajajaran, terlihat lima mobil mengkilap terparkir. Persis di samping GOR Pajajaran, berdiri gedung KONI Jabar. Seorang petugas keamanan berseragam lengkap tampak sudah stand by bertugas di depan gerbang gedung KONI pagi itu.

Di ujung Jalan Pajajaran, pada sisi kanan jika kita melintas dari arah barat, terdapat bangunan pabrik kina, dengan cerobong asapnya yang khas. Nama asli gedung ini adalah Bandoengsche Kinine Fabriek NV. Berdiri pada tanggal 28 Juli 1896. Sekarang, bangunan pabrik kina ini digunakan oleh Kimia Farma.

Kawasan Dago Bawah/Djoko Subinarto

Dari seberang pabrik kina, aku berbelok ke kiri, masuk ke Jalan Cihampelas. Jalan ini, yang biasa disesaki berbagai jenis kendaraan, benar-benar lengang pagi itu. Setelah beberapa puluh meter menyusuri jalan ini, aku kemudian berbelok ke kanan, ke Jalan Wastukancana. Kulihat Pasar Bunga Wastukancana yang juga tampak lengang. Hanya tiga kios, dari sekitar 30-an kios bunga, yang terlihat buka.  

Aku susuri median jalan hingga akhirnya aku sampai di Tugu Sister City Bandung-Braunschweig yang berada di perpotongan Jalan Wastukancana dan Jalan RE Martadinata. Istilah sister city merupakan bentuk kerjasama atau kolaborasi antara dua kota yang berbeda, baik secara lokasi maupun administrasi politik. Sejauh ini, ada 25 kota yang menjalin kemitraan dalam bentuk sister city dengan Kota Bandung.

Dari Tugu Sister City Bandung-Braunschweig, aku lanjutkan jalan-jalan pagiku menuju daerah Dago. Kicau sejumlah burung liar yang bertengger di pepohonan tinggi terdengar lebih nyaring pagi itu di kawasan Dago bawah, lantaran sepinya arus lalu-lintas. Terlihat seorang petugas penyapu jalan sedang melakukan tugasnya tak jauh dari persimpangan Jalan Sultan Agung-Jalan Ir. H. Juanda. 

Salah satu sudut Taman Ganesha/Djoko Subinarto

Botol Anggur Merah

Kakiku terus melangkah, menjauhi petugas penyapu jalan yang sedang membersihkan kawasan Dago bawah. Di sekitar Taman Cikapayang, tempat para pegowes biasa berkumpul, hanya kudapati seorang pegowes di sana. Ia terlihat sedang berupaya swafoto di dekat patung dadakan Haji Geyot, yang rutin muncul di beberapa sudut Kota Bandung saban Ramadan.

Dari Taman Cikapayang, berjalan sedikit lebih ke utara, aku kemudian berbelok ke Jalan Ganesha. Tak ada aktivitas mencolok di sepanjang jalan ini. Masjid Salman tampak sunyi. Di depan gerbang utama kampus ITB, empat petugas kebersihan sedang menunaikan tugasnya.

Aku memilih mendekat ke Taman Ganesha. Beberapa onggokan sampah menyambut kedatanganku. Di sebuah pot tanaman, tergeletak sebuah botol hijau. Bukan botol kecap. Bukan pula botol madu maupun botol kayu putih. Melainkan botol anggur merah. Entah siapa gerangan yang minum anggur merah dan kemudian iseng menaruh botolnya di pot tanaman yang ada di Taman Ganesha. 

Sembari duduk meluruskan kedua kakiku di pelataran Taman Ganesha, menghadap ke arah kampus ITB, aku kemudian memutuskan untuk segera menyudahi jalan-jalan pagi di Ahad itu, yang bertepatan dengan hari pertama Ramadan, sebelum matahari meninggi dan cuaca kian terik.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar