Tubuhnya kurus kecil. Kulitnya gelap. Rambutnya tipis nyaris tidak ada. Di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka entah karena apa. Dan nada suaranya masih agak tinggi khas laki-laki yang belum pubertas. Bicaranya kadang masih belum benar-benar jelas. Banyak pertanyaan kadang muncul darinya soal hal remeh temeh sampai aneh bin ajaib. Maklum, masih SD. Sialnya saya lupa ia sedang duduk di kelas berapa dengan seragam putih merah dan ranselnya yang punya ukuran besar itu.
Acap kali ia main ke rumah sementara saya yang dindingnya masih belum sempurna—tanpa dihaluskan, tanpa cat. Ia kerap duduk di teras rumah yang juga masih belum sempurna—tanpa keramik lantai. Sepulang sekolah atau sengaja bolos sekolah. Saat ditanya alasan absen, ia hanya diam.
Tingkahnya khas anak-anak. Suka bercanda dan begitu cari perhatian. Apalagi saya dan kawan-kawan lain adalah orang baru yang datang dari Jawa. Ia begitu penasaran dengan saya dan rekan-rekan. Apa-apa yang kami lakukan kemudian setelah sampai di lingkungan tempat tinggalnya selalu anak itu pantau. Terkadang ia seorang sendiri tanpa takut dengan orang baru seperti kami.
Beberapa hari saat awal kedatangan sebenarnya ia seperti tak akur dengan saya. Caranya cari perhatian dengan jail bersengkongkol dengan seorang kawan saya. Makin iseng saat ia mulai seolah bermain peran sebagai anak. Tentu saja saya semakin jadi bahan bercandaan kawan-kawan lain. Perihal duduk, ia tak jarang maunya berdekatan dengan saya. Atau saat berjalan pun demikian.
Menjelang kepulangan, ia memaksa ikut saya naik bak terbuka menuju gua dan pantai. Duduk dekat saya dengan anteng tak seperti biasanya yang petakilan. Ibunya tak lupa titip sang anak ke saya. Bagaimana pun, perjalanan kali itu tak sebentar. Kok jadi seperti ibu beneran. Niat hati menikmati sepoi-sepoi angin dan halusnya pasir jadi harus dibarengi juga “mengurus” bocah.
Sepanjang pelancongan menyusuri pelbagai pantai di timur Indonesia itu, bocah itu tak lepas dari pantauan saya. Begitu pun ia yang enggan berjauhan.
Hendrik namanya. Bocah dari Tual, Maluku Tenggara yang panggil saya mama. Menyusuri pantai dengan cardigan hitam kebesaran milik saya sambil gantungkan kamera di leher. Tak sangka, bocah jail itu bisa manis juga dengan berusaha mengabadikan saya dan kawan-kawan di pantai yang saat itu hitungan hari akan tinggalkan Tual.
“Jangan pulang. Di sini aja,” ujar Hendrik, anak laki-laki Tual yang entah bagaimana kabarnya sekarang.
Kenagan soal bocah nakal itu mendadak menyeruak belakangan ini seiring dengan kerinduan saya soal melakukan perjalanan. Perasaan rindu melancong, berkelana, traveling, atau apapun disebutnya itu mungkin tidak hanya dirasakan saya seorang, tapi juga banyak orang lain di luar sana yang kini harus lebih banyak mendekam di dalam rumah. Paling-paling “liburan” di beberapa kota terdekat atau dalih “Work From Bali”. Tapi, meski demikian rasanya tentu berbeda seperti sebelum Maret 2020—saat pandemi datang di Indonesia.
Bila ditanya apa yang dirindukan dari perjalanan sebelum pandemi, mungkin jawaban saya akan mengerucut ke pengalaman berjumpa dengan aneka rupa manusia, termasuk Hendrik. Setiap dari mereka selalu punya ceritanya masing-masing yang menarik sekaligus membekas. Aneka cerita serta pelajaran hidup pasti didapat dibanding hanya di depan layar laptop untuk selesaikan tasks yang tak kunjung berakhir di zaman yang mulai memasuki era Work From Anywhere.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.