Akhirnya, saya berkesempatan ke makam K.H. Sholeh Darat di kompleks Taman Pemakaman Umum (TPU) Bergota Semarang, Minggu siang (29/12/2024) lalu. Telah lama saya mencari waktu yang pas untuk berziarah ke makam ulama besar Semarang itu, tetapi baru terealisasi pekan terakhir saat musim liburan akhir tahun.
Awalnya saya menyangka makam K.H. Sholeh Darat sepi peziarah. Kalaupun ada, tak terlampau banyak. Tidak seramai makam para wali, seperti Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak; atau Sunan Kudus dan Sunan Muria di Kudus. Ternyata, sangkaan saya salah besar.
Saat saya tiba, sejumlah bus besar yang membawa rombongan para peziarah terparkir di sepanjang Jalan Kyai Saleh, Randusari—tempat TPU Bergota berada. Sepanjang jalan dari gapura masuk ke makam banyak peziarah lalu-lalang.

Berjubel di Makam
Mendekati makam K.H Sholeh Darat, kepadatan pengunjung semakin terpampang nyata. Makamnya berjarak sekitar 300-an meter dari gapura, terletak di sebelah kanan jalan. Untuk mencapai makam, kita harus masuk melalui pintu gerbang bertuliskan “Makam K.H. Sholeh Darat Bergota Semarang” dan menyusuri jalan setapak yang di kanan-kirinya terdapat banyak nisan.
Sebelum mencapai pintu gerbang makam K.H. Sholeh Darat, di sebelah kiri jalan, kita akan mendapati jalan setapak lain yang terdapat papan petunjuk bertuliskan “Makam K.H. Ridwan Mujahid, Mustasyar PBNU Pertama”, yang masih harus masuk lagi sekitar 400 meter. Namun, karena tujuan utama saya bukan ke sana, saya bergegas ke makam K.H. Sholeh Darat.
Setiba di makam KH. Sholeh Darat, saya mendapati riuh pengunjung yang berjubel. Karena banyaknya peziarah dan tempat terbatas, saya harus antre sesuai rombongan bila ingin melantunkan zikir dan doa.
Beruntung, saya bisa segera masuk begitu sampai makam, bergabung dengan rombongan jemaah peziarah dari Pekalongan. Setelah berzikir dan berdoa seperlunya, saya pun bergegas keluar dari kompleks makam, memberi kesempatan rombongan peziarah yang lain.
Sebelum keluar TPU, saya sempat membeli sebuah kaus bertuliskan K.H. Sholeh Darat, sebagai oleh-oleh dan kenangan pernah berziarah ke makam ini. Meski tentu saya ingin kembali berziarah lagi ke sini.
Selayang Pandang K.H. Sholeh Darat
KH. Sholeh Darat adalah seorang ulama besar pada masanya yang lahir di pesisir utara Jawa, tepatnya di Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Jepara sekitar tahun 1820 M. Nama aslinya Muhammad Sholeh bin Umar, tapi juga dikenal dengan nama K.H. Sholeh Darat As-Samarani.
Darat yang dilekatkan pada namanya merujuk pada sebuah kampung dekat pantai utara Kota Semarang. Kampung itu saat ini terletak di Jalan Kakap Darat Tirto 212, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara, yang dulu bernama Kampung Mlayu Darat.
Di kampung itulah dulu K.H. Sholeh Darat mendirikan pesantren dan menjadikannya sebagai pusat kaderisasi ulama. Lalu penyebutan “As-Samarani” yang berarti Semarang merupakan bagian integral dari nama seorang ulama ternama yang sudah menjadi kelaziman pada masa itu. Penyertaan nama kota dimaksudkan untuk menunjukkan dari mana ulama itu berasal atau tinggal.
K.H. Sholeh Darat merupakan putra Kiai Umar, seorang ulama berpengaruh di masanya. Kiai Umar juga merupakan salah satu ulama pejuang kepercayaan Pangeran Diponegoro, khususnya daerah Semarang dan umumnya Jawa bagian utara.. Kiai Umar terlibat aktif dalam Perang Jawa (1825–1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro melawan kolonial Belanda.
K.H. Sholeh Darat adalah seorang ulama mumpuni dan alim karena kapasitas ilmunya yang mendalam terkait banyak disiplin keilmuan Islam. Sebab, sejak kecil K.H. Sholeh Darat sangat tekun mendalami ilmu agama. Sejak belia, K.H. Sholeh Darat dibimbing langsung oleh ayahnya tentang dasar-dasar ilmu keislaman.
Usai mengaji di rumah, K.H. Sholeh Darat melakukan pengembaraan intelektual dengan berguru kepada sejumlah ulama di luar Jepara, antara lain berguru kepada Kiai Syahid di Pesantren Waturoyo, Margoyoso, Kajen, Pati. Lalu berguru kepada Kiai Muhammad Sholeh bin Asnawi di Kudus. Setelahnya, bertolak menuju ke Semarang untuk menimba ilmu kepada Kiai Ishak Damaran, Kiai Abu Abdullah Muhammad al-Hadi al-Baiquni, Ahmad Bafaqih Ba’alawi, dan Abdul Ghani Bima.
Setelah berguru kepada ulama di Pati, Kudus, dan Semarang, K.H. Sholeh Darat masih melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Loano, Purworejo. Di sini, beliau berguru kepada Haji Muhammad Irsyad.
Meski telah memiliki kapasitas ilmu yang memadai, yang beliau timba dari para ulama mumpuni pada zamannya, tetapi gairah menuntut ilmu K.H. Sholeh Darat masih tetap membara. Beliau meminta izin ayahnya, Kiai Umar, untuk melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Mekah dan ayahnya pun mendukung niat mulia anaknya itu.
Oleh Kiai Umar, K.H. Sholeh Darat diajak ke Mekah melalui Singapura dengan dua tujuan sekaligus, yaitu menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu di bawah bimbingan ulama-ulama terkemuka di tanah suci.

Berguru di Mekah dan Pulang ke Tanah Air
Di Mekah, dan juga Madinah, K.H. Sholeh Darat berguru kepada para ulama, baik yang berasal dari Nusantara maupun Arab. Bekal keilmuan yang dibawanya dari tanah air, memudahkannya mendalami ilmu-ilmu keislaman selama di tanah suci.
Karena itulah, selain belajar, K.H. Sholeh Darat juga mengajar sehingga banyak ulama dari Indonesia yang memiliki sanad keilmuan dari beliau. Bahkan di Mekah, K.H. Sholeh Darat juga diangkat sebagai seorang mufti—ulama yang mempunyai otoritas memberi fatwa, yang mengantarnya mempunyai reputasi internasional.
Ada banyak ulama Mekah yang menjadi guru K.H. Sholeh Darat, di antaranya adalah Syekh Muhammad al-Muqri al-Mishri, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrawi al-Mishri al-Makki, Sayyid Muhammad Sholeh bin Sayyid Abdurrahman az-Zawawi, Syekh Zahid, Syekh Umar as-Syami, Syekh Yusuf al-Mishri, dan Syekh Jamal (Mufti Mazhab Hanafi).
K.H. Sholeh Darat tinggal di tanah Arab hingga tahun 1880. Kurang lebih 45 tahun—bila K.H. Sholeh Darat berangkat ke Mekah tahun 1835. Selama puluhan tahun itu, K.H. Sholeh Darat pernah menikah dengan seorang perempuan Arab. Sayang, tidak ada data nama perempuan itu. K.H. Sholeh Darat memutuskan kembali ke tanah air setelah istrinya meninggal dunia.
Sebenarnya, K.H. Sholeh Darat merasa nyaman tinggal di Mekah. Apalagi bila mengingat ketika itu Indonesia masih menjadi tanah jajahan kolonial. Namun, kesadaran untuk ikut menyiarkan Islam di tanah air, membuat K,H. Sholeh Darat memutuskan untuk pulang.
Salah satu sosok yang disebut-sebut berjasa memengaruhi keputusan K.H. Sholeh Darat untuk pulang adalah Kiai Hadi Girikusumo. Menurut Kiai Hadi, K.H. Sholeh Darat adalah sosok alim yang menguasai banyak disiplin ilmu agama. Sangat disayangkan bila dirinya menetap di Mekah dan tidak pulang ke tanah air.
Keilmuan K.H. Sholeh Darat, menurut Kiai Hadi, akan lebih bermanfaat bila diamalkan di tanah air, mengingat masyarakat—khususnya Jawa—ketika itu masih sangat awam soal agama. Sentuhan dari Kiai Hadi itulah yang turut membuka kesadaran dan memantapkan hati K.H. Sholeh Darat untuk akhirnya berkenan pulang.
Setiba di tanah air, K.H. Sholeh Darat diambil menantu oleh Kiai Murtadlo—teman seperjuangan Kiai Umar. K.H. Sholeh Darat dinikahkan dengan putri Kiai Ali Murtadlo yang bernama Shofiyah.
Menurut cerita, setelah Kiai Murtadlo mendengar kabar duka istri K.H. Sholeh Darat meninggal dunia di Mekah, beliau langsung mengirim pesan kepada K.H. Sholeh Darat lewat jemaah haji agar pulang ke tanah air, tepatnya ke Semarang, untuk mengajar dan syiar dakwah Islam di Semarang. Begitu sampai, K.H. Sholeh Darat menetap di Semarang dan mendirikan pesantren di Kampung Darat.

Mahaguru Ulama Nusantara
Sepeninggal K.H. Sholeh Darat, beliau dijuluki “Mahaguru Ulama Nusantara” karena banyak santrinya yang di kemudian hari diketahui berhasil menjadi ulama-ulama besar Nusantara. Di antara ulama-ulama besar yang pernah berguru kepada K.H. Sholeh Darat adalah K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), K.H. Umar (pendiri Pesantren Al-Muayyad, Solo), K.H. Dahlan Tremas (ahli falak), dan K.H. Munawwir (pendiri Pesantren Krapyak, Yogyakarta).
Pahlawan emansipasi wanita kelahiran Jepara, RA Kartini, disebut-sebut juga pernah menimba ilmu pada K.H. Sholeh Darat sebelum akhirnya menikah dengan Bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojoadiningrat. Selama kurang lebih dua tahun, RA Kartini aktif mengikuti pengajian beliau setiap Ahad di pendopo Kabupaten Demak, ketika pamannya menjabat sebagai bupati.
K.H. Sholeh Darat meninggal dunia pada Jumat Legi, 28 Ramadan 1321 H (18 Desember 1903) di usia sekitar 83 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Bergota, salah satu pemakaman tertua di Semarang yang didirikan tahun 1862 oleh pemerintah Hindia Belanda saat di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Pieter Mijer.
K.H. Sholeh Darat mewariskan banyak karya berupa puluhan kitab di bidang fikih, tafsir, ulumul Qur’an, dan tasawuf dengan penulisan pegon (huruf Arab berbahasa Jawa). Salah satunya kitab tafsir Fayd ar-Rahman fi Tarjamah Tafsir al-Kalam al-Malik al-Dayyan, yang salinannya dapat dijumpai di Museum RA Kartini Rembang. Sebuah sumber menyebutkan, KH. Sholeh Darat menghadiahkan kitab tersebut kepada RA Kartini sebagai hadiah pernikahannya dengan bupati Rembang.
Referensi:
Hakim, Taufiq. (2016). Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad XIX-XX M. Yogyakarta: InDes Publishing.
Hazen, H. Ibnu, dkk. (2015). 100 Ulama dalam Lintas Sejarah Islam Nusantara. Jakarta: Lembaga Takmir Masjid PBNU.
Kholqillah, Ali Mas’ud. (2018). Pemikiran Tasawuf KH. Saleh Darat Al-Samarani: Maha Guru Para Ulama Nusantara. Surabaya: Pustaka Idea.
Winarno, Edy. (2017). Kartini (Raden Ayu Bupati Djojoadiningrat) di Rembang. Rembang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Rembang.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.