Si Hitam melaju tenang. Barangkali hanya 30 km/jam. Motor roda dua yang saya miliki itu memang tak bisa melaju lebih dari 60 km/jam. Maklum, sudah tua. Jika melebihi batas maksimum kecepatannya, rodanya akan goyang, seperti kaki yang gemetar ketika turun gunung. Meski begitu, sejak 2004 ia setia menemani saya mengaspal. Kata montir yang kerap menyervis di bengkel langganan, mesinnya masih bagus dan bersih. Suatu kebanggan, bukan? Namun tulisan ini bukan tentangnya, melainkan sebuah rumah yang hendak saya tuju pada sore kali ini.
Rumah itu berada di selatan Kota Yogyakarta. Tepatnya di Jalan Minggiran No. 61A. Rumah yang selalu menjadi tujuan jika saya hendak pergi entah ke mana; Kebun Buku.
Menyeberangi Jalan Mataram, melawati Pasar Beringharjo lalu menembus Malioboro, saya berhenti di simpang Nol Kilometer Yogyakarta. Melintasi Alun-alun Utara, saya berbelok sedikit ke timur untuk kemudian menuju Panembahan dan terus ke selatan hingga bertemu simpang Gading. Lepas lampu hijau menyala, motor masih saya lajukan ke selatan memasuki kawasan Mantrijeron, dan di suatu simpang tiga, saya berbelok ke barat. Belokan terakhir memasuki Kampung Minggiran. Matahari masih bungah pada jam lima sore yang sinarnya membuat silau. Saya pelankan laju dan mengulur jarak dengan kendaraan di depan. Takut kalau-kalau saya tidak melihat yang terlalu dekat. Namun keadaan itu tak bertahan lama, hingga akhirnya motor berhenti di suatu lahan di sisi utara jalan. Kebun Buku berada di seberangnya.
“Hai, Bestie,” teriak Ifah sembari melambaikan tangan ketika ia melihat saya hendak menyeberang jalan. Sambutan yang ramah dan akan selalu ramah.
Memasuki gerbang hijau, Ariel tampak duduk menghadap laptop. Ifah dan Ariel adalah dua punggawa Kebun Buku. Ariel akan menjawab segala pertanyaan tentang buku dan Ifah yang menyeduhkan minuman untukmu sementara sore terus langsir menuju senja. Kali ini saya memesan cokelat panas dan memang demi minuman itu saya selalu datang. Juga untuk melanjutkan membaca buku Keberangkatan karya NH Dini koleksi Kebun Buku.
Di antara kepulan uap panas secangkir cokelat panas dan temaram lampu kuning, saya teringat memori pertama kali mengenal Kebun Buku.
Sore berdebu pada tarikh pertengahan 2020. Saya memasuki ruangan dengan pintu lipat abu-abu yang setengah tertutup. Kala itu saya bertemu janji dengan seorang teman lama. Ia mengirimkan peta lokasi di suatu pesan singkat sebelumnya yang kemudian mengarahkan saya ke tempat ini. Melihat tampak depan, saya merasa tak asing dengan rumah ini. Saya mencoba mengingat-ingat. Oh, ya. Tempat ini sempat dipakai oleh suatu kolektif seniman yang cukup senior di Yogyakarta; Ruang Mes 56.
Memasuki ruangan yang penuh sarang laba-laba, seorang lelaki mempersilakan saya masuk yang kemudian dikenal dengan nama Jun. Saya duduk di suatu kursi sedan rotan yang menua. Meski begitu, tak berkurang kekuatan dan pula keindahannya. Sementara pasangan meja dan kursi lainnya, berdiam di beberapa titik.
“Ini tempat aku ngumpet,” ucap teman yang sudah dulu datang.
Saya menjawab dengan anggukan kepala yang lalu mengarahkan pandangan ke segala penjuru ruangan. Lukisan-lukisan memenuhi dinding putih gading, sementara beberapa pottery terpajang di meja-meja. Lampu sorot tak menyala semua. Redup.
“Ini galeri, Mas? tanya saya ke Jun.
“Iya,” jawab Jun, “biasa buat pameran mahasiswa ISI.”
Awal ihwal tempat ini bernama Kebun Bibi. Pemiliknya seorang Belanda yang, barangkali mencintai Indonesia. Hans Knegtmans, biasa disapa Pak Hans. Tubuhnya ramping menjulang tinggi. Usianya telah menempuh separuh hidup. Namun jangan ragukan kaki jenjangnya itu berjalan serta tangannya bergemulai mencari yang entah apa.
Lepas pengalaman sebelumnya beberapa kali berkunjung ke Indonesia, khususnya Bali, pada Oktober 2014 Pak Hans datang ke Yogya. Barangkali, kecintaannya pada seni dan budaya menjadi musabab tatkala ia injakkan kaki di Kota Budaya untuk melihat geliatnya. Pada Januari 2015, Pak Hans mendirikan Kebun Bibi yang diperuntukkan sebagai galeri ruang pajang karya untuk para seniman.
“Lalu, buku-bukunya dari mana?” tanya saya ke Jun mengenai koleksi buku yang tersusun rapi di rak-rak.
“Pak Hans sendiri yang cari,” jawabnya.
Jun melanjutkan cerita. Januari 2020 Kebun Bibi berubah menjadi Kebun Buku. Barangkali, ya, barangkali, ia ingin memperluas “rumahnya” itu menjadi tak sekadar ruang pamer. Juga karena belum tersedianya ruang-ruang yang menyediakan buku-buku impor di Yogya.
Tiap enam bulan Pak Hans berpindah tinggal antara Belanda dengan Indonesia. Di kampung halamannya, Pak Hans mencari buku-buku layak baca lalu mengirimkannya ke Indonesia. Lagi-lagi saya mafhum musabab koleksi buku-buku yang kebanyakan berbahasa Belanda, beberapa Inggris, dan sedikit Jerman.
Saya membayangkan fragmen film. Lelaki sedang berjalan, menyusuri kota tua dengan deretan bangunan yang tak kalah renta di Eropa. Angin berhembus kencang pada suatu musim dingin. Lelaki itu memasuki kios loakan lalu tangannya mulai menyelinap di tumpukan, mencari yang, orang banyak menyebut sebagai jendela dunia. Dikumpulkan buku-buku itu di rumahnya, disusun dalam dus-dus, lalu dikirimkan ke Indonesia. Buku-buku itu melanglang buana seperti kakinya yang telah hinggap dari Barat Jauh menuju Timur Jauh. Supaya bisa dibaca oleh mata-mata yang sebelumnya hanya mampu mendengar kisahnya samar-samar, seperti cerita Leo Tolstoy, Henry James, dan Shakespeare.
“Tapi lagi tutup karena pandemi,” ucap Jun.
Ah, kini saya tahu musabab tentang laba-laba yang bersarang di sudut-sudut.
Secangkir cokelat panas buatan Ifah telah menjadi hangat. Saya menyesapnya perlahan, menimbulkan bunyi decak. Bunyi yang kembali mengantar saya pada memori perayaan ulang tahun Kebun Buku ketujuh pada Januari 2022 lalu. Sahabat berdatangan memenuhi ruangan dengan lantai tegel tua berwarna abu-abu. Ada orang lama dan sisanya teman baru. Beberapa di antaranya mempersembahkan nyanyian sementara makanan dan minuman mengalir tanpa henti. Pun tawa renyah menghangatkan suasana. Pesta ulang tahun sederhana itu menjadi titik balik rumah ini kembali bergeliat lepas dua tahun redup.
Kebun Buku adalah Yogya Kecil. Sejak 2014 menetap di Yogya, saya telah dipertemukan dengan banyak hal; teman-teman baru, pengalaman baru, juga rasa yang baru. Orang memang datang dan pergi, tapi tak sedikit juga memilih menetap karena rasa atau energi yang sama. Kebun Buku juga mengingatkan saya pada masa kuliah, medio 2000an. Orang-orang yang telah memilih menetap di sebuah ruang kolektif, kemudian menjadikan kedatangannya tanpa alasan, yang secara organik akan membentuk lingkar pertemanannya sendiri. Seperti pulang ke rumah untuk bertemu dan menghabiskan waktu, atau sekadar membaca seraya menikmati seduhan dalam cangkir.
Klub Buku Yogya salah satunya. Komunitas ini, tiap minggu kedua dan keempat secara regular mengadakan diskusi buku. Tak melulu harus membaca buku terlebih dahulu yang akan didiskusikan, tapi sah-sah saja jika ingin datang hanya untuk mendengarkan. Tidak akan ada penghakiman. Anggap saja seperti berbincang sederhana.
“Basis komunitasnya kuat banget,” ucap Erni, seorang yang saya kenal di Kebun Buku ketika kami bertemu di suatu lawatannya ke Yogya.
“Di Yogya enggak ada kompetisi, tapi kolaborasi,” Byan, teman lain yang saya kenal ketika pesta ulang tahun Kebun Buku lalu, menyambung.
“Yogya itu kecil,” kali ini saya menyahut, “orangnya, ya, itu-itu aja. Kalau komunitasnya enggak solid, kegiatan seni dan budayanya bakal bubar jalan.”
Sampai catatan ini saya buat, tak terhitung telah seberapa panjang deretan perbincangan yang terjadi di Kebun Buku. Terbersit harapan, semoga terus memanjang. Singgahlah jika ada kesempatan. Karena inilah Yogya sesungguhnya, jujur dan sederhana. Sudut-sudutnya adalah rumah, yang selalu memanggil untuk datang lagi dan lagi. Yang tak akan penghakiman jika kita berjalan sendiri dan yang tak harus ada alasan hanya untuk bertemu di beranda rumah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.