Dilihat dari perjalanan-perjalanan yang telah saya lakukan, saya lebih suka berjalan secara berkelompok atau minimal berdua. Mungkin karena sedari dulu lebih sering jalan karena diajak daripada pergi atas inisiatif sendiri. Jalan bersama, beban perjalanan bisa dibagi bersama dan kesenangan juga bisa dinikmati bersama.
Selain dua itu, tentu masih banyak manfaat yang saya dapat dari melakukan perjalanan berkelompok. Saya tidak mahir menulis. Berjalan dengan penulis membuat saya belajar menggali cerita dan melihat dunia dari sudut pandang penulis. Bepergian dengan teman yang hobi mengulik sejarah, saya jadi belajar menghargai masa lalu sebuah tempat. Berjalan secara berkelompok bikin saya belajar berkompromi dengan keadaan.
Jadi itulah yang membuat saya lebih suka mengikuti dan menemani teman-teman jalan ketimbang pergi sendirian. Mereka juga kelihatannya suka mengajak saya. Sudah banyak yang menyebut alasannya. Garis besarnya tiga. Pertama, saya orangnya irit kalau urusan makan. Tidak banyak mau. Kedua, saya tak merokok dan minum alkohol. Teman-teman yang merokok mestilah merasa lintingan tembakaunya awet jika jalan dengan saya, sebab tak ada pesaing. Karena tak menyentuh alkohol, saya bertugas menjadi penjaga teman-teman yang kebetulan mabuk. Ketiga, ketangguhan saya sudah diuji (mohon bedakan dengan “teruji”), baik dari segi fisik maupun metafisik.
Kota Jayapura menjadi salah satu latar episode perjalanan berkelompok saya, bersama Mawski dan Ayos.
Kami ke Jayapura dengan misi mengenal lebih jauh skena hip-hop Papua. Genre ini tumbuh subur di Papua, merasuk ke jiwa anak-anak muda Papua seperti aliran kepercayaan. Kultur hip-hop yang terkesan bebas dan tidak suka diatur mungkin menjadi salah satu faktor kenapa genre musik itu disukai. Di Jayapura, kami melihat bagaimana kultur hip-hop berasimilasi dengan budaya Papua. Cara bicara masyarakat Papua yang cenderung cepat membuat mereka mudah menyesuaikan diri dengan musik yang liriknya diucapkan dengan kecepatan yang rentan untuk ditilang. Lalu ada tarian-tarian tradisional Papua yang juga memiliki ritme menghentak sehingga mudah dipadukan dengan tari modern semisal breakdance.
Misi kami boleh sama, tapi alasan kedatangan kami beda-beda. Kesempatan ke Jayapura berarti kesempatan untuk pulang kampung bagi saya. Jayapura adalah tempat kelahiran saya. Sampai kapan pun Jayapura tetap akan saya sebut sebagai kampung halaman meskipun sejak SMP saya sudah merantau untuk sekolah ke Pulau Jawa. Pulang kampung jarang tebersit dalam pikiran; harga tiket yang mahal lebih nyata ketimbang rasa rindu pada rumah. Jadi, waktu ke Jayapura, mungkin lucu kalau saya pakai kaos dengan kutipan dari Andre Gide yang diterjemahkan Chairil Anwar: “Pulanglah Dia si Anak Hilang.”
Bagi Mawski, perjalanan itu adalah pelarian dari pekerjaannya sebagai videografer dan editor video. Terlalu sering bepergian, dia merasa perjalanan-perjalanan itu bukan lagi petualangan. “Mengangangkat kamera untuk bekerja dan bermain itu tak pernah sama rasanya,” curah Mawski. Ayos beda lagi. Dosen-rasa-kurator yang berdiam di Surabaya ini bikin saya cukup kaget ketika dia bersedia meluangkan waktunya untuk ikut ke Jayapura. Pada akhirnya saya tahu kenapa dia ikut serta, yakni karena merindukan petualangan tak terduga.
Mereka berdua adalah teman diskusi yang baik, pendengar yang enak diajak beradu argumen, tapi mempunyai perilaku bedebah. Pasalnya, sering kali ketika kami bertemu orang baru, wibawa saya bisa mereka jatuhkan dengan mudahnya. Kedua kawan itu punya memori bagus yang mampu mengingat kejadian-kejadian konyol yang menimpa saya. Tapi, karena pada dasarnya saya cuek dan sadar diri, celetukan-celetukan pencair suasana dari mereka itu saya terima saja dengan pasrah.
Kami membagi tugas tanpa dibahas. Inilah enaknya melakukan perjalanan dengan teman-teman yang sudah saling memahami. Saya mengatur jadwal bertemu orang-orang yang paham tentang skena hip-hop, Mawski mengurus peralatan tempur yang digunakan untuk mendokumentasikan momen, dan Ayos memetakan apa saja yang perlu digali selama di Jayapura.
Sebagai Ibu Kota Papua, Jayapura terbagi menjadi lima distrik, yaitu Distrik Jayapura Selatan, Distrik Jayapura Utara, Distrik Muara Tami, Distrik Abepura, dan Distrik Heram. Distrik sebenarnya hanya nama lain dari kecamatan. Penggunaan kata distrik bikin Jayapura terkesan sebagai sebuah tempat futuristik dan modern ala film-film Barat. Tapi Jayapura tampaknya juga sedang ingin mengejar modernitas. Pohon-pohon di gunung mulai habis tergantikan tumbuhan beton. Ruko dan perumahan sudah seperti gulma, ada di mana-mana.
Berita dan cerita yang beredar tentang kota ini lebih banyak seputar pencurian, demo, kerusuhan, atau pemabuk yang membuat onar. Tapi, berita dan cerita kurang sedap itu tentu tak bikin kedua kawan tangguh itu ciut nyali. Selama di Jayapura kami tinggal di markas Creative Digital Papua. Berlokasi di Tanah Hitam, jaraknya hanya 3 km dari pusat kota Abepura. Sebenarnya base camp ini adalah kos petakan milik Muhajir, kawan SMP saya. Dia menjadikannya sebagai tempat berkumpul anak-anak muda.
Beberapa peristiwa yang menguji ketangguhan kami masih bisa saya ingat dengan jelas. Salah satunya adalah waktu Mawski sedang mengambil gambar di menara TVRI yang lebih dikenal sebagai Jayapura City Tower. Dari sana, pemandangan Jayapura dari atas bukit bagus sekali, apalagi jika direkam saat peralihan dari sore ke malam. Ternyata waktu itu sekelompok orang juga berpikiran sama. Bedanya, bagi mereka momen itu adalah waktu yang tepat untuk menikmati alkohol.
Otomatis apa dilakukan Mawski dengan kameranya menarik perhatian mereka. Beberapa di antara mereka kemudian mulai mencoba mendekat dalam keadaan linglung dan mulut berbau alkohol. Untungnya Mawski cukup santai dan tahu harus melakukan apa. Tanpa rasa canggung dia menyapa mereka seperti sudah saling kenal. Dengan pendekatan basa-basi, akhirnya dia menyelesaikan urusan dengan aman.
Ada juga satu kejadian saat kami mewawancarai salah seorang narasumber. Mungkin karena tidak pernah diwawancarai depan kamera, sang narasumber cukup kaku berhadapan dengan lensa. Tapi, keluwesan Ayos membuka obrolan dan menggali cerita tanpa disadari membuat kekakuan mencair. Lama-lama, sang narasumber bahkan seperti lupa bahwa dirinya sedang direkam. Perjalanan mengajarkan kita bagaimana memperlakukan orang. Dengan terus mengasah diri, kita juga ikut terbentuk.
Tapi tak selamanya jalan itu mulus. Dalam perjalanan itu, kami sarapan nasi kuning tiap pagi, makan siang tak menentu, dan makan malam kadang-kadang kami santap tengah malam. Pola tidur kami juga berantakan. Dengan pola makan dan tidur yang berantakan itu, kami asyik bermain ke sana kemari.
Dan akhirnya ketangguhan Ayos dan Mawski pun memudar. Mereka serempak merasa badan tak enak. Demam mereka, dan muka pucat. Saya? Dengan cuek, seperti biasa, saya anggap saja itu karena mereka kurang makan.
“Dikasih makan sate kambing pasti sembuh,” celetuk saya dengan yakin.
Dan mereka percaya saja, sampai Muhajir melihat keadaan mereka lalu berkata bahwa mereka harus segera tes darah. Muka mereka yang sebelumnya pucat berubah jadi hampir transparan. Dengan lemas, mereka meminta saya mengantarkan mereka ke rumah sakit untuk tes darah. Setelah tes darah dan diperiksa dokter, ternyata ketahuan kalau mereka memang kena gejala malaria.
Kami saling tatap. Saya menatap untuk mencemooh ketidaktangguhan mereka; mereka menatap dengan pandangan ingin membunuh saya di tempat.
1 komentar
[…] Ada benang-benang yang tak tampak namun saling terhubung di Abepura. Benang-benang itu saling mengaitkan anak-anak mudanya, menyimpul lewat makan pinang bersama, menyeruput saguer, atau entah-kegiatan-apa sebagai perlawanan untuk menunda pagi, sebelum kembali menghadapi rutinitas membosankan yang menyongsong esok hari, lusa, setelah lusa, dan setelahnya, dan setelahnya. (Di kota ini, hari-hari seperti terlalu cepat dilelehkan oleh matahari. Dan orang-orang perlu memutar otak untuk memaksimalkan pengalaman melewatkan malam-malam yang pendek.) […]