Deru mesin klotok membelah sungai kuin, sesekali terdengar suara bocah bocah berteriak memanggil temannya, kemudian terjun dengan berbagai gaya ke sungai. Sungai itu sempit oleh rumah-rumah yang berdiri diatasnya, tetapi masih bisa dilalui berpapasan hingga tiga klotok. Air sungai masih sering digunakan untuk keperluan penduduk sehari-hari. Mandi, mencuci, buang air dilakukan di satu tempat, sungai masih menjadi jantung kehidupan masyarakat Banjar.

Di pinggir sungai, berdiri sebuah mesjid kuno. Bentuknya megah laksana istana tempat bersemayam raja. Konon umurnya sudah hampir mencapai 500 tahun. Mesjid yang dinamakan mesjid Sultan Suriansyah merupakan mesjid pertama yang berdiri di Kalimantan Selatan. Mesjid yang berdiri di pinggir Sungai Kuin ini menjadi simbol agama resmi Kesultanan Banjar. 

Sebelum masuk Islam, Pangeran Samudera yang sedang berebut tahta dengan Pangeran Tumenggung di Daha, menyelamatkan diri dengan mengasingkan diri ke daerah Balandean.

Patih Masih dan patih lain yang ada di sekitar daerah tersebut mengetahui bahwa pewaris kerajaan yang sah ada di daerah mereka, berembuk dan mengangkat Pangeran Samudera sebagai raja mereka. Mendengar hal tersebut, Pangeran Tumenggung lantas marah dan menurunkan pasukan untuk memerangi Pangeran Samudera.

Pangeran Samudera yang terdesak meminta bantuan Demak untuk mengalahkan Pangeran Tumenggung. Syarat yang diajukan oleh Demak hanya satu; Pangeran Samudera harus masuk Islam. Tercapainya kemenangan membuat Pangeran Samudera menjadi raja yang resmi. Kerajaan Banjar bertransformasi menjadi kerajaan Islam dan Pangeran Samudera bergelar Sultan Suriansyah menjadi raja pertama yang masuk Islam.

Mesjid Sultan Suriansyah
Tampak Depan Mesjid Sultan Suriansyah /M. Irsyad Saputra

Saya mengagumi arsitektur mesjid ini. Keseluruhan mesjid ini hampir semua terbuat dari kayu ulin bertipe rumah panggung khas rumah adat di Kalimantan. Ada pengaruh arsitektur Jawa dari desain mesjid ini, hal ini tentu saja memperlihatkan campur tangan Demak dalam perkembangan Islam di Banjar. Ada tiga aspek dari mesjid ini yang dipengaruhi oleh arsitektur mesjid di Jawa: atap meru, ruang keramat (cella), serta tiang guru.

Atap Mesjid Sultan Suriansyah bertipe atap meru. Atap meru merupakan hasil pengaruh dari arsitektur Hindu yang merupakan ciri bangunan suci di Jawa. Bentuk atap bertingkat dan mengecil ke atas merupakan perlambangan vertikalitas dan orientasi kekuasaan. Bangunan dengan atap meru diidentifikasi sebagai bangunan suci.

Para sejarawan Belanda seperti H. J. De Graff, Pijfer, K. Hidding berpendapat bahwa atap yang mengerucut merupakan penggambaran meru yang merupakan gunung suci dalam budaya Hindu-Jawa.

Mesjid Sultan Suriansyah
Atap Meru Mesjid Sultan Suriansyah/M. Irsyad Saputra

Berdasarkan penelitian dari Naimaul Aufa dalam Jurnal Arsitektur Universitas Lambung Mangkurat, bentuk atap Mesjid Sultan Suriansyah lebih runcing daripada atap Mesjid Demak, hal ini merupakan ciri khas tersendiri dari mesjid yang ada di Banjar. Atap meru dengan sudut runcing 60beserta hiasan pada atapnya merupakan simbol pohon hayat dan burung enggang yang merupakan kebudayaan Dayak.

Masuk ke dalam mesjid, saya mendapati beberapa orang yang sedang beribadah, tampak khusyuk berdoa meskipun mulut tertutup oleh masker. Memang pandemi telah mengubah beberapa cara hidup kita, termasuk dalam hal beribadah. Penggunan masker memang diwajibkan pemerintah Indonesia untuk mengurangi jumlah penderita Covid-19 yang masih tinggi.

Ruang keramat atau yang disebut cella yang digunakan untuk bersembahyang tampak kokoh dengan empat tiang yang menopang mesjid. Kesemuanya berhias sulur-sulur dan sudah bercat hijau. Hiasan sulur-sulur memang sudah lazim di setiap mesjid Indonesia.

Penggambaran makhluk hidup yang dilarang memunculkan cara baru untuk menghias mesjid selain menggunakan kaligrafi. Saya mencoba mengetuk tiang ini, bunyi tiang guru dari kayu ulin ini terdengar sangat kokoh, mungkin masih bisa bertahan hingga 100 tahun lagi.

Dekat mihrab terdapat dua buah inskripsi yang bertuliskan huruf Arab Pegon yang menjelaskan tentang pembuatan lawang agung mesjid oleh Kiai Demang Astungkara. Kaligrafi tampak menghiasi ruangan imam dengan dibingkai oleh sulur-sulur. Meskipun semua sudah di cat, tetapi tetap tidak merubah bentuk asli dari mihrab. Atap meru juga menutupi mihrab mesjid, pertanda bahwa ruang imam juga dianggap keramat. Meskipun atapnya berbentuk lebih kecil daripada atap utama.

Mesjid ini sudah mengalami perluasan dan penambahan bangunan baru untuk menampung jamaah yang semakin banyak, meski begitu bentuk asli bangunan tidak diubah sehingga status cagar budaya tidak dicabut. Halaman mesjid juga diperluas untuk menampung parkir pengunjung yang semakin banyak baik dari luar kota hingga luar daerah.

Mesjid ini berdekatan dengan makam Sultan Suriansyah dan keluarga kerajaan yang berada tidak jauh dari mesjid, sekitar 400 meter. Ada dugaan harusnya keraton juga berdiri diantara mesjid dan makam, namun tidak ada sisa-sisa puing keraton yang dahulunya dihancurkan Belanda.

Sore menjelang, dermaga seberang mesjid mulai ramai terisi oleh bocah-bocah. Keseruan mereka menghentikan saya sejenak untuk menonton. Ada yang bermain bola, ada pula yang loncat-loncatan ke sungai. Mesjid Sultan Suriansyah menjadi latar belakang apik pemandangan ini. Kedekatan masyarakat Banjar dengan sungai saya kira masih berlangsung hingga nanti.

Pertanyaan dalam benak saya; apakah masyarakat masih mampu menjaga sungai ini tetap bersih kedepannya?

Tinggalkan Komentar