Tepat pukul dua siang, cahaya matahari sudah tak begitu terik. Sepeda motor bebek yang setia menemani saya telah siap untuk menempuh perjalanan dua jam menuju sebuah tempat di atas awan.
Mungkin semesta tengah mendukung. Arus lalu lintas sepanjang jalan terhitung cukup kondusif. Cuaca juga terasa pas sekali untuk berkendara.
Setiba di Pasar Selo, saya disambut matahari dan Gunung Merapi. Tapi, alih-alih langsung melaju ke tujuan, saya mampir dulu ke sebuah bangunan kecil di samping Polsek, yakni warung soto dan nasi rames. Saya tak perlu menunggu lama sampai semangkuk soto spesial khas Boyolali dengan irisan daging sapi terhidang di meja. Es teh hangat yang masih berasap jadi penawar dahaga saya.
Usai menikmati segarnya soto Boyolali, saya melanjutkan perjalanan ke New Selo Boyolali. Ternyata perjalanan ke sana memerlukan konsentrasi tingkat tinggi. Pasalnya, saya mesti menempuh jalan menanjak dengan aspal yang berlubang di sana-sini.
Jam empat sore saya sampai di parkiran New Selo. Pemandangan dari tempat ini sungguh elok. Pepohonan hijau menghampar luas. Di depan sana, mendampingi Gunung Merapi, sang Merbabu menjulang megah.
Tapi saya belum tiba di tujuan. Dari parkiran, saya mesti lanjut jalan kaki menelusuri rute yang biasa digunakan para pendaki Merapi. Sebentar saja, sekitar lima menit kemudian, saya akhirnya tiba di tujuan: Oemah Bamboo.
Melepas matahari di Oemah Bamboo
Di atas sana, menara bambu tampak dipadati pengunjung yang sedang ber-selfie ria. Untuk tiba di sana, terlebih dahulu saya mesti mendaki sepuluh anak tangga bambu, menghampiri loket pembayaran (disambut dengan “monggo” oleh petugasnya), menebus tiket masuk Rp10.000, lalu menelusuri “gua” bambu berhiaskan lampu.
Ternyata menara pandang itu tidak cuma satu, tapi banyak. Ketinggiannya beda-beda dan masing-masing punya kekhasan arsitektural. Menara yang paling ujung tak terlalu tinggi namun berkanopi, sementara menara yang di tengah tinggi—paling tinggi malah—tapi tak beratap. Demi mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tak diinginkan, orang-orang dengan fobia ketinggian atau mereka yang memiliki penyakit tertentu tidak disarankan untuk menaiki menara itu. Ada pula satu menara yang telah disegel sebab tidak terlalu aman untuk dinaiki. Menara itu, saya lihat, menyerupai struktur pioneering yang biasa dibuat saat kegiatan-kegiatan kepanduan.
Saya telusuri menara-menara yang bisa dinaiki itu satu per satu. Lazimnya kids jaman now, saya tangkap setiap momen, lalu saya abadikan dalam kamera.
Senang, tapi capai juga. Untungnya nasib baik masih setia pada saya, sebab rasa lelah itu tiba-tiba hilang begitu mata saya tertumbuk pada pemandangan senja nan syahdu. Detik-detik tenggelamnya matahari dari menara Oemah Bamboo ini bak lukisan-lukisan di galeri seni. Sesaat, warna jingga yang terpancar dari matahari menghiasi semesta. Kemudian, bulatan kuning raksasa itu perlahan menghilang, jingga menjadi gelap, dan sinar mentari digantikan cahaya bulan.
Lampu-lampu dari permukiman di bawah mulai menyala, mengingatkan saya pada suasana Bukit Bintang di Jogja.
Bermalam di Oemah Bamboo
Malam hari, udara semakin dingin. Sang barista Oemah Bamboo berbaik hati meracikkan kopi single origin, arabika Merapi, untuk mengusir dingin yang makin menusuk.
Beberapa buku tergeletak di meja bar, khusus disediakan sebagai teman untuk minum kopi. Macam-macam genrenya, dari mulai buku-buku panduan (cara meracik kopi), novel-novel ringan yang digandrungi anak muda, sampai buku-buku pengetahuan.
Di atas sana, bintang-bintang dan sang bulan tak malu-malu mempertontonkan keelokannya. Di seberang sana, di jalur pendakian Gunung Merbabu, titik-titik cahaya yang berasal dari senter para pendaki berkedip-kedip seperti kunang-kunang. Beruntung sekali mereka, malam ini cuaca sungguh baik.
Rupanya, awak Oemah Bamboo sudah menyediakan tempat istirahat. Ada beberapa sleeping bag dan bantal yang siap menemani saya berlayar ke pulau mimpi malam ini. Saat malam makin larut dan hawa makin dingin, saya membalut diri dalam kantong tidur lalu memejamkan mata.
Melihat matahari terbit
Mata saya terbuka ketika azan Subuh bersahutan menyambut pagi. Setelah salat Subuh, saya pergi ke titik terbaik untuk melihat matahari terbit, yakni menara yang paling tinggi.
Jam setengah enam pagi, saat angin pagi berhembus sedikit kencang, semburan jingga mulai terlihat. Gunung-gunung pun mulai menampakkan diri—Sindoro, Sumbing, dan Lawu. Perlahan, bulatan kuning muncul: sang mentari telah tiba, siap untuk menghangatkan jiwa setiap makhluk.
Air mata saya menetes, takjub menyaksikan fenomena alam ini. Tak satu setan pun yang tahu bagaimana Tuhan menciptakan peristiwa seindah ini. Tersadarlah saya betapa kecilnya manusia.
Sambil menyeruput teh hangat yang baru saja diseduh, saya duduk memandangi Merbabu yang masih tampak gagah seperti kemarin. Rasa-rasanya saya takkan bosan melihat pemandangan seperti ini, yang kontras sekali dari pemandangan perkotaan yang penuh kendaraan dan polusi. Rongga telinga saya penuh oleh nyanyian alam—suara angin yang ditingkahi kicau burung yang bertengger entah di mana.
Perut saya ternyata juga berkicau: lapar. Saya pun turun sebentar ke New Selo untuk sarapan. Pagi ini yang saya santap adalah soto ayam dan gorengan hangat. Entah karena memang enak atau karena saya sedang lapar, menu sarapan itu terasa enak sekali.
Usai sarapan, saya kembali ke New Selo, sebab, sebelum pulang, saya ingin berfoto-foto terlebih dahulu dengan Gunung Merbabu. Dari New Selo, saya bisa melihat bahwa Oemah Bamboo sudah mulai dipadati pengunjung.
Setelah merasa cukup, saya beranjak ke parkiran untuk memanaskan si bebek agar bisa tampil prima dalam perjalanan pulang ke Jogja. Saat akhirnya meluncur pulang ke arah Jogja, saya merasa “baterai” saya kembali penuh. Suatu saat, saya akan kembali ke Oemah Bamboo untuk melihat gemintang yang bertaburan dan menikmati secangkir arabika Merapi.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Tinggal di Kotagede, Yogyakarta. Mahasiswa yang hobi mendaki dan memasak.