EVENTS

Berkunjung ke Pameran Sutartinah 2025

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), selain terkenal sebagai kota pendidikan, juga terkenal sebagai kota budaya dan wisata. Banyak sekali tempat dan kegiatan yang bisa dikunjungi ketika liburan atau hanya sekadar mampir di sana. Di Yogya sering kali diadakan pameran-pameran, salah satu yang bisa dikunjungi adalah pameran Sutartinah.

Pameran Sutartinah merupakan pameran yang diselenggarakan oleh Yayasan Rumah Pojok DAS dan Badan Pusat Wanita Tamansiswa. Pameran ini didukung oleh Dana Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan (FPK) 2025 dari Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah X. Dengan berkolaborasi dengan Moyang.Co, Museum Dewantara Kirti Griya, dan Komunitas Cakra Dewantara, penyelenggara menghadirkan karya-karya seni yang merepresentasikan sosok dan kisah hidup Sutartinah. 

Banyak orang mungkin belum mengetahui sosok Sutartinah. Dia biasa disapa dengan panggilan lain, yakni Nyi Hadjar Dewantara, istri dari Ki Hadjar Dewantara. Sosok perempuan yang tidak bisa dilepaskan ketika membahas mengenai pendidikan dan pergerakan perempuan dalam historiografi Indonesia. Sebagai mitra sejajar Ki Hadjar, Sutartinah tidak hanya mendukung dan menemani, tetapi juga turut berkontribusi dan berperan aktif. Kiprah Sutartinah dapat dilihat dari perannya dalam mendirikan Tamansiswa, menggagas Kongres Perempuan Indonesia yang pertama, mendirikan Wanita Tamansiswa, hingga meneruskan kepemimpinan Tamansiswa ketika Ki Hadjar wafat.

  • Berkunjung ke Pameran Sutartinah 2025
  • Berkunjung ke Pameran Sutartinah 2025

Karya-karya yang Ditampilkan

Pameran Sutartinah tahun ini dibuka pada 14 September 2025, bertepatan dengan hari kelahirannya. Pameran dibuka pada sore hari, pukul 14.30 WIB yang berlokasi di Rumah DAS. Pada acara pertama, para hadirin langsung diajak bernyanyi lagu “Sutartinah” yang dipandu oleh Ibu Hapsari dan Yuli Miroto. Setelah itu rangkaian acaranya adalah sambutan-sambutan dari direktur Rumah DAS, Badan Pusat Wanita Tamansiswa, perwakilan penulis, dan Nyi Gunawati (cucu Ki Hadjar Dewantara) yang sekaligus meresmikan pembukaan pameran. Acara berikutnya adalah foto bersama dengan Nyi Gunawati bersama perwakilan penulis, seniman, penyelenggara, dan kolaborator.

Setelah melakukan foto bersama, acara berikutnya adalah pentas Dolanan Anak yang dilakukan oleh Lab. Sariswara. Dolanan anak menampilkan permainan tradisional dengan diiringi tembang-tembang. Setelah itu para hadirin diajak sepur-sepuran (kereta) sambil jalan menuju ruang pameran untuk melanjutkan sesi tur galeri. Ruang pameran terdiri dari dua lantai. Dari dua lantai tersebut ada 24 karya seniman dan tiga penulis partisipan. Seniman-seniman yang berpartisipasi adalah sebagai berikut: Ajeng Pratiwi, Andi Firda, Arif Furqon, Aurora Santika, Bulan Fi Sabilillah, Dyan Anggaraini, Fitri DK, Kartika Affandi, Kemala Hayati, Kolektif Arungkala, Laila Tifah, Lenny Weichert, Lully Tutus, Marten Bauaji, Mella Jaarsma, Mulyakarya, Nasirun, OGGZGOY, Suharmanto, Syam Terrajana, Ugo Untoro, Vendy Methodos, Yaksa Agus, dan Yula Setyowidi.

Dari 24 hasil karya, berikut adalah tujuh karya yang menarik perhatian penulis:

  1. “Jejak Rindu Sutartinah” karya Andi Firda Arifa. Karya ini menampilkan lukisan hitam putih Sutartinah dengan hiasan bunga celup miring yang bermekaran dan motif tegel di rumahnya yang kini jadi museum. Karya ini menampilkan kerinduan Sutartinah pada tanah air ketika masa pengasingan di Belanda. Namun, kerinduan itu bukan menjadi sebuah kesedihan, melainkan ia ubah sebagai daya semangat untuk hidup dan terus bertumbuh;
  2. “Half of the Soul” karya Aurora Santika. Lukisan penuh warna ini menyoroti kelangsungan hidup Tiga Serangkai ketika masa pengasingan dan peran Sutartinah. Di sini diperlihatkan peran Sutartinah sebagai guru anak-anak ketika di Belanda. Karya ini juga menyoroti pengaruhnya dalam mengarahkan Ki Hadjar Dewantara dari perjuangan politik ke pendidikan dengan cara yang sederhana namun kuat;
  3. “Lentera” karya Bulan Fi Sabilillah. Karya ini menampilkan Ki Hadjar dan Sutartinah naik perahu, dengan Sutartinah membawa lentera dan uniknya ada jubah dan logo Superman yang dipakainya. Karya ini merepresentasikan eksistensi semangat perjuangan Sutartinah yang kerap tersembunyi di balik bayang-bayang suaminya, Ki Hadjar Dewantara. Selain itu juga merefleksikan perannya sebagai mitra sejajar Ki Hadjar yang saling bersinergi.
  4. “Potret Nyi Hadjar Dewantara” karya Kartika Afandi. Dengan warna-warna yang cerah, Kartika menampilkan potret Sutartinah mengenakan kebaya biru, merepresentasikan kedamaian dan harapan akan masa depan. Karya ini menekankan sosok Sutartinah sebagai seorang ningrat Jawa yang menjunjung nilai-nilai luhur dan tata krama. Kartika melalui potret ini juga menangkap aura dan keteguhan batin Sutartinah.
  5. “Salmiati” karya Kolektif Arungkala. Kolektif Arungkala menampilkan karya berupa bunga, arsip, dan zine. Dalam karya ini, Kolektif Arungkala ingin menyampaikan pesan bahwa objek atau benda juga merupakan sebuah arsip. Di sini mereka menampilkan sosok Salmiati, sang perangkai bunga di podium, tempat Sutartinah membacakan pidato pada Kongres Perempuan pertama. Dalam karya ini juga menampilkan esensi bahwa kongres tidak melulu soal yang terdokumentasi dalam foto dan teks tapi juga siapa saja yang menyusun material foto tersebut, termasuk bunga, untaian janur, piring, minuman dan lain sebagainya. Dengan pemanfaatan arsip seperti ini maka sejarah baik mengenai Sutartinah maupun kongres bisa dilihat dari horizon yang lebih besar.
  6. “Kata-kata Hari Ini” karya Mulyakarya. Dalam karya ini ditampilkan Sutartinah yang duduk di kursi dan dikelilingi anak-anak remaja. Mereka bertanya ke Sutartinah mengenai isu-isu di era sekarang dan Sutartinah menjawabnya dengan pola nilai-nilai ajaran Tamansiswa. Karya ini menunjukkan bahwa penting untuk mengkaji ide atau pemikiran tokoh-tokoh bangsa untuk dilihat relevansinya dalam menjawab tantangan zaman.
  7. “Perjalanan Jiwa yang Tumbuh (Sutartinah)” karya Yula Setyowidi. Lukisan karya Yula ini menampilkan figur Sutartinah berdiri tegak sambil memikul senapan AK-47 di bahu kanannya. Di ujung senapan diubah seperti senar pancing. Hal ini menjadi simbol perjuangan dan perlawanan yang tidak selalu soal melukai lawan, tetapi untuk menyesuaikan diri dengan zaman dan mencari hasilnya dengan kesabaran. Di tangan kiri, Sutartinah digambarkan membawa hasil tangkapan berupa ikan yang disimbolkan sebagai perjuangannya yang diperoleh bukan dari jalur kekerasan, melainkan dari jalur kerja keras, strategi, dan kesabaran.

Selain dari karya-karya seni, pameran ini juga menampilkan tiga tulisan refleksi yang ditulis oleh Alex Luthfie R., Paksi Raras Alit, dan Syafiatudina. Refleksi dari ketiga penulis ini melengkapi khazanah nilai-nilai dari sosok Sutartinah. Alex Luthfie melalui tulisannya memaparkan, bahwa perlu strategi kreatif dalam pembuatan seni rupa lini masa. Paksi Raras mengajak untuk mendekonstruksi istilah “Kanca Wingking” yang sering salah diartikan sebagai sebuah penindasan kepada perempuan, dan dia juga menyoroti peran penting Sutartinah sebagai layaknya seorang sutradara yang tidak terlihat di dalam layar, tetapi mempunyai peranan penting. Terakhir, Syafiatudina mengartikulasikan arsip-arsip Sutartinah dengan model surat dan menekankan mengenai laku hidup yang menjadi bagian dari perjuangan.

Pameran ini dibuka untuk umum dan gratis, berlangsung pada 14 September–14 Oktober 2025 pada pukul 11.00–17.00 WIB. Lokasi pameran berada di Rumah DAS, Jl. Matematika No. 28b, Tiyosan, Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.


Foto sampul: Lukisan “Perjalanan Jiwa yang Tumbuh” karya Yula Setyawidi (Imam Basthomi)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Imam Basthomi

Imam Basthomi tinggal di Nganjuk, ditengah kesibukannya menjadi mahasiswa di uinsuka, Basthomi menekuni sejarah, pariwisata, museum dan cagar budaya lainnya.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *