Kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat merupakan destinasi wisata yang cukup favorit bagi warga Jabodetabek dan sekitarnya. Selain karena jaraknya yang mudah dijangkau, lokasinya juga dekat dengan kaki Gunung Gede-Pangrango. Udara sejuk khas pegunungan pun menjadi daya tarik masyarakat untuk berkunjung.
Kling! Sebuah notifikasi masuk dari grup WhatsApp. “Ayo, kita camping-lah sebelum puasa, nih.” Sebuah ajakan datang dari salah satu teman saya untuk berkemah.
“Di mana, ya, enaknya?” tanya saya.
“Kita ke Smart Camp Gunung Luhur aja, yuk!” jawab teman saya. Singkat cerita kami berlima dalam grup tersebut menyetujui rencana camping ke tempat tersebut.
Kami memilih berangkat saat weekday untuk menghindari penuhnya lokasi camping. Empat orang dari kami berangkat pada Selasa pagi (5/3/2024) dengan titik kumpul Tugu Sentul, Bogor. Satu teman lagi menyusul berangkat siang harinya karena dia belum tidur dari kerja shift malam.
Perjalanan Berliku ke Smart Camp Gunung Luhur
Rute yang kami lewati pasti sudah tidak asing lagi bagi pengendara roda dua, yaitu melalui Sentul–Bukit Pelangi–Raya Puncak. Jalur ini menjadi favorit untuk menghindari macetnya Kota Bogor. Selain itu, rute ini juga bisa memangkas waktu tempuh perjalanan dari Jakarta.
Sekitar pukul 11.00 siang kami beristirahat sebentar di salah satu SPBU jalur Puncak. Percaya dengan bantuan teknologi, kami berempat mengikuti arahan Google Maps menuju lokasi. Tiga motor matik itu pun beriringan dengan komando dari kawan yang berboncengan paling depan. Di satu titik, Google Maps mengarahkan kami belok kiri memasuki jalan perkampungan. Kami mampir sejenak di sebuah warung kelontong membeli beberapa logistik untuk perbekalan.
Jalan yang kami lewati mulai berkelok dan menanjak agak curam. Sesampainya di sebuah persimpangan, sinyal GPS hilang-timbul sehingga kami ragu arah mana yang benar. Akhirnya saya mencoba bertanya pada seseorang.
“Wah, jalan sebenarnya bukan lewat sini. Harusnya masuknya lewat Telaga Saat,” jawab pria itu. Sontak kami berempat kaget karena sejak tadi kami hanya mengikuti arahan Google Maps. Mengingat jalur yang telah dilewati sudah cukup jauh dan kontur jalan curam berliku, kami bertanya lagi kemungkinan jalur tercepat tanpa kembali ke jalan raya. Orang yang kami tanyai terlihat bingung.
Di tengah kebingungan, datanglah seorang pria paruh baya menghampiri kami dengan mengendarai motor Honda Verza. Ia berhenti sejenak untuk menyapa dan menanyakan tujuan kami. Setelah menyebutkan tujuan, pria itu pun menjawab hal yang sama seperti pria sebelumnya. Ia menambahkan, banyak orang yang salah jalan seperti kami karena mengikuti arahan Google Maps.
Si bapak menawari mengantarkan kami melintasi kawasan perkebunan teh tempatnya bekerja. Namun, untuk dapat memasuki perkebunan kami dikenakan biaya masuk sebesar Rp25.000 per orang. Kami setuju.
Perjalanan berlanjut. Jalan yang tadinya aspal dan cor beton kini berubah menjadi batu yang cukup terjal di kawasan perkebunan teh. Beberapa saat kemudian, hujan turun dengan tiba-tiba hingga kami memutuskan untuk berteduh sejenak di sebuah gubuk.
Tak berapa lama, hujan berhenti. Namun, si bapak ternyata hanya bisa mengantar sampai gubuk tempat kami berteduh. Beliau memberikan arahan pada kami untuk mengikuti jalan makadam ini sampai bertemu SDN Cikoneng, lalu terus naik ke arah atas. Kami pun berpisah dengan beliau.
Jalan berbatu semakin parah dan terus naik tanpa ampun. Sesekali tanjakannya sangat curam hingga teman saya yang berboncengan harus turun agar motornya kuat menanjak. Meskipun terjal, pemandangan di kanan-kiri kami benar-benar memanjakan mata. Hamparan perkebunan teh, pepohonan hijau, dan perbukitan membuat kami tetap semangat.
Setelah perjalanan panjang yang cukup melelahkan, sampailah kami di Smart Camp Gunung Luhur sekitar pukul 14.00. Lokasinya tepat di ujung perkebunan teh yang luas ini. Di pintu masuk tertulis imbauan yang perlu dipahami demi keselamatan. Salah satunya dengan tidak menghidupkan data seluler handphone bila terjadi cuaca buruk, seperti hujan petir atau badai. Area berkemahnya cukup dekat dengan tempat parkir motor. Jadi, kami tidak perlu capek-capek trekking untuk ke sana.
Harga tiket untuk berkemah di sini sebesar Rp25.000 per malam dan parkir motor Rp10.000. Fasilitas yang tersedia antara lain toilet yang cukup banyak, musala, dan tempat penampungan air bersih. Ada juga warung dan kafe, tetapi karena kami berkunjung ketika hari kerja, keduanya tidak beroperasi. Ah, sayang sekali. Padahal kami berharap warungnya buka agar bisa membeli tambahan logistik.
Berkemah Dikepung Angin dan Kabut
Kami meletakkan tas carrier dan semua perlengkapan di saung dekat papan imbauan. Saya dan seorang teman saya langsung mencari lokasi untuk mendirikan tenda. Kontur camping ground-nya berundak. Ada beberapa tingkatan yang bisa dipilih.
Setelah mempertimbangkan jalur air bila hujan turun dan arah angin bertiup, kami memutuskan membangun tenda di salah satu spot yang dikelilingi pohon pinus yang cukup besar. Kami bergegas karena kabut yang turun terkadang membuat hujan gerimis.
Kami berdua mendirikan tenda tanpa kendala. Namun, tidak dengan dua teman lainnya. Mereka berdua kerepotan. Saya melihat dari kejauhan mereka berdebat saat memasang frame tenda. Kadang frame-nya terbalik, atau frame-nya salah masuk lubang. Kesalahan-kesalahan itu malah jadi bercandaan agar suasananya seru. Pada akhirnya tenda-tenda kami berdiri dengan kokoh.
Ternyata perdebatan belum usai. Saat memasang flysheet (atap kain untuk menahan hujan), mereka terlihat kebingungan. Flysheet berwarna cokelat itu terlihat asal dipasang. Sontak saya berinisiatif membantu memasangnya dengan benar.
“Kalau pasangnya seperti itu, yang ada air hujan akan menetes ke dalam tenda,” celetuk saya. Mereka hanya nyengir dan malah ketawa.
Saya cari beberapa batang pohon untuk dijadikan tiang flysheet. Setelah itu saya ikatkan tali pada ujungnya dan tarik dengan pasak agar flysheet terpasang kuat. “Nah, kalau kaya gini kan kuat. Air hujan juga tidak akan masuk ke tenda,” ujar saya ketika flysheet terpasang dengan kokoh. Kedua teman saya senyum-senyum sambil berterima kasih.
Hari itu kami kurang beruntung. Kabut cukup tebal sehingga pemandangannya tidak begitu terlihat. Pun dengan angin dingin yang bertiup terus-menerus. Kami yang sejak awal memilih lokasi camp di antara pohon pinus supaya bisa menghalau angin, ternyata tetap saja dihantam angin kencang karena kontur yang berbukit. Kami berharap besok pagi kabut pergi dan cuaca cerah datang.
Menjelang petang, teman saya yang menyusul sampai juga dengan selamat. Ia datang menggunakan motor trail. Meski demikian, tetap saja jalur yang terjal membuat motornya mengalami kendala. Ia bercerita sempat terjatuh dari motor karena jalan menikung terlalu tajam. Untungnya tidak mengalami luka yang serius, hanya memar pada kakinya.
Malam pun tiba. Kami semua berkumpul dengan beralaskan footprint tenda. Bercerita tentang banyak hal sambil diiringi suara angin dan serangga hutan. Kami semua mengumpulkan logistik yang kami bawa di salah satu tenda. Logistik tersebut mencakup kopi, teh, beras, kentang, ayam fillet, bumbu masakan, dan yang pasti perbekalan standar saat camping tidak lain dan tidak bukan ialah mie instan.
Saya kebagian tugas memasak. Yang pertama saya lakukan adalah memasak air panas untuk menyeduh teh dan kopi. Minuman hangat cukup untuk menahan udara dingin yang masih sesekali berembus. Setelah itu saya mempersiapkan menu makan malam, yaitu ayam fillet bumbu teriyaki.
Teman saya bertugas mengupas kentang, sebagai pengganti karbohidrat dari nasi. Setelah dikupas, saya rebus kentang itu menggunakan nesting (panci kecil lipat). Saya mempersiapkan beberapa bumbu, yaitu irisan bawang bombay dan bawang putih, baru kemudian mulai memasak. Ketika matang, kami semua makan dengan lahap berteman lampu remang-remang yang dipasang di tenda.
Malam yang Bersahabat dengan Pagi
Senda gurau melengkapi perut yang kenyang, dilengkapi secangkir teh melati hangat. Di atas bangku yang kami tempatkan di depan tenda, kami menikmati pemandangan malam itu. Terlihat kerlap-kerlip lampu kota dari ketinggian.
Tepat tengah malam, udara kian dingin. Kami menuju tenda dan mengenakan jaket tebal, lalu bergegas tidur.
Cuaca bersahabat berlanjut hingga keesokan paginya. Saya bangun sebelum matahari terbit, sementara yang lain masih tidur pulas. Langsung saja saya merebus air untuk membuat kopi.
Sambil mengumpulkan nyawa, saya menyeruput kopi sambil menikmati matahari pagi yang perlahan muncul di sela-sela punggungan Gunung Gede-Pangrango. Sinarnya yang hangat mulai menghapus tebalnya embun di perkebunan teh.
Kami beruntung akhirnya mendapatkan cuaca yang sangat bagus. Pemandangan yang luar biasa disaksikan langsung tepat di depan tenda. Hamparan perkebunan teh yang luas berhadapan langsung dengan gunung yang berada di kawasan taman nasional tersebut. Rasanya sepadan dengan perjuangan motor matik saya saat melewati jalan makadam terjal, tanjakan curam, dan licin berlumpur kemarin siang.
Pagi ini, menu sarapan kami adalah nasi, mi instan goreng, dan sisa ayam teriyaki semalam. Lagi-lagi, saya yang bertugas memasak karena lainnya tidak ada yang bisa memasak.
Saat tengah hari, kami berkemas. Semua orang sibuk membongkar tenda kemudian memasukkan kembali semua peralatan ke dalam tas carrier masing-masing. Tak lupa kami mengumpulkan sisa sampah dengan kantung plastik lalu membuangnya di tempat yang telah disediakan pengelola. Sangat penting untuk selalu menjaga kebersihan di mana pun kita berkegiatan agar alam terjaga keasriannya.
Sekitar pukul 14.00, kami memulai perjalanan pulang. Kembali menyusuri perkebunan teh yang panjang dan berliku.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Warga Jakarta biasa yang sedang mencoba mengabadikan momen dalam bentuk tulisan, foto dan video jejak digital
Ini baru namanya menghirup oksigen langsung dari produsennya. Ada cerita seremnya ga bang?