TRAVELOG

Belajar Hidup dari Suku Mentawai

Di kota, waktu tak pernah diam. Ia berdetak dengan langkah tergesa, mendesak manusia untuk terus berlari. Kalender penuh, jam tangan tak pernah lelah memberi tanda. Kita makan terburu, berbicara sambil lalu, bahkan tidur pun kadang tak sungguh-sungguh istirahat. Hidup jadi semacam perlombaan panjang; lupa titik awal, tak jelas garis akhir.

Di tengah ritme yang terus memacu, aku dan beberapa kawan memutuskan untuk berjalan keluar dari sirkuit itu. Bukan untuk menang, melainkan untuk berhenti. Menepi dari gemuruh mesin, dari layar yang tak pernah padam, dari segala hal yang terasa terlalu banyak tetapi entah mengapa selalu kurang. Kami memutuskan untuk melambat, atau barangkali, untuk kembali menjadi manusia. Pilihan kami jatuh ke Siberut, ke tengah hutan, ke dalam pelukan sunyi yang hidup: rumah bagi suku Mentawai.

Belajar Hidup dari Suku Mentawai
Teman saya berpose di depan Uma (rumah suku Mentawai)/Wiwik Eka Nopariyanti

Sambutan di Uma: Keheningan yang Tak Sepi

Kami tiba setelah perjalanan panjang darat, laut, lalu jalan kaki menyusuri hutan lebat. Ujungnya adalah Uma, rumah panjang dari kayu, berdiri di atas tiang, teduh dalam peluk dedaunan. Di sana, Aman Sasali dan keluarganya menyambut kami.

“Aman” berarti ayah dalam bahasa Mentawai. Namun, lebih dari sekadar kepala keluarga, Aman Sasali adalah Sikerei, seorang penyembuh, penjaga, penghubung antara manusia dan alam, antara dunia kasatmata dan yang tak terlihat. Ia tidak hanya tabib, tapi juga filsuf, pelukis tubuh, penjaga ritus, dan sahabat pohon.

Kekhawatiran kami tentang apakah kami diterima, apakah kami mengganggu, perlahan luruh dalam pelukan senyum dan teh hangat yang mereka hidangkan. Di meja kayu yang bersahaja, kami duduk, mencicipi pisang goreng hasil kebun, dan merasakan bahwa keramahan tak perlu bahasa yang rumit. Malam turun pelan, membawa serta aroma kayu, suara burung malam, dan cahaya redup dari obor yang tergantung. Tanpa listrik, tanpa sinyal, tetapi tidak pernah merasa terputus dari dunia. Justru sebaliknya, kami mulai merasa terhubung, benar-benar terhubung.

Kami tidur di atas papan kayu, beralaskan tikar tipis dan sleeping bag yang kami bawa. Tidur yang tenang, bukan karena empuknya kasur, melainkan karena damainya hati.

Hidup yang Tidak Dikejar, Hanya Dijalani Perlahan

Tidak ada jadwal ketat. Tidak ada alarm. Pagi dibuka dengan kokok ayam, bukan dering telepon. Kami mengikuti irama hidup mereka, bukan sebaliknya. Hari-hari kami dipenuhi kegiatan yang sangat biasa bagi mereka, tetapi luar biasa bagi kami. Menyusuri hutan, menokok batang pohon sagu, menyaksikan ulat-ulat putih menggeliat dalam getah. Kami belajar bahwa bahkan seekor ulat pun punya peran dalam siklus kehidupan.

Awalnya kami menolak saat ditawari mencicipi ulat sagu hidup-hidup. Tapi setelah melihat bagaimana Aman Sasali menyantapnya dengan tenang, kami pun mencoba. Sensasinya unik, nyaris mistis seperti mencicipi hutan itu sendiri.

Kami juga ikut menyaksikan perburuan babi hutan dan rusa. Sebelum memasuki rimba, Aman menunjukkan kepada kami bagaimana ia meramu racun alami untuk anak panah. Akar lombok-lombok, getah pohat, daun siala diracik perlahan, direbus hingga mengental, lalu dibalurkan ke ujung panah dan dipanaskan di api. Prosesnya teliti, hampir seperti ritual. Racun itu bukan untuk menyiksa, melainkan agar hewan tidak menderita lama. Ada etika, bahkan dalam perburuan.

Perempuan Mentawai juga mengajarkan kami cara mereka memancing di sungai. Tanpa kail, tanpa teknologi. Hanya jaring dan kepekaan. Air sungai yang jernih menjadi cermin memantulkan bayangan pepohonan dan kehidupan yang mengalir bersamanya. Di sana mereka mandi, mencuci, bercengkerama, bahkan bermeditasi. Sungai adalah ibu, tempat semua kembali dan berasal.

Belajar Hidup dari Suku Mentawai
Melihat proses pembuatan sagu yang akan diolah menjadi makanan pokok/Wiwik Eka Nopariyanti

Sagu: Denyut yang Menghidupi

Pohon sagu berdiri tenang di antara rawa dan dataran rendah, tubuhnya besar, batangnya menyimpan kehidupan. Bagi suku Mentawai, sagu bukan sekadar makanan pokok. Ia adalah sumber kehidupan yang menghidupi tubuh, mengisi jiwa, dan menopang budaya.

Dari batangnya diambil pati untuk membuat papeda, atau dibakar menjadi sagu panggang. Tapi tak berhenti di situ. Daunnya untuk atap, batangnya untuk lantai, kulitnya untuk pelapis dinding, bahkan ulatnya sebagai sumber protein yang sangat berharga.

Dalam momen-momen penting seperti upacara atau penyembuhan, sagu juga hadir sebagai simbol persembahan. Ia menjadi mediator antara manusia dan roh leluhur. Dalam sunyi hutan yang kerap dianggap primitif oleh dunia luar, kami justru menemukan peradaban yang luhur ketika pohon pun dihormati seperti sahabat tua.

Tato dan Kulit Kayu: Tubuh yang Bercerita

Kami diperlihatkan pakaian tradisional Mentawai, terbuat dari kulit pohon lalan dan beitei. Proses pembuatannya membutuhkan waktu dan kesabaran. Kulit pohon direndam, dipukul, dijemur, dan dijahit dengan tangan. Kami memilih untuk tidak mengenakannya, demi tidak menebang pohon yang tumbuh puluhan tahun.

Lalu tato, bagian paling memesona dari tubuh Mentawai. Bukan sekadar seni, melainkan sejarah yang dipahat di kulit. Tato adalah catatan spiritual, diberikan sejak kecil dan ditambah seiring perjalanan hidup. Setiap garis adalah pernyataan hubungan mereka dengan alam: burung, ikan, pohon, sungai. Semua saling terikat. Semua saling melindungi.

Kami menatap tangan dan dada Aman Sasali, seperti membaca buku kuno yang tak ada duanya.

Hidup Tanpa Teknologi: Hadir Sepenuhnya

Selama lima hari, kami tidak mandi dengan pancuran. Kami mandi di sungai. Kami tidak berbincang lewat pesan singkat, tapi lewat tatap mata dan tawa yang jujur. Kami tak pernah melihat jam, tapi tahu kapan harus makan, kapan harus bekerja, kapan harus duduk diam dan mendengarkan.

Kami bermain permainan tradisional bersama anak-anak, tertawa dalam kesederhanaan. Tidak ada kompetisi. Tidak ada rasa takut ketinggalan.

Hidup di sini terasa lambat. Namun, justru karena lambat itulah kami bisa hadir penuh. Kami bisa merasakan setiap detik, tanpa perlu buru-buru melupakan.

Pulang dengan Jiwa yang Penuh

Saat tiba waktunya pulang, ada perasaan berat yang tak tertambat oleh koper atau tas. Hati kami penuh. Penuh syukur, penuh rasa hormat, dan penuh pelajaran. Hutan Siberut telah memberi kami lebih dari sekadar pengalaman: ia memberi cermin untuk melihat diri sendiri. Di sini, kami belajar bahwa menjadi manusia tak perlu banyak. Cukup tahu kapan berhenti, kapan diam, dan kapan bersyukur.

Lima hari di tengah suku Mentawai menjadi pelajaran tentang hidup yang tidak keras, tapi dalam. Bukan soal banyaknya fasilitas, melainkan tentang cukupnya rasa. Tentang hadir di dunia ini bukan sebagai pemilik, melainkan sebagai bagian dari kesatuan yang saling menjaga.

Di tengah bising kota yang kembali menelan kami, suara hutan itu tetap tinggal. Pelan, seperti bisikan, tapi nyata. Dan sangat hidup.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penggemar traveling yang percaya bahwa setiap perjalanan adalah peluang untuk belajar, bertemu budaya baru, dan berbagi cerita.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Renungan Kehidupan Alam Liar di Taman Nasional Tanjung Puting