Untuk sebuah kawasan perairan yang dahulunya sering dihujani bom ikan, tentu kita tak bisa berekspektasi tinggi tentang dunia bawah lautnya.
Meskipun demikian, entah kenapa saya tetap antusias untuk menyelam di kawasan perairan Dusun Mekko, Desa Pledo, Pulau Adonara, Flores Timur ini. Berdasarkan cerita Bli Darma dari WWF Indonesia dan Edy dari Misool Baseftin, saya menarik hipotesis begini: arus cukup kuat dan jika beruntung saya dapat melihat hiu.
Benar: hiu.
Kenyataannya bukan hanya saya saja yang penasaran ingin melihat hiu di perairan Mekko. Pada waktu-waktu tertentu, wisatawan-wisatawan di kapal LOB (live on board) sengaja datang jauh-jauh ke Mekko hanya untuk melihat hewan bersirip-punggung runcing itu.
Daya tarik Mekko
Soal makhluk laut yang jadi daya tarik utama Mekko itu saya dapat banyak pencerahan saat berbincang dengan Tardi (Responsible Marine Business and Ecotourism Coordinator for Lesser Sunda Seascape, Coral Triangle WWF Indonesia) dan Ayom (Flores Timur Officer, WWF Indonesia).
Mereka menjelaskan tentang Survei Perikanan Hiu di Kabupaten Flores Timur (FGD dan observasi) yang dilakukan WWF tahun 2015 silam. Survei itu mengungkap ada beberapa jenis hiu yang hidup di areal karang perairan Mekko, yakni jenis blacktip reef shark, whitetip reef shark, dan grey reef shark. (Di tahun yang sama, WWF Indonesia juga melakukan identifikasi tokoh kunci di Mekko untuk pengelolaan dan pemanfaatan hiu berbasis kawasan konservasi.)
Untuk memperkuat temuan itu, WWF Indonesia melakukan Survei Ekologi Hiu di perairan Mekko. Dari sana diketahui bahwa hiu yang cukup sering muncul adalah blacktip reef shark dan whitetip reef shark.
Dahulu, penduduk Dusun Mekko memandang hiu dari perspektif berbeda, kurang sejalan dengan sudut pandang konservasi. Namun paradigma masyarakat Mekko tentang hiu berubah setelah WWF dan pemerintah masuk dan memberikan sosialiasi. Masyarakat pun tersadarkan mengenai betapa pentingnya fungsi hiu dalam ekosistem laut. Alhasil, sekarang, alih-alih menyasar hiu, pukat nelayan Mekko hanya menarget ikan biasa.
Muaranya, saat ini perairan Mekko sudah menjadi salah satu Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Flores Timur dengan target konservasi untuk mendukung pengelolaan dan perlindungan habitat penting hiu. Dusun Mekko telah bangkit menjadi daerah wisata berbasis masyarakat. Masyarakat setempat juga sudah mulai memetakan perairan sekitar; di mana saja tempat yang bagus untuk snorkeling maupun diving.
Aktivitas diving ternyata sudah ada di salah satu dusun di Flores Timur ini. (Kawasan Flores Timur dan sekitarnya lebih cocok untuk penyelam advanced ketimbang pemula.) Sayangnya belum ada dive operator di Mekko. Dive operator terdekat dari dusun itu berada di Larantuka, 2,5 jam perjalanan dengan speedboat.
Bekas pengeboman yang sudah kembali warna-warni
Upaya untuk menjadikan Mekko sebagai destinasi wisata memang baru dimulai. Untuk mengakselerasi usaha itu, dibangunlah kelompok Bangkit Muda Mudi Mekko yang fokus dalam pemberdayaan pariwisata berbasis masyarakat. Salah satu hal konkret yang mereka lakukan adalah menyediakan alat snorkeling untuk disewakan.
Hari itu, speedboat fiber milik Misool Baseftin mengekor di belakang perahu kayu kecil Bang Said, warga lokal yang cukup paham di mana tempat yang tepat untuk menyelam. Kami berhenti di depan sebuah pulau yang konon dihuni banyak kelelawar. Bang Said lalu bilang bahwa kami bisa mulai menyelam di titik itu. Setelah briefing, kami mulai bersiap turun.
“OK! Karang sebelah kiri,” ucap Edy. Berarti pada penyelaman kali ini kami akan mengikuti arus dengan karang berada di sebelah kiri.
Salah satu kelebihan menyelam mengikuti arus adalah kita tak perlu banyak kicking. Diam saja badan kita sudah bergerak mengikuti arus. Yang penting kita memperhatikan kedalaman agar tetap stabil. Sayangnya, arus seperti ini membuat kita agak kesulitan mengambil gambar, terutama foto hewan atau biota laut. Akan susah sekali berada dalam posisi diam.
Saat turun, tampak kemiringan karang cukup bervariasi. Air laut yang jernih membuat jarak pandang jauh. Dasar pasir mulai kelihatan dan divecomp menunjukkan kedalaman 22 meter. Setelah memberikan sinyal tangan OK pada kedua buddy saya itu, kami mulai menyelam mengikuti arus.
Sepertinya saya salah menduga dari awal. Alih-alih senyap, bawah laut Dusun Mekko ibarat pasar yang sedang ramai. Terumbu karang dan ikan-ikan di dalamnya ternyata masih banyak, ibarat toko warna-warni, baik besar maupun kecil, beserta penjual dan pembeli yang berinteraksi di sana.
Memang kalau diperhatikan dengan saksama saya melihat seafan yang rusak atau karang bekas hancur. Tapi tidak semasif yang pernah saya lihat di spot diving daerah lain yang pernah menjadi tempat pengeboman ikan.
Bertemu “green humphead parrotfish” sebesar dua pintu lemari baju
Jelas keliatan sekali bahwa perusakan karang oleh manusia sudah tidak lagi dilakukan. Bom ikan sendiri terakhir kali meledak tahun 2016. Masyarakat Mekko memang mulai sadar bahwa kelangsungan bawah laut, jika tak dijaga, akan membuat generasi selanjutnya kesusahan.
Beberapa kali saya menjumpai pari yang bersembunyi di bawah karang. Tapi yang membuat saya terkesima adalah green humphead parrotfish sebesar dua pintu lemari baju. Jumlahnya tak tanggung-tanggung—enam ekor!
Beberapa kali saya melihat hiu melintas. Kalau diamati, yang berkeliaran adalah white tip dan black tip. Lucunya, meskipun bertampang gahar dan buas mereka lebih memilih menghindar dan menjauh begitu menyadari kehadiran kami.
Satu hal yang saya sadari dari diving adalah bagaimana pun juga akhirnya kita harus kembali ke atas. Melihat kondisi oksigen dalam tabung yang sudah mulai menipis kami pelan-pelan naik untuk safety stop sebelum ke permukaan.
Waktu hovering, saya mendapati bahwa karang dan ikan di kedalaman 3-5 meter juga tak kalah bagusnya. Kalau penyelaman ini diibaratkan dengan makan malam, karang dan ikan yang warna-warni itu ibarat hidangan penutup berupa buah segar.
Setiba di permukaan, kami sudah ditunggu speedboat. Setelah melepaskan peralatan, Erma mengatakan kalau kami akan bersantai dulu di Pulau Pasir Putih sebelum pulang.
Menyelami dunia bawah air Dusun Mekko yang panas ibarat minum es kelapa muda di padang gurun: sederhana namun nikmat luar biasa.
Perjalanan ke Dusun Mekko, Flores Timur, ini dilakukan bersama @wwf_id dalam rangka Peresmian Pusat Informasi Wisata Mekko oleh Kelompok Bangkit Muda Mudi Mekko.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Ralat (12/072018): Terjadi kesalahan dalam penulisan nama kelompok yang diresmikan. Sebelumnya ditulis Bangun Muda Mudi Mekko, padahal seharusnya Bangkit Muda Mudi Mekko.
Pemutakhiran terakhir: 20/07/2018 00:11 WIB
5 komentar
Aaaaaaaaaaa…. Kalah duluan hiks.. gak papa lah minimal bisa comot dengan ijin foto2 bawah lautnya untuk tulisan di-blog-ku… Boleh ya? Boleh kan? #umpansalome
Hahaha.
Monggo Kak pake aja. Link aja ke sini. 🙂
Andalan 🙂
Yoi, Kak 🙂
[…] dan koneksi internet, pengalaman tanpa sinyal ini adalah “kemewahan” yang luar biasa. Waktu di Mekko, Flores Timur, saya sempat menikmati sensasi tinggal tanpa sering mengecek notifikasi ponsel. Hasilnya, beberapa […]